Find Us On Social Media :

1 Suro Di Cirebon, Tentu Beda Dari Jogja-Solo Tapi Tak Kalah Sakralnya

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 7 Juli 2024 | 11:45 WIB

1 Suro di Cirebon tentu beda dengan di Solo atau Yogyakarta. Tapi tetap tak kalah sakralnya.

H. Muhammad Imanuddin, adik laki-laki tertua Sultan, yang kerap mewakili kakaknya di berbagai acara sosial. Sebelumnya, mereka berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati membaca salawat dan tahlil.

Sedangkan puncak peringatan, pembacaan "Babad Cirebon", dilaksanakan persis di malam 1 Suro. Babad yang menceritakan awal berdirinya Kerajaan Cirebon ini dibacakan langsung Pangeran Muhammad Amaludin, putra Sultan.

Dulu, acara ritual itu diadakan di bangunan Witana, di belakang Keraton Kanoman. Tapi, karena bangunan itu sudah terlalu tua dan khawatir rusak, acara dialihkan ke pendopo utama. Selama membaca naskah, Amal–begitu Amaludin dipanggil–didampingi tujuh abdi. Tiga orang masing-masing membawa baki berisi naskah babad, tempat kemenyan, meja kecil, sedangkan yang empat orang membawa lilin.

Tak ketinggalan, didampingi pula enam ulama sepuh. Usai pembacaan babad, acara dilanjutkan dengan persembahan nasi tumpeng kepada khalayak yang hadir. Di sini tampak betapa daya tarik magis keraton masih berkibar buat kalangan tertentu.

Bak "singa lapar", ratusan pengunjung berebut tumpeng, yang jumlahnya belasan. "Bukan makanannya, tapi berkahnya yang saya cari," aku seorang pemilik toko di Pasar Kanoman. Dia percaya, banyak-sedikitnya makanan yang bisa disantap berpengaruh terhadap rezeki yang bakal diterima. .

Cuci jimat tradisional

Di Keraton Kasepuhan, acara paling menonjol dalam menyambut 1 Suro hanya pencucian benda-benda pusaka yang tersimpan di museum keraton. Itu pun tidak dilakukan persis pada malam peralihan tahun. "Tapi secara bertahap, antara 1 hingga 10 Suro," tegas "Lurah Dalem" Kasepuhan Mohamad Maskun, pemimpin upacara pencucian.

Lurah Dalem merupakan jabatan di lingkungan keraton yang bertugas mengurusi masalah internal keraton.

Persoalan ke luar, seperti hubungan dengan penduduk sekitar, ditangani oleh Lurah Magersari. Nah, kedua lurah (pejabatnya tak mesti keluarga Sultan) itu punya seorang atasan langsung, disebut Lurah Kepala.

Adakah upacara khusus sebelum pencucian? “Ada pembacaan doa. Tapi, acara itu tidak melibatkan Sultan, karena pusaka utama, seperti Kereta Singa Barong dan Piring Panjang Jimat tidak masuk daftar,” tandas Maskun.

Meski tak melibatkan jimat Sultan Sepuh (penguasa Keraton Kasepuhan), tetap ada syarat yang tak bisa ditinggalkan. Seperti larangan menggunakan zat kimia untuk melunturkan karat. Sekuat apa pun karatnya, tetap harus dibersihkan dengan ramuan tradisional, semisal campuran jeruk nipis dan air kepala. Awalnya, benda-benda pusaka itu direndam dalam bak besar.

Lama perendaman antara dua hari-1 minggu. “Tergantung banyak-sedikitnya karat dan kotoran yang menempel," ujar Maskun.

Selesai direndam, sang pusaka dimandikan dengan air kembang tujuh rupa. Tak ada patokan harus memakai bunga tertentu. “Yang penting jumlahnya tujuh macam dan tentu saja masih segar,” tambah Maskun. Dan, “bunga-bunga yang membawa wangi klasik, seperti mawar dan melati lazim dipakai.

Pusaka-pusaka kecil, seperti keris, pisau, atau tombak biasanya selesai paling awal. Sementara benda seperti tameng (perisai) perang, gamelan, dan sejenisnya jelas tak bisa diselesaikan dalam satu-dua hari. Itu sebabnya, total waktu pencucian bisa mencapai 10 hari.

Memasuki tahun baru, ternyata tidak hanya manusia yang merasa perlu “bersih diri”, benda pusaka pun perlu tampilan baru.