Penulis
[ARSIP]
Gedung Kesenian Jakarta, di zaman kolonial nama resminya Schouwburg, tetapi orang lebih sering menyebutnya Gedung Komidi. Terakhir masyarakat Jakarta mengenalnya sebagai City Theatre, bioskop yang khusus memutar film-film Mandarin.
oleh Muljawan Karim untuk Kisah Jakarta Tempo Doeloe/Intisari
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Di tempat berdirinya sampai sekarang, semula hanya ada gedung pertunjukan dari bambu dan beratap rumbia. Tentara Inggris membangunnya khusus untuk tempat pementasan perkumpulan drama mereka ketika bercokol di Jawa antara 1811 dan 1816.
Para anggota pasukan Inggris rupanya sedikit banyak mencintai kesenian. Mungkin mereka terpengaruh oleh pimpinan mereka, Raffles, yang memang punya perhatian khusus pada masalah kebudayaan dan kesenian. Buktinya, belum sampai setahun mereka mendarat di Pantai Cilincing, sejumlah perwira bujangan sudah mendirikan sebuah perkumpulan drama untuk menyalurkan bakat dan minat mereka.
Pembangunan gedung pertunjukan itu dilakukan secara mendadak menjelang pementasan perdana pada pertengahan Oktober 1814, dengan kapasitas 250 orang penonton. Tentara Inggris hanya bisa menikmatinya tak sampai 2 tahun. Bulan Agustus 1816 Inggris sudah angkat kaki lagi dan menyerahkan kekuasaan atas Jawa kepada Belanda kembali, sesuai dengan perjanjian London.
Bahan bangunan bekas penjara
Gedung, yang disebut Militaire Theatre itu lalu dimanfaatkan oleh perkumpulan drama amatir Belanda. Selama masa pemerintahan Inggris mereka dilarang naik pentas. Bersama sebuah perkumpulan lain di bawah pimpinan M. Piolle, mereka mementaskan berbagai drama Inggris, Prancis maupun Jerman, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
Perkumpulan drama M. Piolle bersemboyan "Ut desint vires tamen est laudanda voluntas" alias "Dengan segala kekurangannya, niat baik tetap merupakan hal terpuji"--belakangan kelompok ini lebih dikenal sebagia Ut desint.
Gedung pertunjukan militer itu tentu saja tak tahan lama, karena hanya terbuat dari bambu. Pada 1820 gedung itu mulai reyot dan tampak kusam, sehingga dianggap tak layak lagi untuk terus digunakan. Perkumpulan Ut desint lalu memrakarsai pembangunan sebuah gedung kesenian baru yang lebih permanen.
Usul itu ternyata mendapat sambutan baik dari segenap warga Batavia kelas atas, yang haus hiburan. Maklum, selain Societeit de Harmonie, waktu itu boleh dibilang tak ada tempat umum lain di mana warga masyarakat bisa bersantai dan menghibur diri.
Para pejabat militer maupun sipil juga mendukung usaha ini sepenuhnya. Mereka menyatakan bahwa kebutuhan akan sebuah gedung pertunjukan yang baru sangat mendesak. Para pegawai pemerintah yang sehari-harinya selalu sibuk memikirkan kepentingan negara, mutlak membutuhkan hiburan yang bermutu, sopan dan bisa menjadi bahan obrolan yang segar.
Walaupun demikian, pemerintah tak sanggup membiayai rencana pembangunan itu. Krisis keuangan yang dialami pemerintah sejak VOC bubar di akhir abad sebelumnya masih terus berlanjut. Jangankan untuk membuat gedung baru, istana gubernur jenderal di Waterlooplein--sekarang Gedung Departemen Keuangan di Lapangan Banteng--saja yang sudah mulai dibangun sejak zaman Daendels belum bisa dirampungkan pengerjaannya.
Dari hasil penjualan sebuah gedung tua yang sudah tak dipakai lagi, pemerintah memang menyumbangkan dana sebesar 9 ribu gulden lebih. Tetapi itu masih jauh dari cukup. Untuk menunjukkan dukungannya, pemerintah juga memberi izin penggunaan tanah tempat Schouwburg akan dibangun secara cuma-cuma.
Di samping itu pemerintah juga masih menyumbangkan tiga buah gedung tua di kota Batavia Lama untuk dibongkar dan dimanfaatkan sisa-sisa bahan bangunannya. Gedung-gedung tua yang terletak bersebelahan di Spinhuisgracht itu adalah sebuah rumah sakit Cina, sebuah gedung sekolah dan bekas penjara wanita.
Konon, arwah-arwah para tahanan yang mati di penjara itu kemudian banyak yang ikut pindah ke Schouwburg. Mereka sering ikut menikmati pertunjukan-pertunjukan yang dipentaskan.
Untuk menutup seluruh biaya pembangunan yang dibutuhkan, pengurus Ut desint mengajak segenap warga kota untuk menyumbang secara suka-rela. Ajakan ini diumumkan melalui Bataviasche Courant terbitan tanggal 11 Juni 1820.
Dana sumbangan yang dihasilkan mencapai 43.600 gulden, suatu jumlah yang sangat besar untuk ukuran masa itu. Dengan uang itu, ditambah sumbangan dari pemerintah, diperkirakan seluruh biaya pembangunan dapat dipenuhi. Namun seperti biasanya, ongkos pembangunan ternyata membengkak sampai lebih dari 67 ribu gulden.
Pengurus Ut desint terpaksa mencari tambahan biaya dengan meminjam pada berbagai pengusaha dan pejabat pemerintah yang kaya. Baron van der Capellen, gubernur jenderal Hindia Belanda waktu itu, juga memberi pinjaman sebesar 2 ribu gulden dengan bunga 9 persen setahun.
Gedung berukuran 144 x 60 kaki itu (kurang lebih 43 x 18 m) dibangun dengan gaya "Yunani Baru" -- perkembangan dari gaya Rokoko — yang sedang menjadi mode kala itu. Perencanaan arsitekturnya dibuat oleh pihak militer, yakni para perwira dari bagian zeni. Pelaksanaan dan pembangunannya dipercayakan pada perusahaan pemborong milik orang Cina bernama Lie Atjie.
Peresmian ditunda gara-gara wabah kolera
Lie Atjie bekerja dengan cepat. Pembangunan gedung yang cukup besar itu dapat diselesaikannya dalam waktu 14 bulan. Pada pertengahan Oktober 1821 gedung sebenarnya sudah bisa mulai dipergunakan. Namun, persemiannya tak bisa segera dilaksanakan.
Soalnya, Batavia waktu itu belum pulih benar dari keresahan mendalam akibat mewabahnya penyakit kolera. Penyakit yang menelan banyak korban itu telah mulai mewabah sejak bulan April tahun itu. Betapa orang tidak dihantui rasa takut dan gelisah, kalau setiap hari selalu saja ada teman atau anggota keluarga yang meninggal dunia karena kolera.
Dalam edisi 12 Mei 1821, Bataviaasche Courant memberitakan bahwa dalam waktu sepuluh hari saja di awal bulan itu, di Batavia telah jatuh korban sebanyak 773 orang. Di Oktober wabah penyakit kolera yang mengerikan itu sebenarnya sudah jauh berkurang.
Namun peresmian Gedung Kesenian baru bisa dilaksanakan dua bulan kemudian, tanggal 7 Desember.
Diberitakan bahwa undangan yang hadir pada malam peresmian itu sangat banyak. Sayang, tidak dapat diketahui apakah Gubernur Jenderal van der Capellen juga hadir. Yang pasti, Residen Batavia Jacobus de Bruin yang turut menyaksikan pembangunannya, tidak hadir. Dia telah meninggal sebagai salah satu korban kolera.
Pada malam peresmian itu dipentaskan drama Othello karya sastrawan termasyhur William Shakespeare. Meski tentunya sudah dipersiapkan sebaik mungkin, tetapi penonton menganggap pertunjukan itu kurang berhasil.
Bahkan, hampir tidak bisa dinikmati, terutama oleh penonton yang terpaksa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk.
Penonton pria dan wanita dipisah
Meskipun dari luar tampak sederhana karena tidak ramai dan rumit dengan hiasan, tapi masyarakat Batavia menganggap Schouwbuig sebagai gedung yang indah dan anggun. Seorang dokter yang baru tiba di Batavia dari Negeri Belanda pada 1829 menyatakan dalam sebuah tulisannya bahwa gedung kesenian dengan tiang-tiang besar di serambi depan itu tak kalah bagus dibanding gedung-gedung kesenian di tanah airnya.
Dia juga menceritakan tentang bagian-bagian gedung bergaya Eropa itu, yang pembuatannya disesuaikan dengan iklim tropis Batavia.
Jendela-jendela besar di kiri-kanannya tidak ditutup kaca sebagaimana biasa, tapi hanya dengan kawat nyamuk berwarna hitam yang kedap sinar dan tetap memungkinkan udara segar dari luar masuk. Yang paling indah dan mengesankan dari Schouwburg adalah bagian dalamnya.
Surat kabar yang terbit dua minggu setelah peresmiannya pada tanggal 7 Desember 1821 menyebutkan bahwa dekorasi, perabotan, panggung serta sistem penerangannya sungguh-sungguh patut mendapat pujian. Penataannya diatur dengan cita rasa tinggi.
Ini memang masuk di akal jika kita melihat jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk itu semua, yakni 3.707,06 gulden, melebihi separuh biaya pembangunan keseluruhan.
Mulanya Gedung Kesenian hanya diterangi lampu-lampu minyak dan lilin. Sesuai dengan perkembangan zaman, tahun 1864 sistem penerangannya dimodernisasikan dengan memakai lampu gas. Lampu listrik baru dipakai pada tahun 1882. Itu pun hanya di bagian dalamnya.
Sampai tahun 1910 bagian luar gedung tetap hanya diterangi lampu-lampu gas. Tempat duduk penonton terdiri atas parterre, yakni tempat duduk di bagian depan dekat panggung, serta balkon yang tidak terlalu tinggi di bagian belakang.
Tempat duduk di balkon khusus untuk kaum wanita. Penonton laki-laki hanya boleh duduk di parterre. Kalau seorang laki-laki ingin menonton dekat sang pacar atau istri, ia boleh saja nonton dari balkon, asal tidak duduk.
Ruang-ruang kecil yang disebut loge, yang masih bisa kita lihat sampai sekarang, awalnya tidak ada. Tempat duduk dalam loge-loge itu tidak boleh dijual untuk umum dan harus selalu siap untuk para pejabat tinggi jika mereka sewaktu-waktu mau menonton opera atau drama.
Mereka yang memiliki jatah untuk menggunakan ruangan khusus ini adalah gubernur jenderal (memiliki jatah dua loge dan 10 tempat duduk), ketua Raad van Indie, ketua mahkamah agung, pimpinan angkatan darat dan angkatan laut (jatahnya 16 tempat duduk), gubernur serta residen.
Entah kenapa, di Schouwburg mulanya juga tidak ada kantin. Padahal penonton selalu kehausan di tengah-tengah pertunjukan karena panasnya udara di dalam ruangan. Biasanya mereka lalu membawa sendiri minuman dari rumah, dan meminumnya pada waktu istirahat dalam kereta kuda masing-masing yang diparkir di sekitar gedung. Baru pada tahun 1849 dibuka sebuah cafe di samping Schouwburg.
Angin baru dari Prancis
Gedung Kesenian yang besar dan mewah tentu saja membutuhkan biaya pengelolaan yang besar pula. Ini merepotkan pengurus Ut desint yang kemudian juga menjadi pengelola gedung tersebut. Uang yang diperoleh dari penjualan karcis ternyata tidak mencukupi.
Dalam tahun-tahun pertama uang penjualan karcis masih dapat menutup berbagai pengeluaran, seperti untuk perawatan gedung, pembuatan dekor panggung dan kostum baru serta untuk menggaji karyawan. Untuk membayar utang beberapa ribu gulden yang dipinjam dalam masa pembangunannya belum mencukupi.
Ketika situasi perekonomian di Jawa makin jelek, keadaan kas Gedung Kesenian tahun berikutnya juga makin parah. Apalagi setelah meletusnya Perang Jawa (Perang Diponegoro) pada tahun 1825, yang menyebabkan pemerintah melakukan penghematan besar-besaran dan nilai uang makin merosot.
Sulit bagi Ut desint untuk terus mempertahankan acara pertunjukan drama rutin mereka, karena jumlah penonton juga menyusut.
Setelah bertahun-tahun merana, tahun 1835 Gedung Kesenian mulai hidup dan dipadati penonton lagi. Pada tanggal 23 September tahun itu di Batavia mendarat sebuah kapal dari Singapura yang membawa rombongan sandiwara Prancis di bawah pimpinan seorang impresario bernama Minard.
Selama dua bulan mereka menghibur publik Batavia dengan tiga musikal Prancis, masing-masing berjudul: Michel et Christine, Angeline ou la Champenoise, dan La Demoiselle et la Dame ou avant apres le mariage. Untuk pertama kali khalayak Batavia menyaksikan pertunjukan yang benar-benar dimainkan rombongan drama profesional.
Selama ini panggung Schouwburg hanya menampilkan pertunjukan oleh perkumpulan-perkumpulan drama amatiran, dengan pemain yang kemampuan aktingnya pas-pasan. Namun bukan itu yang membuat penonton berduyun-duyun datang ke Gedung Kesenian.
Khalayak Batavia tertarik oleh adanya aktris atau pemain drama wanita dalam pertunjukan itu.
Sampai saat itu drama hanya dimainkan kaum laki-laki saja di Batavia. Perkumpulan-perkumpulan drama, termasuk Ut desint, tak pernah memiliki anggota wanita. Segala peran wanita terpaksa harus selalu dimainkan aktor pria.
Sebuah roman percintaan seringkali malah jadi menggelikan karena tokoh-tokoh wanitanya berwajah kasar, bersuara besar dan bertubuh kekar.
Entah kenapa, wanita-wanita Belanda - atau Indo - di Batavia waktu itu sama sekali tidak tertarik untuk menjadi aktris dan bintang panggung sandiwara. Kesulitan mendapat pemain wanita itulah mungkin yang menyebabkan perkumpulan drama amatir Batavia memilih semboyan "Ut desint vires tamen est laudanda voluntas".
Sukses dengan rombongan dramanya, Minard kemudian mendatangkan berbagai rombongan kesenian langsung dari Prancis ke Batavia pada tahun-tahun berikut. Berkat jasa Minard pula masyarakat Batavia dapat menyaksikan pertunjukan opera untuk pertama kali. Rombongan itu didatangkan ke Batavia pada tahun 1836.
Semua rombongan kesenian Prancis yang datang ke Batavia itu bukan dari kelas satu yang terkenal, tetapi kelompok artis kelas kambing yang di Prancis sendiri tidak mendapat pasaran. Meski opera atau drama yang mereka pentaskan selalu dimainkan dalam bahasa Prancis, penonton Batavia tetap bisa mengikuti jalan ceritanya.
Beberapa hari sebelum pertunjukan, ringkasan cerita dalam bahasa Belanda biasanya sudah dapat dibaca dalam surat kabar.
Akibat sering dikunjungi rombongan kesenian Prancis, pengaruh kebudayaan Prancis juga terasa dalam masyarakat Batavia dalam kuartal kedua abad ke-19 itu. Masyarakat gandrung segala yang berbau Prancis, mulai dari bahasa, pakaian sampai tata cara pergaulan.
Banyak artis Prancis yang kemudian tinggal beberapa bulan di Batavia. Mereka membuka rumah mode gaya Paris atau memberi kursus dansa sebagai usaha sambilan.
Banyak perabotan hilang
Selain dipakai sebagai tempat pertunjukan drama dan opera - baik oleh kelompok-kelompok seniman amatir maupun profesional - Schouwbuig di zaman kolonial juga dipakai sebagai tempat pagelaran musik dan wayang orang.
Sejak 1921 pertunjukan wayang orang ditampilkan secara rutin empat kali dalam setahun. Mungkin untuk menunjang kesenian lokal, setiap kali melakukan pagelaran, suatu rombongan wayang orang diberi subsidi sebesar 125 gulden. Selain itu mereka juga dibebaskan dari kewajiban membayar sewa tempat dan penerangan (listrik).
Dua rombongan wayang orang yang biasa tampil di Schouwburg waktu itu adalah Krido Jatmoko dan Marsoedi Bekso.
Kemegahan Gedung Kesenian mulai runtuh sejak zaman pendudukan Jepang. Untuk beberapa lama waktu itu, gedung tersebut tidak dipakai sebagai tempat pertunjukan kesenian, tapi dijadikan salah satu markas tentara. Satu demi satu perabotannya pun menghilang entah ke mana, termasuk lampu-lampu kristal indah yang dulunya menghiasi teras gedung.
Hampir bersamaan dengan pendirian Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka) oleh pemerintah pendudukan Jepang, pada bulan April 1943 Schouwburg dikembalikan pada fungsi semula sebagai gedung pertunjukan dengan nama Siritsu Cekizyoo.
Tempat sidang dan gedung bioskop
Di zaman pendudukan Jepang ini acara-acara di Gedung Kesenian terutama diisi oleh para seniman muda Indonesia yang tak mau tunduk begitu saja pada kehendak Jepang. Mereka itu antara lain Rosihan Anwar, Usmar Ismail, El Hakim (dr. Abu Hanifah), H.B. Jassin, Soerjo Soemanto, D. Djajakusuma, Kusbini dan Cornel Simanjuntak.
Perkumpulan sandiwara amatir Maya di bawah pimpinan Rosihan Anwar tampil secara rutin sekali dua bulan dan menarik banyak penonton. Masyarakat waktu itu kurang suka pergi ke bioskop, yang kebanyakan hanya memutar film-film propaganda Jepang yang tak menarik.
Selain rombongan Maya, acara-acara Gedung Kesenian masa itu juga diisi oleh rombongan-rombongan sandiwara pribumi profesional, seperti Cahaya Timur, Pancawarna dan Bintang Surabaya. Rombongan yang terakhir menjadi terkenal dan digemari karena primadonanya yang cantik, Fifi Young.
Sejarah Gedung Kesenian ternyata tak hanya diisi oleh berbagai pagelaran acara kesenian. Ia uga sempat ikut berperan pada masa peralihan kekuasaan ke tangan pemerintah RI.
Pada malam tanggal 29 Agustus 1945 di gedung yang dikenal sebagai Gedung Komidi itu dilangsungkan sidang pertama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang antara lain dihadiri Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan Ketua KNIP Mr. Kasman Singodimedjo.
Setelah lama tersia-sia dan hanya dianggap sebagai gedung tua yang boleh dipakai untuk apa saja — terakhir sebagai gedung bioskop khusus film Mandarin — Gedung Kesenian sejak awal tahun 1986 dipugar untuk dikembalikan pada bentuk dan fungsinya seperti sedia kala.
Seorang karyawan perusahaan pelaksana pemugaran mengatakan bahwa bagian-bagian tertentu dari gedung tua itu, seperti kamar rias dekat panggung yang jarang dibuka, berkesan sangat angker karena selalu gelap. Jangan-jangan kamar itu memang dihuni para arwah narapidana wanita yang lkut pindah dari Spmhuisgiacht. Hiii...
---
Sumber:
Anwar, Rosihan, Kisah-kisah Jakarta setelah Proklamasi, Jakarta Pustaka Jaya, 1977.Breuning, H.A., Het Voormalige Batavia. 1954.de Haan, F., Oud Batavia. Batavia. 1922.Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Gedung Kesenian Pasar Baru, Sejarah Singkat tentang Pembangunan, Fungsi dan Pengelolaannya, Jakarta, t.t.Hadisutjipto, S.Z., Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta (1750-1945). Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah Pemenntah DKI Jakarta; 1979.van den Berg, N.P., Het Tooneel te Batavia in Vroegeren Tijd Batavia: W Bruning & Co; 1880.
Dapatkan berita terupdate dari Intisari-Online.com di Google News