Find Us On Social Media :

1 Suro Di Cirebon, Tentu Beda Dari Jogja-Solo Tapi Tak Kalah Sakralnya

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 7 Juli 2024 | 11:45 WIB

1 Suro di Cirebon tentu beda dengan di Solo atau Yogyakarta. Tapi tetap tak kalah sakralnya.

Kisah dalam film Malam Satu Suro-nya Suzanna mungkin jauh dari gambaran sebuah malam keramat. Tapi setidaknya menunjukkan 1 Suro bermakna khusus. Banyak yang percaya momen itu berhubungan dengan hal gaib dan pengalaman luar biasa.

Penulis: Muhammad Sulhi, Intisari edisi Mei 2001

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatka berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Coba simak ritus di pusat-pusat kebudayaan Jawa masa silam. Lebih khusus lagi, keraton-keraton yang dulu pernah berperan sebagai pusat kekuasaan. Di Kasunanan Surakarta contohnya, paling terkenal adalah acara kirab pusaka kerajaan berkeliling kota menjelang tengah malam 1 Muharram. Konon, ritus itu sudah dilakukan sejak Keraton Surakarta berdiri tahun 1745.

Ribuan orang sukarela membanjiri Kota Solo, guna menyaksikan agenda tahunan ini. Uniknya, barisan kirab justru didahului sembilan ekor kerbau bule, yang semuanya bernama Kiai Slamet. Kesembilan kerbau bule dan keturunannya itu bukan kerbau sembarangan, karena mereka kesayangan Sunan.

Percaya atau tidak, mereka punya hobi berkelana. Namun, menjelang 1 Suro, seperti sudah menghayati peran sejarahnya, mereka berkumpul kembali di alun-alun selatan Surakarta.

Suasana tak kalah sakral amat terasa di Keraton Yogyakarta. Menjelang tengah malam, bisa disaksikan ribuan orang melakukan upacara mubeng beteng; mengelilingi benteng keraton tanpa berucap kata sepatah pun. Sedangkan di alun-alun selatan, ratusan orang melakukan masangin, dengan mata tertutup berjalan di antara dua pohon beringin (kembar) yang ada di tengah alun-alun. Upacara paling sakral, melakukan jamasan (pembersihan) seluruh pusaka keraton, dilakukan 26 Suro.

Masa peralihan. menuju penanggalan baru Jawa (1 Suro) atau tahun baru Islam (1 Muharram) memang kerap dianggap mendatangkan berkah. Bahkan berkembang kepercayaan, berdoa dan tirakat di tempat-tempat bersejarah dan keramat bisa membuat keinginan terkabul. Sebuah fenomena (oleh Sumanto Al Qurtuby, peneliti Lembaga Studi Agama dan Pembangunan, Semarang, disebut sebagai agama humanistik) yang mengesahkan seseorang tampil modern dan logis di suatu waktu, namun sangat tradisional dan mistis di kurun waktu yang lain.

Berlainan akar