Penulis
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Di tahun 1959, Presiden Soekarno, atau Bung Karno, diliputi rasa ambisi besar. Ia ingin Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games ke-4 di tahun 1962. Ini merupakan sebuah mimpi besar bagi negara yang baru merdeka dan masih bergulat dengan berbagai keterbatasan.
Salah satu tantangan terbesar adalah membangun infrastruktur yang memadai, termasuk stadion utama yang megah.
Di sinilah Bung Karno mulai melirik Uni Soviet, negara komunis yang saat itu menjalin hubungan baik dengan Indonesia.
Persahabatan dan Politik Internasional
Hubungan antara Indonesia dan Uni Soviet terjalin erat pada masa itu. Bung Karno memiliki hubungan pribadi yang baik dengan pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev.
Kedua pemimpin ini memiliki visi yang sama tentang dunia dan ingin memperkuat hubungan Selatan-Selatan.
Pada tahun 1956, Bung Karno berkunjung ke Uni Soviet dan bertemu dengan Khrushchev. Dalam pertemuan ini, Bung Karno mengemukakan keinginannya untuk membangun stadion utama untuk Asian Games.
Khrushchev menyambut baik permintaan Bung Karno dan berjanji untuk membantu.
Pinjaman Lunak dan Bantuan Teknis
Pada tahun 1960, Indonesia dan Uni Soviet menandatangani perjanjian pinjaman lunak senilai 12,5 juta dollar AS atau Rp15,062 miliar pada kurs saat itu untuk pembangunan Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK).
Pinjaman ini sangatlah penting bagi Indonesia karena bunganya rendah dan jangka waktu pembayarannya panjang.
Selain pinjaman, Uni Soviet juga memberikan bantuan teknis dalam bentuk pengiriman arsitek, insinyur, dan pekerja konstruksi.
Bantuan ini sangatlah berharga karena Indonesia belum memiliki keahlian yang cukup untuk membangun proyek sebesar ini.
Perjalanan terwujudnya GBK tidak semulus penandatanganan perjanjian pinjaman. Dibaliknya, terdapat negosiasi alot dan perhitungan strategis antara Indonesia dan Uni Soviet.
Ini selaras dengan kepentingan Uni Soviet yang sedang membangun pengaruh di dunia internasional sebagai tandingan Amerika Serikat.
Kunjungan Bung Karno ke Uni Soviet pada 1956 menjadi momen penting. Kemampuan diplomasi Bung Karno yang kharismatik berhasil meluluhkan hati Khrushchev. Konon, Bung Karno mengajukan syarat unik agar Uni Soviet “menemukan” makam Imam Bukhari, seorang tokoh penting Islam, sebelum kunjungannya.
Peristiwa ini, meski kebenarannya masih diperdebatkan, menunjukkan keuletan Bung Karno dalam membangun kepercayaan dengan rekannya dari Uni Soviet.
Indonesia mengajukan proposal pinjaman tidak hanya untuk GBK, tetapi juga untuk infrastruktur olahraga lainnya. Negosiasi alot terjadi terkait bunga pinjaman dan jangka waktu pembayaran. Bung Karno menginginkan pinjaman lunak dengan bunga rendah dan tenor panjang. Uni Soviet, tentunya, memiliki perhitungan strategis sendiri.
Mereka melihat Indonesia sebagai partner potensial di kawasan Asia Tenggara dan bersedia memberikan pinjaman dengan syarat yang relatif menguntungkan.
Baca Juga: Presiden Soekarno Nyaris Dibunuh di Cikini
Pembangunan yang Penuh Tantangan
Pembangunan GBK dimulai pada tahun 1960 dan ditargetkan selesai dalam waktu dua tahun. Namun, proyek ini menghadapi berbagai kendala, seperti keterlambatan pengiriman bahan bangunan dan cuaca yang buruk.
Meskipun demikian, Bung Karno terus mendorong agar proyek ini diselesaikan tepat waktu. Ia bahkan sering turun ke lapangan untuk meninjau progress pembangunan.
Arsitektur Megah dan Sentuhan Lokal
Desain awal GBK dikerjakan oleh arsitek Indonesia, Frederich Silaban. Ia bercita-cita membangun stadion megah yang mencerminkan kemajuan Indonesia. Namun, keterbatasan Indonesia dalam hal keahlian teknik sipil besar-besaran mengharuskan keterlibatan Uni Soviet.
Arsitek Uni Soviet, Mikhail Posokhin dan Shestakov, turut mendesain GBK. Mereka memadukan konsep modern dengan sentuhan lokal.
Struktur utama stadion berbentuk ellips dengan atap berlapis yang terinspirasi dari topi petani Indonesia. Relief wayang menghiasi dinding stadion, menyuntikkan unsur budaya Nusantara.
Pembangunan GBK melibatkan ribuan pekerja konstruksi Indonesia. Mereka bahu membahu dengan para insinyur dan teknisi Uni Soviet.
Transfer teknologi terjadi selama proses pembangunan. Para pekerja Indonesia belajar teknik konstruksi modern yang berguna untuk proyek pembangunan lainnya di masa depan.
Tantangan teknis pun tak terhindarkan. Indonesia baru saja merdeka dan belum memiliki pengalaman membangun infrastruktur sebesar GBK. Ketersediaan bahan bangunan dan peralatan berat menjadi kendala. Para ahli dari Uni Soviet dituntut untuk beradaptasi dengan kondisi di Indonesia.
Cuaca Indonesia yang tropis dengan musim hujan yang panjang juga turut mempengaruhi jadwal pembangunan. Pernah terjadi kebakaran di sisi selatan stadion pada 1962, yang penyebabnya hingga kini masih menjadi misteri.
Stadion Megah dan Semangat Kebangsaan
Pada tanggal 24 Agustus 1962, GBK akhirnya diresmikan. Stadion ini menjadi stadion terbesar di Asia Tenggara pada saat itu dan mampu menampung hingga 100.000 penonton.
Pembangunan GBK merupakan simbol dari semangat kebangsaan dan tekad Indonesia untuk maju. Stadion ini menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, termasuk Asian Games 1962, SEA Games 1979, dan Asian Games 2018.
Lebih dari Sekadar Stadion: Dampak Ekonomi dan Sosial
Pembangunan GBK tidak hanya berdampak pada dunia olahraga, tetapi juga pada sektor ekonomi dan sosial Indonesia. Proyek ini menyerap banyak tenaga kerja, sehingga mengurangi angka pengangguran. Peningkatan aktivitas ekonomi terjadi di sekitar lokasi pembangunan, seperti usaha penyediaan bahan bangunan dan makanan untuk para pekerja.
Hadirnya GBK turut memajukan pariwisata Indonesia. Stadion ini menjadi ikon negara dan daya tarik bagi wisatawan mancanegara. Ajang olahraga internasional yang digelar di GBK, seperti Asian Games 1962, turut mempromosikan Indonesia di mata dunia.
GBK telah menjadi saksi bisu berbagai momen penting dalam sejarah olahraga Indonesia. Stadion ini menjadi venue utama untuk Asian Games 1962, yang merupakan momen kebanggaan bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang sukses menggelar ajang olahraga internasional bergengsi.
SEA Games 1979 dan Asian Games 2018 juga diselenggarakan di GBK.
GBK tidak hanya menjadi arena pertandingan olahraga nasional dan internasional, tetapi juga wadah pembinaan atlet dan pengembangan olahraga Indonesia.
Atlet-atlet nasional maupun daerah seringkali berlatih dan bertanding di GBK. Stadion ini turut melahirkan legenda-legenda olahraga Indonesia, seperti Ricky Subagja (bulutangkis) dan Kurniawan Dwi Yulianto (sepak bola).
GBK telah berusia lebih dari 60 tahun. Seiring berjalannya waktu, stadion ini membutuhkan renovasi dan perawatan untuk menjaga kelestariannya. Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menjaga GBK sebagai warisan sejarah dan kebanggaan bangsa.
Renovasi dilakukan secara berkala untuk memastikan keamanan dan kenyamanan pengguna. Upaya pelestarian juga dilakukan dengan menjaga arsitektur dan desain asli GBK.
Warisan Sejarah dan Kebanggaan Bangsa
Kisah tentang bagaimana Bung Karno meminjam uang dari Uni Soviet untuk membangun GBK adalah kisah tentang persahabatan, kerjasama, dan semangat pantang menyerah. Kisah ini juga merupakan pengingat bahwa dengan tekad dan kerja keras, tidak ada mimpi yang tidak mungkin untuk diraih.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---