Find Us On Social Media :

Tabir Misteri di Balik Kesakralan Bulan Suro dalam Kepercayaan Jawa

By Afif Khoirul M, Senin, 8 Juli 2024 | 13:45 WIB

Segala hal yang dipercaya terjadi pada bulan Suro.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatka berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Bulan Suro, bagaikan sebuah gerbang yang menuntun kita pada persimpangan jalan antara masa lampau dan masa depan.

Bulan yang sarat makna ini bukan hanya menjadi penanda pergantian tahun dalam kalender Jawa, tetapi juga momen untuk menyelami diri dalam refleksi dan introspeksi.

Di balik kesakralannya, Bulan Suro diliputi oleh berbagai ramalan dan prediksi tentang peristiwa besar yang akan terjadi. Tujuh pralambang atau pertanda menjadi sorotan utama, bagaikan jendela yang membuka tabir misteri alam semesta.

Pralambang Owahe Kahanan Bulan Suro, mengisyaratkan perubahan besar yang akan mewarnai berbagai aspek kehidupan. Iklim yang tidak menentu, pola pikir modern, gaya hidup baru, dan regulasi yang terus berkembang, menjadi cerminan dunia yang terus bertransformasi.

Bagi mereka yang peka dan adaptif, perubahan ini membuka peluang baru. Inovasi dan teknologi akan menggeser pekerjaan lama, menuntut individu untuk terus belajar dan beradaptasi. Kegigihan dan kelincahan menjadi kunci untuk meraih kesuksesan di era baru ini.

Pertelone Tipon Tipon Bulan Suro, bagaikan tiupan angin yang menyingkap tirai penipuan. Skandal besar, mulai dari politik hingga agama, akan terbongkar tanpa ampun. Kejujuran dan transparansi menjadi landasan moral yang tak terelakkan.

Plambang Padange Dalan Siseh Tengen, Petenge Dalan Siseh Kiwo, melukiskan dua jalan yang berlawanan. Jalan terang di kanan melambangkan keselamatan bagi mereka yang memiliki keyakinan agama dan spiritualitas yang kokoh. Di sisi lain, jalan gelap di kiri menandakan kesesatan bagi mereka yang tersesat dan menyesatkan.

Pohon Kembang Mawar Pitung Iket Tanpo RI, menghadirkan pesona bunga mawar tanpa duri. Simbol ini memancarkan pesan kasih sayang dan cinta. Mereka yang memancarkan kebaikan dan kasih sayang akan mendapatkan perlindungan dan keberuntungan dalam hidup.

Pralambang Maeso Larung Bulan Suro, menggambarkan tradisi melempar kepala kerbau. Simbol ini mengisyaratkan kebangkitan sumber daya manusia, terutama dalam hal kecerdasan, daya pikir, dan emosi.

Kesulitan hidup menjadi pendorong untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan alam semesta dan Tuhan.

Baca Juga: Legenda Aji Saka dan Kedatangannya di Bulan Suro Untuk Mengusir Roh Jahat

Pralambang Banyu Gede Bulan Suro, mengantarkan kemungkinan terjadinya bencana alam seperti banjir besar atau tsunami. Naiknya permukaan air laut akibat gempa bumi menjadi ancaman yang patut diwaspadai.

Pralambang Geni Gede, menjadi pertanda akan terjadinya kebakaran besar atau letusan gunung berapi yang dahsyat. Kesadaran dan kewaspadaan menjadi kunci untuk menghadapi potensi bencana ini.

Bulan Suro bukan hanya tentang prediksi dan ramalan, tetapi juga tentang refleksi diri dan menata masa depan.

Di tengah perubahan yang tak terelakkan, mari kita jadikan momen ini untuk memperkuat keimanan, menebarkan kasih sayang, dan meningkatkan kualitas diri.

Bulan Suro, selain menjadi momen refleksi dan persiapan menghadapi perubahan, juga diwarnai dengan berbagai ritual yang dijalankan oleh masyarakat Jawa.

Konon, ada beberapa ritual dilepaskan dari nilai-nilai spiritual dan kepercayaan yang telah mengakar kuat. Beberapa ritual yang kerap dilakukan di Bulan Suro antara lain:

Tirakatan: Ini adalah ritual berdiam diri dan berpuasa selama satu malam, biasanya dilakukan pada malam 1 Suro. Tujuannya adalah untuk menenangkan pikiran, membersihkan diri dari hal-hal negatif, dan memohon doa kepada Tuhan untuk keselamatan dan keberkahan.

Siraman: Ritual pembersihan diri secara fisik dan spiritual ini dilakukan dengan cara mandi menggunakan air yang dicampur dengan bunga dan wewangian tertentu. Diharapkan dengan ritual ini, seseorang dapat melepaskan energi negatif dan memulai awal yang baru.

Sadranan: Ritual ini didedikasikan untuk menghormati leluhur dan para yang telah meninggal dunia. Masyarakat Jawa biasanya mengunjungi makam keluarga, mendoakan, dan membersihkan area makam.

Lakukan Kegiatan Sosial: Bulan Suro juga dianggap sebagai waktu yang tepat untuk berbuat kebaikan. Masyarakat mungkin akan mengadakan kegiatan sosial seperti donor darah, santunan kepada kaum dhuafa, atau bersih-bersih lingkungan.

Melaksanakan ritual ini sifatnya tidak wajib, namun bagi sebagian masyarakat Jawa, kegiatan ini menjadi tradisi yang terus dijaga sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya leluhur dan sebagai upaya untuk meraih ketenangan batin.

Yang terpenting, inti sari dari Bulan Suro bukanlah semata-mata tentang ramalan atau ritual. Ini adalah kesempatan untuk berbenah diri, memperkuat keimanan, dan mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang penuh dengan perubahan.

Meningkatkan Kualitas Diri: Belajar keahlian baru yang relevan dengan perubahan zaman, menjaga kesehatan fisik dan mental, serta memperluas wawasan menjadi bekal yang penting untuk menghadapi tantangan di masa depan.

Memperkuat Hubungan Sosial: Mempererat jalinan dengan keluarga, sahabat, dan komunitas dapat menjadi sumber kekuatan dan dukungan dalam menghadapi perubahan.