Find Us On Social Media :

Menengok Tiga Silsilah Soeharto, Ada Yang Bikin Murka Sang Jenderal

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 15 Juni 2024 | 11:17 WIB

Setidaknya ada tiga silisalah Presiden Soeharto. Salah satu di antaranya pernah bikin Sang Jenderal murka.

Mantan presiden Soeharto punya silsilah yang simpang siur. Bagaimanapun juga, silsailah yang simpang siur menyulitkan pembagian warisan. Belum lagi susahnya dalam menulis sejarah keluarga. Bingung, versi mana yang mau dipakai?

Asvi Marwan Adam untuk Majalah Intisari edisi Februari 2008

---

Intisari kini hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Makin simpang siur, karena di masa lalu (persisnya di masa Orde Baru), ada kecenderungan untuk mengaitkan, bahkan mencari-cari hubungan seseorang dengan keluarga kerajaan. Karena orang yang (terbukti) punya hubungan istimewa itu, sedikit banyak tentu akan terangkat derajatnya.

Siapa tak mau dianggap berdarah biru atau ningrat?

Pada Pak Harto, ada juga upaya untuk mengaitkan garis keturunan beliau dengan bangsawan keraton Yogyakarta. Upaya ini terlihat di sebuah majalah pada tahun 1974. Namun bukannya masuk buku sejarah, upaya majalah itu malah berbuntut pembereidelan. Nahas.

Bikin murka

Toh rumor tentang silsilah Soeharto tetap saja beredar, bahkan masuk dalam bahasan di buku biografi mantan penguasa Orde Baru itu, yang diterbitkan oleh Cambridge University Press, 2001.Sebagai peneliti, saya punya pengalaman menarik tentang buku karya Robert Edward Elson (guru besar di Griffith University, Brisbane, Australia) tersebut, yang judul lengkapnya Suharto, a Political Biography.

Sekitar tiga tahun lalu, sebuah penerbit di Jakarta meminta saya menulis kata pengantar untuk terjemahan buku tersebut. Saya menyanggupi, tapi dengan wanti-wanti: sebaiknya terjemahkan istilah illegitimate child yang mengacu kepada Soeharto sebagaimana terdapat dalam buku aslinya.

Penerbit buku itu kemudian menanyakan kepada saya, apa padanan bahasa Indonesia yang tepat untuk istilah illegitimate child? Saya tidak memberikan jawaban, namun menyarankan, apa pun ungkapan yang dipilih sebaiknya mencantumkan istilah aslinya di dalam tanda kurung.

Sehingga bila ada protes atau tuntutan dari pihak keluarga Pak Harto, karena dianggap mencemarkan nama baik, ada alasan kuat bahwa kata-kata itu memang didapat dari buku aslinya yang berbahasa Inggris.

Saran saya ini tidak dituruti oleh penerbit.

Sebaliknya, mereka memilih mencari jalan aman dengan menyamarkan nama penerbit. Oh ya, bicara tentang silsilah Soeharto, setidaknya ada tiga versi yang pernah beredar di masyarakat.

Versi pertama menyebut Pak Harto sebagai keturunan bangsawan Yogyakarta. Kabar menggegerkan ini muncul di majalah POP, volume 2, nomor 17, Tahun 1974. Diberitakan di situ, Soeharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan keturunan Hamengkubuwono II yang memerintah antara tahun 1792-1810, 1811-1812, dan 1826-1828.

Padmodipuro, karena ingin menikah lagi, memberikan Soeharto--saat itu baru berumur 6 tahun, bersama ibunya--kepada seorang penduduk desa bernama Kertorejo. Ditambahkan, tampaknya Soeharto tidak pernah berhubungan dengan keraton, sungguh pun kakek buyut dari pihak ibunya, yakni Notosudiro memiliki istri seorang wanita yang berjarak lima generasi, merupakan keturunan putra dari Hamengkubuwono V dengan selir pertamanya.

Baca Juga: Langkah Politik Pertama Soeharto di Bidang Politik Luar Negeri: Membangun Stabilitas dan Diplomasi Baru

Bisa ditebak, Soeharto langsung murka membaca berita tersebut. Tiada ampun setelah ulahnya itu, POP pun dilarang terbit.

Versi kedua menyebut Soeharto sebagai anak hilang yang tidak ditemukan oleh orangtuanya. Bahkan ada versi yang lebih ekstrem menyebutnya sebagai anak tidak sah. Konon, seorang berpangkat atau seorang pedagang keliling keturunan Tionghoa menyerahkan Soeharto kepada seorang penduduk desa.

Keterangan versi kedua ini disampaikan oleh Mashuri SH, tetangga Mayjen Soeharto di Jin. Haji Agus Salim pada tahun 1965, dan mantan Menteri Penerangan pada era Orde Baru (Elson, 2005, hal 31).

Silsilah versi ketiga, Soeharto disebutkan sebagai anak seorang petani asal Kemusuk. Versi inilah yang disampaikan Soeharto dalam konferensi pers di Bina Graha, tanggal 28 Oktober 1974. Cerita paling akhir ini tegas-tegas membantah cerita versi pertama dan kedua.

Menurut Soeharto, ia adalah putra dari ayah dan ibu yang berasal dari desa Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Kedua orang tuanya tidak pernah meninggalkan desa mereka. Soeharto juga meralat nama ibunya, bukan Fatimah seperti ditulis dalam buku O.G Roeder, The Smiling General (1969).

Yang benar adalah Sukirah.

Saya sendiri melihat, versi pertama (bahwa Soeharto keturunan bangsawan) dan versi kedua (Soeharto anak hilang atau anak tidak sah) tidak didukung oleh dokumen-dokumen yang sahih. Oleh sebab itu, khusus mengenai asal usul Soeharto--kecuali kalau kelak ditemukan dokumen lain--saya masih berpegang pada keterangan resmi yang disampaikan Soeharto sendiri di Bina Graha tahun 1974.

Keterangan yang menyatakan sebagai anak petani miskin dari Desa Kemusuk, Yogyakarta. Kedua orang tuanya berasal dari desa dan tidak pernah meninggalkan desa tersebut, dan keprihatinan semasa usia dini menyebabkan ia bangkit, lalu berjuang dengan gigih meningkatkan taraf kehidupannya.

Dengan mengetahui silsilah dan masa kecil Soeharto, kita dapat memahami berbagai sikap dan tindakannya kelak di kemudian hari.

Keluarga pecah

Cerita masa kecil Soeharto dipenuhi gambaran kisah sedih, tentang keluarga yang bisa disebut broken home. Suami-istri pecah, lantas anak-anak menjadi terlantar. Ibunya, Sukirah, pernah menikah dua kali. Sedangkan ayahnya yang mempunyai julukan "Panjang", disebut-sebut tiga kali menikah dan tiga kali pula berganti nama, mulai dari Kertorejo, Kertosudiro, dan Notokariyo.

Berdasarkan silsilah versi ketiga ini, tampak Probosutedjo merupakan saudara tiri Soeharto, satu ibu tetapi beda ayah. Sementara Sudwikatmono tercatat sebagai sepupu Soeharto, karena ibu Sudwikatmono dengan ayah Soeharto bersaudara kandung.

Pertengkaran keluarga sudah terjadi sejak Sukirah mengandung. Barangkali itu sebabnya, begitu melahirkan, Sang Ibu meninggalkan Soeharto dan bersembunyi sambil melakukan tapa "ngebleng", di dalam rumah joglo di desa. Dia baru muncul 40 hari kemudian dalam kondisi sangat lemah. Kedua pasangan ini kemudian bercerai.

Sumber lain menyebutkan, Sukirah mengalami gangguan kejiwaan. Soeharto lalu diasuh mbah Kromodiryo. Alhasil, sejak kecil Soeharto sudah tidak menikmati air susu ibu (ASI). Ketika ibunya menikah lagi, Soeharto pun tinggal bersama ibu kandung dan ayah tirinya.

Pada usia 8 tahun, dia dijemput kembali oleh ayahnya di Kemusuk dan diserahkan kepada adik perempuan ayahnya, Nyonya Prawirowiharjo (ibu dari Sudwikatmono) di Wuryantoro. Soeharto diangkat anak oleh bibi dan pamannya ini. Setahun kemudian, keluarga ibunya menjemput, tepat pada bulan puasa, karena ibunya merasa kangen.

Soeharto tinggal lagi bersama ibunya selama setahun, sebelum akhirnya diajak kembali pulang oleh pamannya di Wuryantoro.

Setelah masuk sekolah, Soeharto kecil punya tugas rutin menggembala kambing dan kerbau sepulang dari sekolah. Di masa ini ada satu kejadian yang tidak pernah bisa dilupakannya, yakni ketika suatu hari dia disuruh oleh kakeknya, Atmosudiro untuk mengantarkan kerbau ke Kemusuk Lor. Hewan itu akan digunakan besok paginya.

Namun bukannya melewati jalan yang lebih mudah (tanggul), kerbau itu malah berjalan melalui sungai. Keruan Soeharto kecil kelabakan, karena sungai itu makin lama makin sempit, dan tentu saja, dalam. Sampai akhirnya, sang kerbau "mentok", tidak bisa berjalan sama sekali.

Maju enggak bisa, mundur pun susah.

Menyadari hal ini, Soeharto kecil hanya bisa menangis, dan menangis. Soeharto juga pernah berpindah tempat tinggal beberapa kali dan diasuh oleh orang-orang yang berbeda.

Tentu kondisi itu tidak nyaman bagi seorang anak kecil, karena sejak usia dini sudah "dipaksa" berpisah dengan orang-orang terdekatnya.

Meski ada juga nilai positifnya, dengan berpindah tempat dari satu keluarga ke keluarga yang lain, ia jadi terbiasa hidup prihatin. Pengalaman-pengalaman itu membentuk Soeharto menjadi pribadi yang memiliki sifat-sifat keras, ulet, mandiri, serta bersikap hati-hati terhadap ketergantungan pada orang lain. (Bagus Takwin dkk, 2001, hal 21).

Soeharto juga punya kelebihan yang tak dipunyai teman-teman sebaya di desanya, lantaran memiliki kesempatan belajar sampai sekolah menengah. Bekal yang kelak ikut membentuk intelektualitas Sang Smiling General.