Penulis
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Di pesisir timur Danau Batur, Bali, terhampar desa Trunyan, sebuah komunitas Bali Aga yang menawan dengan tradisi dan budayanya yang unik.
Jauh dari hiruk pikuk modernitas, Trunyan bagaikan kapsul waktu yang menyimpan warisan leluhur Bali Aga yang masih lestari. Salah satu tradisi yang paling menarik perhatian adalah perlakuan mereka terhadap jenazah, sebuah ritual pemakaman yang berbeda dari kebanyakan masyarakat Bali.
Jenazah hanya ditutupi dengan kain dan sangkar bambu, dibiarkan terurai secara alami. Konon, aroma harum dari pohon Taru Menyan mampu menetralisir bau busuk yang berasal dari jenazah.
Ritual ini dikenal dengan nama "Mepasah", sebuah tradisi yang berakar dari kepercayaan animisme dan penghormatan terhadap leluhur.
Bagi masyarakat Trunyan, kematian adalah sebuah siklus alami, dan jenazah yang diletakkan di bawah pohon Taru Menyan dianggap sebagai bagian dari proses pembalikan kepada alam.
Hanya jenazah orang dewasa yang menikah atau anak kecil tanpa gigi susu yang diproses dengan cara Mepasah. Kematian yang disebabkan oleh kecelakaan atau cacat fisik tidak diperbolehkan untuk ritual ini.
Jenazah-jenazah tersebut dikuburkan dengan cara biasa di tempat pemakaman yang berbeda.
Di Trunyan, terdapat beberapa jenis "sema" (kuburan) yang dikategorikan berdasarkan usia, kelengkapan bagian tubuh, dan cara pemakaman.
"Sema Wayah" adalah tempat pemakaman utama dan dianggap paling suci, diperuntukkan bagi mereka yang dimakamkan dengan cara Mepasah. "Sema Muda" diperuntukkan bagi anak-anak atau bayi, sedangkan "Sema Bantas" diperuntukkan bagi mereka yang meninggal karena sebab tidak wajar.
Tradisi Mepasah tidak hanya mencerminkan kepercayaan spiritual masyarakat Trunyan, tetapi juga memiliki makna ekologis yang mendalam. Dengan membiarkan jenazah terurai secara alami, mereka meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini menunjukkan keselarasan yang erat antara masyarakat Trunyan dengan alam di sekitar mereka.
Keunikan tradisi pemakaman Trunyan telah menarik perhatian para antropolog dan budayawan dari seluruh dunia. Tradisi ini menjadi bukti kekayaan budaya Indonesia dan pentingnya menjaga warisan leluhur.
Bagi masyarakat Trunyan, Mepasah adalah cara mereka untuk menghormati leluhur, melestarikan tradisi, dan hidup selaras dengan alam.
Tradisi Mepasah di Trunyan telah dipraktikkan selama berabad-abad, dan asal-usulnya masih diselimuti kabut misteri. Beberapa teori mencoba menjelaskan asal-usul tradisi ini, namun belum ada kesimpulan yang definitif.
Salah satu teori terkuat mengaitkan Mepasah dengan Agama Bayu Neolitikum, salah satu kepercayaan pra-Hindu di Bali.
Agama ini memuja bintang dan angin, dan ritual pemakaman mereka diyakini memiliki kemiripan dengan Mepasah. Bukti arkeologis seperti prasasti kuno dan patung dewa Bayu Neolitikum di Trunyan mendukung teori ini.
Baca Juga: Sejarah Gunung Kawi, Kiwari Menjadi Pelabuhan Ngalap Berkah Dan Rezeki
Pengaruh Majapahit
Teori lain menunjukkan pengaruh kerajaan Majapahit di Jawa pada abad ke-14. Majapahit memiliki pengaruh kuat di Bali, dan beberapa ritual dan tradisi mereka mungkin telah diadopsi oleh masyarakat Bali Aga.
Kemungkinan Mepasah adalah salah satu tradisi yang dipengaruhi oleh Majapahit, meskipun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya.
Ada juga kemungkinan bahwa Mepasah adalah tradisi lokal yang unik yang berkembang di Trunyan tanpa pengaruh luar. Tradisi ini mungkin terinspirasi dari lingkungan alam di sekitar Trunyan, dengan pohon Taru Menyan yang dianggap suci dan memiliki kekuatan pemurnian.
Ritual Mepasah di Trunyan bukan sekadar tradisi pemakaman, melainkan sebuah ritual yang kaya akan makna simbolik. Setiap langkah dalam ritual ini memiliki arti mendalam yang mencerminkan filosofi hidup masyarakat Trunyan.
Meletakkan jenazah di bawah pohon Taru Menyan melambangkan kembalinya individu kepada alam. Pohon Taru Menyan dianggap suci dan memiliki kekuatan untuk menyucikan jiwa.
Dengan membiarkan jenazah terurai secara alami, masyarakat Trunyan percaya bahwa mereka membantu jiwa untuk kembali ke siklus kehidupan dan kematian.
2. Persatuan dengan Leluhur
Tempat pemakaman di bawah pohon Taru Menyan adalah tempat berkumpulnya arwah leluhur.
Dengan menempatkan jenazah di sana, masyarakat Trunyan memperkuat hubungan mereka dengan leluhur dan menunjukkan rasa hormat mereka kepada leluhur.
3. Keseimbangan Alam:
Mepasah adalah cara masyarakat Trunyan untuk menjaga keseimbangan alam. Dengan membiarkan jenazah terurai secara alami, mereka meminimalkan penggunaan bahan bakar dan bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan.
4. Kehidupan dan Kematian
Ritual Mepasah mengingatkan masyarakat Trunyan bahwa kematian adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan.
Tradisi ini mengajarkan mereka untuk menerima kematian dengan lapang dada dan hidup dengan penuh kesadaran.
5. Keberanian dan Keteguhan
Mepasah adalah tradisi yang membutuhkan keberanian dan keteguhan. Masyarakat Trunyan tidak takut untuk menghadapi kematian dan berani untuk menentang norma-norma yang berlaku di masyarakat lain.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---