Find Us On Social Media :

Cerita Noken Tas Papua Yang Duluan Diakui UNESCO Dibanding Teman-temannya

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 23 Juni 2024 | 10:10 WIB

Noken Papu diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia.

Titus Pekei mendeskripsikan noken sebagai pengikat batin anak dengan orangtua. Sering kali noken yang dibuat mama untuk anaknya menjadi obat rindu saat anak dan orangtua terpisah jarak dan waktu. Kini sudah diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Indonesia punya begitu banyak ragam tas, dari yang tradisional hingga yang modern. Dari yang berbahan tanaman hingga kulit hewan. Dari yang fungsinya untuk kebutuhan sehari-hari hingga untuk kebutuhan ritual.

Masyarakat Dayak di Kalimantan Timur punya anjat, masyarakat Badui di Jawa Barat punya koja, orang Toraja punya sepu, orang Togutil di Maluku punya saloi, orang Jawa punya kerombokan, hingga noken untuk masyarakat Papua.

Sayangnya, dari semua tas itu, yang baru "diakui" internasional, dalam hal ini adalah UNESCO, baru tas noken dari Papua. Pada 4 Desember 2012 lalu, noken resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) oleh UNESCO.

Mengutip Kompas.com, UNESCO menetapakan noken sebagai warisan budaya dunia tak benda di Paris, Prancis. Ia digolongkan dalam kategori "in Need of Urgent Safeguarding" atau warisan budaya yang membutuhkan perlindungan mendesak. Noken masuk dalam ranah tradisi dan ekspresi lisan, pengetehuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semseta, dan kemahiran kerajinan tradisional.

Titus Pekei, pendiri Yayasan Ekologi Papua, adalah orang yang punya andil besar dalam diakuinya noken oleh UNESCO. Dia melakukan penelitian tentang noken dari 2008 hingga 2010. Hasil dari penelitian itulah yang dia gunakan untuk mendaftarkan noken ke UNESCO.

"Dari hasil penelitian di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat, kami menemukan ‘noken’ sebagai kata universal yang dipakai masyarakat untuk menyebut kerajinan tangan ini. Kami kemudian mendaftarkan nama ‘noken’ dari ratusan nama yang diusulkan ke UNESCO. Mereka memilih kata noken sebagai sebutan yang umum untuk warisan dunia tak benda dari Papua ini,” ungkap Titus.

Bagaimana orang Papua memaknai noken?

Mengutip warisanbudaya.kemdikbud.go.id, noken merupakan hasil daya cipta, rasa dan karsa yang dimiliki oleh masyarakat Papua. Secara umum, bentuk dan fungsinya seperti tas pada umumnya. Meski begitu, masyarakat Papua tidak menganggapnya begitu.

Bagi mereka, noken punya perbedaan yang sangat signifikan dengan tas yang diproduksi pabrik, baik secara bahan, jenis, model maupun bentuknya. Lalu bagaimana masyarakat Papua melihat dan mendefinisikan noken?

Pertama, bagi mereka, noken adalah wadah yang dirajut dan dianyam dari pohon atau daun yang kadang diwarnai dan diberi berbagai hiasan termasuk pewarna demi memenuhi kepuasan batin perajin dan terutama penggemarnya.

Selain itu, noken adalah kerajinan tangan yang berasal dari hampir semua suku bangsa di Papua, yang dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan untuk mengisi, menyimpan, dan membawa barang kebutuhan sehari-hari.

Sosiolog Universitas Cenderawasih Jayapura, Avelinus Lefaan, sebagaimana dimuat Kompas.ID, mengatakan, dari sudut pandang sosiologi, noken bermakna sebagai media untuk memanusiakan manusia. Selain dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu, noken juga mengandung nilai kemanusiaan, seperti saling menghargai antara warga setempat dengan warga non-suku Papua.

Dia juga menambahkan bahwa simpul yang membentuk noken melambangkan jaringan struktur sosial yang dinamis. Artinya, masyarakat Papua bisa menjalin hubungan dengan siapa saja. Meskipun bentuk dan nama noken beragam, tetapi tetap menjadi representasi kultural orang Papua.

Titus sendiri, dalam bukunya Cermin Noken Papua: Perspektif Kearifan Mata Budaya Papuani (2013), mendeskripsikan noken sebagai pengikat batin anak dengan orangtua. Sering kali noken yang dibuat mama untuk anaknya menjadi obat rindu saat anak dan orangtua terpisah jarak dan waktu.

Dia menilai noken menjadi sumber kemandirian dan kreativitas masyarakat Papua yang terus berjuang di tengah era modernisasi dan minimnya dukungan dari pemerintah. Dia berharap pemerintah daerah setempat memberdayakan para perajin dan menyiapkan tempat yang layak agar mereka terus berkarya demi kelestarian noken di masa mendatang.

Noken secara umum adalah tempat membawa atau menyimpan semua barang berupa tas rajutan dan anyaman tangan. Juga tempat untuk menyimpan barang pribadi, karena dengan melihat isinya, maka orang sudah mengetahui siapa pemiliknoken tersebut.

Di Papua, noken memiliki beragam sebutan, sesuai dengan nama daerah di mana noken itu dikreasikan. "Di Hugula noken disebut dengan su; Suku Dani menyebutnya dengan jum; Yali menyebutnya sum; di Biak disebut dengan inoken atau inokenson; orang-orang Mee menyebutnya agia; Asmat menyebutnya ese; lrarutu disebut dump, dan lain sebagainya," tulis situs yang dikelola oleh Kemendikbud itu.

Kabarnya, ada 250-an suku di Papua yang mengenal dan mengenakan noken dalam kehidupan sehari-hari. Karena itulah, noken menjadi sebuah kebudayaan yang terus dipakai secara turun temurun, sehingga tidak diketahui secara jelas bagaimana noken berkembang di Papua. Berbagai informasi menyebutkan bahwa sejak dahulu noken juga digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari.

Di antara fungsi noken adalah untuk membawa hasil kebun, hasil laut, kayu, hewan kecil, barang belanjaan, uang, sirih, makanan, buku, bahkan untuk membawa bayi yang masih kecil. Noken juga dapat dipakai sebagai tutup kepala atau badan.

Lalu bagaimana orang Papua memaknai noken?

Masih dari sumber yang sama, noken bagi orang Papua adalah "rumah berjalan" yang di dalamnya berisi segala kebutuhan. Noken juga dianggap sebagai simbol kesuburan perempuan, kehidupan yang baik, dan perdamaian. Di berbagai suku di Papua noken menunjukkan status sosial penggunanya. Orang terkemuka dalam masyarakat, misalnya kepala suku, kadang-kadang memakai noken dengan pola dan hiasan khusus.

Noken umumnya dibuat oleh wanita atau mama-mama Papua yang rata-rata sudah berusia lanjut, yang disebut dengan "Mama Noken". Tapi ada juga noken yang dibuat oleh para pria, terutama di Suku Mee dan dinamakan Meuwodide alias bapak-bapak Papua di daerah Suku Mee.

Ini bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat noken:

- Serat pohon.

- Kulit Kayu

- Daun Pandan

- Rumput Rawa.

Bahan-bahan itu kemudian diproses secara konvensional sehingga menjadi benang yang kemudian digunakan untuk merajut.

Tiap suku punya caranya masing-masing untuk mengolah bahan baku tersebut. Ada yang membuatnya dengan cara memotong beberapa jenis pohon khusus yang dipanaskan di atas api hingga layu, lalu direndam dalam air selama beberapa hari. Ada juga perajin yang menguliti batang pohon lalu kulitnya saja yang direndam. Kulit pohon lepas dari batangnya, lendir kulit pohon keluar, hingga tinggal seratnya. Ada juga yang menguliti batang kayu kecil, lalu batang kayu tersebut dipukuli hingga tinggal seratnya.

Serat kayu yang didapat kemudian dikeringkan menjadi bahan serat yang kemudian dipintal hingga menjadi benang kuat dengan telapak tangan di atas paha perajin. Serat tersebut kadang diwarnai dengan warna alami (contoh, Suku Dani/Hugula). Benang itu kemudian dirajut dengan tangan untuk membuat tas jala dengan berbagai pola dan ukuran. Di daerah Paniai ditemukan noken khusus yang diberi hiasan dari serat tangkai anggrek berwarna kuning, hitam dan coklat.

Ironi noken kiwari

Seperti halnya nasib benda-benda warisan tradisi lainnya, noken saat ini juga menghadapi ironi. Bagaimana tidak, noken sudah jarang digunakan dalam keseharian. Di Desa-desa Papua, noken memang menjadi sebuah barang penting yang digunakan untuk berbagai aktivitas, namun di kota noken sudah mulai ditinggalkan.

Ada beberapa faktor, salah satunya adalah berkembangnya industri dan teknologi yang punya andil besar terhadap hilangnya budaya lokal, noken salah satunya. Industri memungkinkan hadirnya tas-tas pabrikan yang lebih praktis untuk dipakai sehari-hari. Selain itu, sulitnya mendapatkan serat kayu yang merupakan bahan baku utama pembuatan noken juga menjadi salah satu faktor yang mengancam keberadaan noken.

Selain itu, regenerasi yang mumpuni juga menjadi persoalan. Seperti disebut di awal, noken kebanyakan hanya dibuat oleh mama-mama Papua yang sudah tua sementara anak-anak muda tidak memungkinkan untuk melanjutkannya--entah karena urusan pendidikan atau yang lainnya. 

Untung saja, pada 2012 lalu noken resmi diakui UNESCO sebagai salah satu warisan budaya tak benda dari Indonesia yang, mau tidak mau, membuatnya dilihat oleh mata dunia. Harapannya, dengan begitu, kelestarian noken sebagai salah satu warisan budaya Indonesia, khususnya Papua, tetap terjaga hingga masa yang akan datang.

Begitulah cerita noken, tas Papua yang kini sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Semoga tetap lestari untuk selama-lamanya.

Dapatkan berita terupdate dari Intisari-Online.com di Google News