Find Us On Social Media :

Ketika Belanda Banggakan Kekayaan Alam yang Dikeruk Dari Indonesia

By Afif Khoirul M, Sabtu, 15 Juni 2024 | 15:45 WIB

Tentara Belanda berangkat dari Rotterdam menuju Indonesia.

Intisari-online.com - Kepemilikan harta kolonial yang sangat besar, yang luasnya 56 kali lebih besar daripada wilayah kota metropolitan, merupakan sumber kebanggaan nasional tradisional bagi pendudouk Belanda. Perdana Menteri Belanda pada masa perang Pieter Gerbrandi berkata:

"Belanda bukan hanya sebuah negara kecil di Eropa. Kami tersebar di 4 benua. Kepemilikan kami di luar negeri adalah alasan keberadaan kami."

_________________________________________________________________

Hindia Belanda, bak mutiara mahkota kerajaan kolonial Belanda, dianggap sebagai raksasa yang tertidur di paruh pertama abad ke-20.

Kekayaan alamnya yang berlimpah, dari karet dan gula hingga kopi, timah, dan minyak bumi, mengalir ke kas Belanda, menopang kejayaan mereka di Eropa.

Namun, di balik gemerlap kolonialisme, benih-benih perlawanan mulai berkecamuk..

Rakyat Indonesia, tak lagi puas menjadi warga kelas dua di tanah air mereka sendiri, terinspirasi oleh gagasan kemerdekaan yang berkobar di seluruh dunia. Pada tahun 1920-an, gerakan Islam dan komunis mulai mengorganisir perlawanan.

Di tahun 1930-an, Soekarno, seorang nasionalis moderat, muncul sebagai pemimpin pergerakan. Belanda mencoba meredam gejolak ini dengan reformasi kecil, namun api kemerdekaan tak kunjung padam.

Kedatangan Jepang pada Perang Dunia II bagaikan badai yang menerjang Hindia Belanda. Penjajah lama digulingkan, digantikan oleh penjajah baru. Namun, di balik kekacauan ini, peluang emas tercipta.

Di bawah pendudukan Jepang, para pemimpin nasionalis Indonesia, termasuk Sukarno dan Hatta, mendapat kesempatan untuk mengorganisir rakyat dan membangun struktur pemerintahan.

Puncaknya tiba pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Sukacita kemerdekaan tak berlangsung lama. Belanda, yang telah bangkit kembali dari kekalahan di Eropa, bertekad untuk merebut kembali koloninya.

Upaya Belanda Rebut Kembali Indonesia

Namun, di bekas Hindia Belanda, bayang-bayang penjajahan belum sirna. Musim gugur 1945, pasukan Inggris dan Australia mendarat, menggantikan Jepang.

Kehadiran mereka membawa angin segar bagi rakyat Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan, namun juga memicu pergolakan baru.

Komando Inggris berusaha menjaga keseimbangan, menduduki kota-kota besar dan menjalin dialog dengan para pemimpin nasionalis. Namun, gesekan tak terhindarkan antara pasukan Inggris dan berbagai milisi Indonesia yang tak ingin terikat kembali dengan kolonialisme.

Bentrokan terbesar terjadi di Surabaya, Oktober-November 1945. Pertempuran heroik ini menjadi awal resmi Perang Kemerdekaan Indonesia.

Sementara itu, di Jakarta, Belanda bangkit dari kekalahannya. Pada 1 Oktober 1945, pemerintahan kolonial kembali di bawah komando Gubernur Jenderal Hubert van Mook. Janji kemerdekaan digembar-gemborkan, namun dengan syarat: masa transisi dan kontrol ketat dari Belanda. Soekarno dan Hatta, pemimpin Republik, dicap "pengkhianat" dan tak diajak berunding.

Van Mook merancang "Amerika Serikat Indonesia" (USI), negara federal yang diwarnai boneka-boneka Belanda di berbagai wilayah. Teror Belanda di Jakarta memaksa para pemimpin Republik pindah ke Yogyakarta, di bawah perlindungan Sultan Hamengkubuwono IX.

Pada Maret 1946, pasukan Belanda dari Eropa tiba. Inggris menarik diri, menyerahkan kota-kota kepada Belanda yang kembali membentuk Tentara Hindia Belanda (KNIL). Api perang kembali berkobar.

Pertempuran sengit terjadi di berbagai penjuru. Belanda melancarkan agresi militer, "Operasi Politieke Actie" (aksi polisional), untuk menumpas Republik. Namun, rakyat Indonesia tak gentar. Diplomasi dan perlawanan bersenjata dijalankan beriringan.

Perundingan Linggadjati (November 1946) dan Renville (Januari 1947) gagal mencapai solusi. Belanda terus melancarkan agresinya, menargetkan Yogyakarta pada "Operasi Kraai" (Desember 1948). Soekarno dan Hatta ditangkap, namun perlawanan tak padam.

Gerilya dan diplomasi terus dijalankan. Konferensi Inter-Indonesia (KII) (1948-1949) menyatukan berbagai kekuatan nasionalis. Serangan balasan Indonesia di bulan Maret 1949 di Yogyakarta ("Serangan Umum 1 Maret") menunjukkan kekuatan Republik.

Tekanan internasional terhadap Belanda meningkat. PBB menuntut penyelesaian damai. Belanda dipaksa ke meja perundingan. Pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag (Agustus-September 1949), hingga Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

*