Find Us On Social Media :

Aturan Ketat Ibadah Haji Pada Zaman Kolonial

By Afif Khoirul M, Senin, 17 Juni 2024 | 18:00 WIB

Dulu, hanya orang-orang yang benar-benar kaya bisa berangkat haji. Pada 1965, ongkos haji berkisar dari 1,1 juta hingga 1,2 juta. Itu angka yang sangat besar.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru dari kami di sini

---

Intisari-online.com - Pada periode 1824 hingga 1859, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memperketat kebijakan terkait keberangkatan jemaah haji dari Nusantara. Mereka menganggap bahwa kegiatan haji dapat mengancam keberadaan mereka di Indonesia.

Kesadaran akan dimensi politis dari ibadah haji ini meningkat ketika Hindia Belanda mengambil alih peran VOC sebagai penguasa kolonial.

Pemerintah kolonial percaya bahwa individu yang kembali dari haji memiliki kemampuan untuk memobilisasi massa dalam pemberontakan melawan mereka.

Untuk itu, berbagai langkah diambil untuk mengontrol keberangkatan haji, termasuk melalui Ordonansi Haji tahun 1825 yang membatasi jumlah jemaah haji dan meningkatkan biaya keberangkatan.

Dekade berikutnya, pada tahun 1859, dikeluarkan ordonansi baru yang sedikit lebih longgar namun masih mengandung pembatasan. Ordonansi ini menonjolkan adanya "ujian haji" bagi mereka yang kembali dari Makkah, dimana mereka harus membuktikan telah benar-benar melakukan ziarah.

Mereka yang lulus ujian ini diberi gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus sebagai tanda telah menunaikan rukun Islam kelima.

Pemberian gelar dan atribut fisik ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan oleh pemerintah kolonial terhadap para haji, sehingga mereka tidak perlu mengawasi setiap individu secara langsung.

Dengan cara ini, jika terjadi pemberontakan berbasis agama, pemerintah dapat dengan mudah mengidentifikasi dan menangkap para haji di wilayah tersebut.

Mengutip buku M. Dien Madjid dalam karyanya "Berhaji di Masa Kolonial" (2008), ordonansi ini juga muncul karena adanya penyalahgunaan gelar haji dan fakta bahwa sebagian jemaah tidak kembali ke tanah air setelah menunaikan ibadah, yang menimbulkan masalah sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan.

Namun, Snouck Hurgrounje, seorang ahli Islam dari Belanda, meragukan motif sebenarnya dari pemerintah kolonial dalam menerapkan ordonansi tersebut. Ketika Snouck datang sebagai penasihat pada tahun 1899, ia membawa perubahan signifikan dalam pandangan pemerintah terhadap Islam.