Find Us On Social Media :

Haji Misbach, Sang Haji Merah dengan Warisan Pemikiran yang Membebaskan

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 17 Juni 2024 | 10:17 WIB

Haji Misbach sang Haji Merah.

Misbach lahir sekitar era 1876 di Kauman, Surakarta, dengan nama kecil Achmad. Masa kecil Achmad banyak dihabiskan dengan membantu ayahnya berdagang batik. Ayah Achmad adalah seorang pedagang batik yang kaya raya. Mereka tinggal di sisi barat alun-alun utara, dekat Masjid Agung Surakarta. Kauman sendiri adalah tempat bermukimnya para pegawai keagamaan para Sunan.

Sang ayah bukanlah pejabat keagamaan yang terkenal, namun, karena Achmad lahir dan besar di kawasan yang sangat religius di Surakarta, maka dia menghabiskan sebagian besar masa sekolahnya di pesantren.

Basis pendidikan di pesantren serta lingkungan keraton Surakarta inilah yang kemudian memengaruhi sosok Misbach ketika menjadi seorang mubalig, meskipun dia juga menempuh pendidikan di sekolah bumiputera “Ongko Loro”.

Setelah menikah, Achmad merubah namanya menjadi Darmodiprono. Ketika ia menunaikan kewajiban untuk berangkat ke Tanah Suci, namanya berubah menjadi Haji Muhammad Misbach. Namun ada yang hilang dari sejarah Haji Misbach, bahkan jika membaca buku Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 karya Takashi Shiraishi. Dari ratusan halaman yang dihasilkan melalui studi kepustakaan yang luas dan mendalam, sulit sekali menemukan fase saat Haji Misbach hidup sebagai seorang ayah dan suami. Nama dari sang istri pun sulit ditemukan.

Haji Misbach dalam masa Pergerakan

Sebelum era 1910-an, Misbach bukanlah tokoh yang dikenal. Dia banyak menghabiskan hari-harinya dengan berdagang batik membantu ayahnya. Sebagai seorang pedagang, dia cukup lihai dan apik dalam mengelola bisnisnya. Terlebih lagi pada era abad XX, Surakarta merupakan sentra batik di pulau Jawa.

Kepiawaiannya dalam berdagang membuatnya mendirikan rumah kerja batik dan menjadi pengusaha batik yang sukses pada masa itu.

Misbach tidak menguasai bahasa Belanda dengan fasih sehingga dia tidak mampu membaca dan menulis dalam bahasa Belanda. Misbach juga tidak memiliki teman maupun sahabat dari Belanda. Namun dia sangat fasih berbahasa Arab.

Karena keterbatasan inilah, banyak penulis isu pergerakan menganggap bahwa Misbach relatif banyak dikenal dalam lingkungan pesantren dan pendidikan agama dibandingkan di kalangan tokoh-tokoh pergerakan.

Misbach pertama kali tampil sebagai tokoh pergerakan kaum muda Islam di Surakarta pada pertengahan 1910-an. Saat Sarekat Islam didirikan di Surakarta pada 1912, Misbach mendaftar menjadi anggota, namun tidak terlalu aktif karena urusan perdagangan batik.

Nama Misbach baru mulai naik saat terlibat pergerakan pada 1914, ketika ia ikut dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB) bentukan Mas Marco Kartodikromo, murid dari Tirto Adhi Surjo. Selain Mas Marco, ada juga Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono, dan Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri lainnya.

IJB merupakan organisasi wartawan pelopor yang radikal. Sejumlah anggotanya sering diadili bahkan ada yang diasingkan ke Digul oleh penguasa kolonial Belanda. Alasan Misbach bergabung dengan IJB sangat sederhana: ia merupakan pelanggan setia surat kabar Doenia Bergerak, yang merupakan organ dari IJB.