Find Us On Social Media :

Cerita Presiden Soeharto dan Keluarganya Berangkat Haji Dengan Uang Sendiri Tanpa Didampingi Menteri

By Afif Khoirul M, Kamis, 20 Juni 2024 | 13:15 WIB

Presiden Soeharto berangkat Haji dengan menggunakan uang pribadi.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channnel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

___

Intisari-online.com - Pada tahun 1991, Indonesia dihebohkan dengan kabar keberangkatan Presiden Soeharto beserta keluarga untuk menunaikan ibadah haji.

Berbeda dengan presiden sebelumnya yang didampingi oleh menteri, Soeharto memilih untuk berangkat secara pribadi tanpa pengawalan menteri. Keputusan ini pun menuai berbagai spekulasi dan menjadi sorotan publik.

__________________________________________________________________________

Keinginan Lama yang Tertunda

Soeharto sendiri sudah lama memiliki keinginan untuk berhaji. Namun, kesibukan mengurus negara membuatnya menunda-nunda niat mulia tersebut. Baru di tahun 1991, beliau merasa waktu yang tepat telah tiba untuk melaksanakan ibadah haji.

Berangkat Sebagai Hamba Allah, Bukan Presiden

Sejak awal, Soeharto ingin menunaikan ibadah haji sebagai seorang Muslim biasa, bukan sebagai kepala negara. Beliau ingin merasakan pengalaman yang sama dengan jamaah haji lainnya, tanpa keistimewaan dan perlakuan khusus.

Oleh karena itu, beliau memutuskan untuk berangkat bersama keluarga tanpa didampingi oleh menteri ataupun pejabat tinggi negara.

Kepergiannya pun diurus layaknya jamaah haji biasa, mulai dari pendaftaran, pengurusan visa, hingga pemesanan akomodasi.

Soeharto juga menolak untuk menggunakan fasilitas negara selama di Arab Saudi. Beliau dan keluarga memilih untuk tinggal di pemondokan biasa bersama jamaah haji lainnya, dan menggunakan transportasi umum untuk berkeliling.

Sikap ini menunjukkan kesederhanaan dan kerendahan hati Soeharto, yang ingin fokus pada ibadah dan tidak ingin membebani negara dengan pengeluaran tambahan.

Selama di Tanah Suci, Soeharto dan keluarga mengikuti seluruh rangkaian ibadah haji dengan penuh khusyuk. Beliau juga menyempatkan diri untuk berziarah ke tempat-tempat bersejarah dan bertemu dengan jamaah haji dari berbagai negara.

Salah satu momen yang paling berkesan adalah ketika Soeharto melakukan lempar jumrah. Beliau berbaur dengan jamaah lain, tanpa pengawalan ketat, dan merasakan atmosfer ibadah yang penuh kekhusyu'an.

Kepulangan yang Penuh Haru

Setelah menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji, Soeharto dan keluarga kembali ke Indonesia dengan perasaan haru dan bahagia.

Beliau merasa bersyukur telah diberi kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan merasakan langsung keagungan Baitullah.

Keputusan Soeharto untuk berangkat haji secara pribadi tanpa didampingi menteri menjadi contoh bagi para pemimpin bangsa.

Beliau menunjukkan bahwa jabatan dan kekuasaan tidak menghalangi seseorang untuk menjalankan ibadah.

Kisah Soeharto dan keluarganya berhaji juga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa di mata Allah SWT, semua manusia adalah sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Baca Juga: Mengenang Tragedi Mina 1990, Ketika 562 Jamaah Haji Indonesia Meninggal Dunia Di Tanah Suci

Aturan Ibadah Haji pada Masa Orde Baru

Masa Orde Baru (1966-1998) menjadi periode penting dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia. Di era ini, pemerintah Orde Baru menerapkan berbagai aturan dan kebijakan yang bertujuan untuk mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan haji.

Kuota Haji dan Sistem Pendaftaran

Pada masa Orde Baru, kuota haji untuk Indonesia ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi. Kuota ini kemudian dibagikan kepada umat Islam di Indonesia melalui sistem pendaftaran yang dikelola oleh Departemen Agama.

Proses pendaftaran haji pada masa itu cukup rumit dan memakan waktu lama. Calon jamaah haji harus memenuhi berbagai persyaratan, seperti usia minimal 45 tahun, sehat jasmani dan rohani, serta mampu secara finansial.

Pendaftaran haji dilakukan secara manual, dan calon jamaah harus mendatangi kantor Departemen Agama di daerahnya masing-masing. Hal ini membuat proses pendaftaran menjadi lamban dan tidak efisien.

Pembentukan Direktorat Jenderal Urusan Haji

Pada tahun 1966, pemerintah Orde Baru membentuk Direktorat Jenderal Urusan Haji (Ditjen Urusan Haji) di bawah Departemen Agama. Ditjen Urusan Haji bertugas untuk menyelenggarakan dan mengatur pelaksanaan ibadah haji bagi umat Islam di Indonesia.

Pembentukan Ditjen Urusan Haji merupakan langkah penting untuk meningkatkan profesionalisme dan efisiensi penyelenggaraan haji. Ditjen Urusan Haji memiliki tugas dan fungsi yang jelas, seperti:

Menyusun dan melaksanakan kebijakan penyelenggaraan haji

Membina dan mengkoordinasikan penyelenggaraan haji di daerah

Memberikan pelayanan dan pembinaan kepada jamaah haji

Melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan haji

Pembangunan Asrama Haji

Untuk menampung jamaah haji sebelum keberangkatan dan setelah kepulangan dari Tanah Suci, pemerintah Orde Baru membangun asrama haji di berbagai daerah di Indonesia.

Pembangunan asrama haji ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi jamaah haji, serta untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan haji.

Pembinaan Jamaah Haji

Pemerintah Orde Baru juga memberikan pembinaan kepada jamaah haji sebelum keberangkatan mereka ke Tanah Suci. Pembinaan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan bekal kepada jamaah haji tentang tata cara pelaksanaan ibadah haji, serta untuk meningkatkan kesiapan mereka dalam menghadapi berbagai hal yang mungkin terjadi selama di Tanah Suci.

Pembinaan jamaah haji dilakukan melalui berbagai kegiatan, seperti:

Pemberian ceramah dan pelatihan tentang tata cara pelaksanaan ibadah haji

Pemeriksaan kesehatan dan pemberian vaksinasi