Ingkari Perundingan Linggarjati, Belanda Lakukan Agresi Militer I

Moh. Habib Asyhad

Penulis

20 Juli 1947, van Mook menyatakan Belanda terbebas dari Perjanjian Linggarjati. Sehari kemudian, mereka melancarkan operasi militer yang dikenal sebagai Agresi Militer I.

20 Juli 1947, van Mook menyatakan Belanda terbebas dari Perjanjian Linggarjati. Sehari kemudian, mereka melancarkan operasi militer yang dikenal sebagai Agresi Militer I.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Pada 20 Juli 1947, Gubernur Jenderal H.J. van Mook menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan Perundingan Linggarjati. Sehari kemudian, Belanda menyatakan melakukan agresi, yang kelak kita kenal sebagai Agresi Militer I.

Gagalnya Perundingan Linggarjati

Bermacam upaya dilakukan rakyat Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dan mempertahankan kemerdekaan. Sementara di sisi lain, Belanda tetap bersikeras untuk kembali berkuasa di tanah jajahannya ini.

Kondisi itu memaksa terjadinya berbagai bentrok antara masyarakat Indonesia dan tentara Belanda dan Sekutu. Mulai dari Surabaya, Bandung, Semarang, hingga Medan. Semua pertempuran itu punya satu tujuan: mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Upaya mempertahankan kemerdekaan tak hanya terjadi di medan laga, tetapi juga di meja-meja perundingan. Tokoh-tokoh terbaik Indonesia melakukan berbagai upaya untuk bernegosiasi dengan pihak penjajah lewat perundingan dan perjanjian.

Salah satunya adalah Perjanjian Linggarjati. Perjanjian Linggarjati merupakan perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang diselenggarakan di Linggarjati, Jawa Barat.

Perundingan itu menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi secara resmi kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar belakang perjanjian ini diawali dengan masuknya Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang diboncengi Netherlands-Indies Civiele Administration (NICA) ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia. Kondisi itu mau tak mau menyebabkan terjadinya konflik selang Indonesia dengan Belanda.

Karena itulah Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda berunding di Hooge Veluwe. Namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia berharap Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Untuk menyelesaikan pertikaian Indonesia dan Belanda, maka pada 10 November 1946 diadakan perundingan di Linggarjati.

Pihak Indonesia dipimpin oleh dr. Sudarsono, Jenderal Sudirman, dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Sedang Inggris mengirim Lord Killearn sebagai penengah setelah komisi gencatan senjata terbentuk. Pihak Belanda diwakili oleh Prof. S. Schermerhorn dan Dr. Hj. Van Mook.

Setelah naskah perjanjian ditandatangani, muncul pro dan kontra di masyarakat mengenai hasil perundingan tersebut. Pada 25 Maret 1947 pihak Indonesia menyetujui perjanjian Linggarjati yang menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:

1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.

2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.

3. Pihak Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS.

4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam persemakmuran Indonesia-Belanda dengan Belanda sebagai kepala Uni Indonesia-Belanda.

Tak pelak, perjanjian itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan warga Indonesia. Misalnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut mencetuskan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia sebagai mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.

Sebagai solusi dari duduk permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, di mana benar tujuan menambah bagian Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara sebagai mendukung perundingan Linggarjati.

Yang juga bikin kecewa, ternyata Belanda mengingkari perjanjian tersebut. Pada 20 Juli 1947, Gubernur Jenderal H.J. van Mook kemudiannya mencetuskan bahwa Belanda bebas dari Perjanjian Linggarjati.

Dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah serangan atau Agresi Militer Belanda I.

Agresi Militer Belanda I

21 Juli 1947, Belanda resmi melakukan operasi militer di Jawa dan Sumatera yang dikenal sebagai Agresi Militer I. Agresi ini berlangsung hingga 5 Agustus 1947. Agresi ini dipimpin langsung oleh oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook.

Alasan van Mook melancarkan Agresi Militer Belanda I adalah untuk memulihkan perekonomian Belanda pasca-Perang Dunia II dengan menguasai kekayaan alam di Indonesia. Karena itulah, Belanda menyerang Sumatera dan Jawa, dua pulau di Indonesia yang dikenal akan kekayaan alamnya. Di Pulau Jawa, Belanda menyerang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Pada 21 Juli 1947, Jawa Barat diserang oleh Divisi B dipimpin S De Waal dan Divisi C dipimpin Mayjen HJJW Durt Britt. Dalam serangan ini, Belanda berhasil menerobos pertahanan TNI di sektor Bandung Timur setelah dilakukan pergantian pertahanan oleh Divisi II/Sunan Gunung Jati dari Jawa Tengah.

Dalam empat hari pertama, Belanda telah berhasil menguasai Kota Cirebon. Serangan Belanda yang berhasil menerobos pertahanan TNI ini membuat TNI tersadar, bahwa dengan strategi pertahanan dengan kondisi pasukan dan persenjataan yang kurang memadai hanya akan membuang-buang tenaga.

Akhir Agustus 1947, pasukan Siliwangi kembali menyusun kekuatan dengan memanfaatkan kondisi alam atau medan pertempuran, di mana pasukan TNI lebih menguasai medan tersebut dibanding Belanda.

Tak hanya itu, TNI juga menyusun kekuatan pertahanan gerilya. Serangan gerilya ini ditujukan pada sektor-sektor penting, seperti jalan-jalan penghubung, jalur logistic, dan pos Belanda.

Pada praktiknya, serangan gerilya yang dilakukan pasukan Siliwangi di Jawa Barat mampu melumpuhkan usaha perkebunan yang merupakan sektor ekonomi penting bagi Belanda. Kondisi ini kemudian membawa Indonesia dan Belanda bertemu dalam perundingan di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN) yang dibentuk PBB tanggal 27 Agustus 1947.

Perundingan dilakukan di atas kapal perang Amerika USS Renville yang kemudian menghasilkan perjanjian Renville 17 Januari 1947. Tapi kita tahu, perjanjian itu gagal juga membendung agresivitas Belanda yang akhirnya melancarkan Agresi Militer II.

Artikel Terkait