Kesaksian Yulius Pour: Makam Sambernyawa Selalu Berselimutkan Kabut

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Makam Pangeran Samber Nyawa di Bukit Mangadeg, Karanganyar, Jawa Tengah, selalu berselimut kabut.

Angin lembut meniup, mengantar harum bunga semakin semerbak. Puluhan pucuk Cemara ikut bergoyang, daunnya runcing tajam luruh ke bumi. Menyapu uap air kelabu yang berarak dari perbukitan di arah bawah. Suasana ceriah, berhiaskan kicau burung di balik pepohonan.

Oleh Julius Pour untuk Intisari edisi Juni 1975

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Sesekali diusik lengking serangga, nyaring berirama. Rekan seperjalanan saya, gadis Solo asli berkomentar: "Itu suara Garengpung, tanda kemarau segera tiba!" Kami bagai berjalan dalam petamanan. Walau sesungguhnya, kami sedang mendaki, menuju kompleks kuburan kuno.

Dibangun sejak abad ke XVIII, makam Pangeran Sambernyawa terletak di puncak bukit Mangadeg, kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Nyaris tepat 1.000 meter dari muka laut, kuburan ini senantiasa berselimutkan kabut. Sejak lima tahun terakhir, akibat pemugaran yang dilakukan sebuah yayasan, kompleks makam tersebut benar-benar menjadi semakin asri.

Terlindung dalam bentuk seni bangun Jawa asli, rumah "joglo" kecil-kecil dari kayu. Lantainya putih bersih berbahan marmer Tulungagung. Tidak pernah sepi pengunjung. Mencapai puncaknya setiap Kamis malam, hampir 200 orang selalu berjejal di bukit Mangadeg.

Dalam kedinginan angin malam yang bertiup keras, tak sepatah pun kata terucapkan. Masing-masing terbenam dalam semadi, lewat aneka macam permohonan pribadi yang tidak diketahui orang luar. Satu-satunya tanda kehidupan, di antara kebisuan tersebut, hanya asap kemenyan mengepul ke atas. Tak pernah putus, sekejap pun.

Penemu "cakar ayam" ikut menangani

Mencari kompleks kuburan kuno ini, tidak sedemikian mudah. Papan penunjuk, jalan mana sebaiknya kita tempuh, tidak terlihat. Keterangan yang agak membantu hanyalah, makam Sambernyawa terletak di dekat kota kecamatan Metesih. Penghasil buah durian yang sangat terkenal.

Tetapi biasanya, orang menjadi lebih jelas jika memakai pegangan kota peristirahatan Tawangmangu, 40 km tenggara Solo. Sebelum mencapai Tawangmangu, pengunjung harus meninggalkan jalan beraspal. Mengambil jalan desa, berbelok kekanan, langsung menuju bukit Mangadeg.

Kepenatan naik turun bukit melenyap. Jika kita sudah menginjak gerbang makam. Besar, megah, kokoh menjulang, bertolak belakang dengan kehidupan dusun yang menyepi, di sekitarnya. Di muka disebutkan, bangunan di sana asri. Ini tidak mengherankan. Karena bertindak selaku penasehat teknik memugar, tercantum nama Prof Ir. Sedijatmo. Penemu prinsip teknik "cakar ayam" yang amat tersohor.

Secara keseluruhan tercatat, 119 orang telah dimakamkan di bukit Mangadeg. Nama yang paling termasyhur dan akhirnya diabadikan sebagai nama panggilan untuk seluruh kompleks adalah (Pangeran) Sambernyawa. Tanpa harus mengurangi penghargaan kepada yang lain. Kita harus ingat, betapa peranan tokoh Sambernyawa dalam membuat sejarah dan membangun dinastinya.

Semasa kecil bernama Sahid atau Raden Mas Suryokusumo (anak Matahari), lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Keraton Surakarta. Ayah kandungnya, Ario Mangkunegoro, diasingkan ke pulau Ceylon akibat menentang pemerintah Kerajaan Belanda. Sebuah perselisihan dengan penguasa setempat, Sahid yang sudah dikecewakan dan keras hatinya, terpaksa mengangkat senjata melawan Sunan Solo.

Dalam berbagai pertempuran, keterampilannya memegang senjata sangat termasyhur. Inilah alasan, dikehendaki atau tidak, mengapa akhirnya dia memperoleh nama julukan cukup menyeramkan, sang Pangeran Pencabut Nyawa.

Bagaimanapun juga, Sri Susuhunan Paku Buwono ke III menyadari, pertempuran berkepanjangan hanya menyengsarakan rakyat. Dia memanggil Sahid agar bersedia pulang kembali ke kota Solo. Perdamaian mewujud, diperkokoh dalam perjanjian Salatiga (27 Maret 1757).

Sahid diberi hadiah separo Kerajaan Surakarta. Sekaligus ditetapkan berhak memakai gelar. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati. Begitulah, lewat pertempuran demi pertempuran, daerah dan dinasti Mangkunegoro terbentuk hingga sekarang ini.

Merasa wajib ikut memiliki

Orang yang agak teliti mengamati, pasti merasa adanya tiga ungkapan dalam bahasa Jawa, yang sering dikutip para pemimpin kita masa kini. Ungkapan tersebut, dalam kompleks makam Sambernyawa, dilambangkan lewat sebuah monumen. Karena memang, ketiga macam Dharma yang diharapkan bisa diikuti oleh setiap orang Indonesia, mula pertama tercetus dari kata-kata Sahid tatkala la mengawali perjuangannya.

Dharma pertama berbunyi: "Rumangsa melu handarbeni". Kalimat tersebut memiliki arti; setiap rakyat harus merasa memiliki pemerintahan yang telah bersama mereka ikut bangunkan.

Dharma kedua: "Wajib melu hangopeni". Artinya: karena itulah mereka wajib ikut memelihara kelangsungan pemerintahan.

Dharma terakhir: "Mulat sarira, hanggrasa wani". Orang harus melihat kenyataan pada diri pribadi serta berani bertindak jika yakin terhadap kebenarannya.

Tri Dharma di atas, yang memang baik jika bisa dihayati, tampaknya sedang diterapkan pemakaiannya. Tidak hanya khusus dalam artian sempit bagi rakyat Mangkunegaran, seperti 200 tahun yang silam.

Namun dipakai dengan pengertian luas, untuk rakyat Indonesia seluruhnya.

Dijaga puluhan patung kera

Jalan yang licin karena uap air, memaksa pengunjung selalu berhati-hati. Puluhan anak tangga, telah diselesaikan dalam pendakian yang sulit. Dua patung inang pengasuh, dipahat gaya Bali, bagaikan mengucap selamat datang digerbang muka.

Jalan setapak menuju puncak, dipenuhi puluhan patung. Semuanya diambilkan dari cerita Ramayana. Mencapai puncaknya, di pucuk bukit, empat patung menjaga makam. Masing-masing patung Rama, Sita, Rahwana dan Bharata.

Secara pribadi, saya menyukai patung-patung para panglima Balatentara kera, di sepanjang jalan. Tegak menyeringai, lewat aneka macam raut muka berbagai binatang. Namun bertubuhkan kera, dengan ekor panjang menjulur ke atas, masih berbekalkan senjata. Yang nampaknya siap dipukulkan kepada siapa saja, yang mengganggu para pengunjung.

Menjelang pendopo makam, pengunjung melepaskan alas kaki. Seorang juru kunci tua, berkain batik lusuh, mengantar kami berdua. Pekerjaan tersebut, sudah dijabatnya sejak tahun 1943 dan sekarang gajinya sebulan hanya Rp.200 (tahun 1975).

Sambil berjalan jongkok, kami beringsut mengikutinya. Pak Amat Ismangil berkisah, di bagian sebelah dalam ini, para pengunjung berkebangsaan asing, bagaimanapun juga tidak diperkenankan masuk. Mengambil gambar? Sama sekali dilarang. Melihat saya yang terpana mendengar penjelasannya, dia langsung menambah: "Tetapi kalau nekat mencoba, silahkan. Tanggung gambarnya tidak pernah jadi!".

Saya takut mencoba. Entah terpengaruh kata-kata orang tua tersebut? Entah suasana sepi yang mencekam? Entah di kuburan Sambernyawa, bagaimanapun juga, tustel saya tetap tersimpan rapi di dalam tas.

Setelah menyembah tiga kali dalam sikap hormat yang tidak berlebihan, pak Amat membuka pintu kayu hitam besar. Di sebelah dalam, tertutup kelambu putih yang menguak sedikit, terlihat makam Pangeran Sambernyawa.

Jantung saya berdetak lebih cepat, di kesepian tempat ini kami hanya bertiga. Dinginnya lantai marmer, di mana kami duduk tanpa alas, semakin terasa, mengecutkan hati. Satu-satunya penerangan, hanya lewat pintu tua yang tidak terbuka penuh.

Di malam hari, suasana lebih mengesankan. Di keheningan ratusan orang yang bersemadi, lampu minyak tanah di dinding, berkelap-kelip. Nampaknya, minyak tanah di tabungnya, agak malas naik ke atas guna menghidupkan nyala api.

Setahun sekali, dalam perhitungan penanggalan Jawa, kelambu Sambernyawa diganti baru. Sayang, kami tidak menyaksikan upacara tersebut. Yang biasanya dikerjakan dengan amat khidmat dan megah. Dihadiri lengkap para kerabat Mangkunegaran. Dipimpin langsung Pangeran Mangkunegoro.

Sebelum menutup pintu, pak Amat menyembah lagi tiga kali. Kami undur ke belakang. Masih ada dua lagi makam Pangeran Mangkunegoro. Hanya suasananya sudah kurang mencekam. Mungkin karena kami terlebih dahulu, melihat makam Mangkunegoro I, Pangeran Sambernyawa. Baru kemudian, meninjau makam keturunannya, Mangkunegoro II dan III.

Di luar bangunan utama makam, saya kembali bisa bernafas lega. Kita tidak lagi harus melihat batu-batu nisan. Tetapi berjalan santai, dalam petamanan indah penuh aneka bunga. Berlawanan dengan makam yang angker, bunga di taman yang bergoyang karena angin atau diayun kumbang, memang lebih sedap untuk dipandang.

Kami menuruni bukit Mangadeg. Bagaimanapun, suasana cukup menyenangkan. Kecuali jika kita menengok papan pengumuman kayu segede kerbau di muka kompleks Sambernyawa.

Pengumuman yang mengharuskan segenap pengunjung berbekalkan surat keterangan diri (dan akhirnya memang diperiksa, didaftar dan dicatat oleh seorang petugas dalam suasana birokrasi yang mengecutkan), seperti diwajibkan oleh Kodim 0707, Karanganyar, Solo. Kami yang datang dengan niat baik, menjadi kecewa.

Artikel Terkait