Penulis
Saat ini Intisari hadir diWhatsApp Channel, ikuti kami di sini
Intisari-online.com - Pada Juni 2023, dalam rangkaian kunjungan kenegaraan mereka ke Indonesia, Kaisar dan Permaisuri Jepang.
Mereka menyempatkan diri pergi ke Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan meletakkan karangan bunga di cenotaph berwarna putih yang dihiasi lima batang bambu. Diresmikan pada 1954, taman pemakaman ini terletak di Jakarta Selatan dan didedikasikan untuk mengenang para patriot yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada akhir 1940-an.
Sebagai monumen peringatan terkemuka di Indonesia, tempat ini juga menandai peristirahatan terakhir bagi 28 tentara Jepang, namun masih menjadi misteri bagaimana mereka bisa dimakamkan di sini.
____________________________________________________________
Berbagai alasan mendasari mengapa mereka tidak kembali ke Jepang, mulai dari keinginan sendiri hingga keadaan yang memaksa. Beberapa contoh kasus termasuk Prajurit Kelas Satu Shigeo Miyayama yang berkorban untuk kemerdekaan Indonesia, Prajurit Kelas Satu Isamu Hirooka yang mengenal baik tanah dan bahasa setempat, serta Kopral Shigeo Ikegami, Kopral Hideo Fujiyama, Kopral Honbo Takatoshi, dan Sersan Mayor Shigeru Yamanashi yang percaya pada rumor yang beredar. Kopral Tsunegoro Nakamura merasa jenuh dengan kehidupan militer, Kopral Yasuo Shida menyerang atasannya dan takut akan hukuman penjara, Sersan Polisi Militer Nagaki Sugiyama, Sersan Polisi Militer Toshio Tanaka, dan Sersan Polisi Militer Shoji Yamaguchi khawatir akan dihukum sebagai penjahat perang, sedangkan Kopral Tokiharu Toki, Sersan Kiyoshi Hayakawa, Prajurit Yu Minamizato, dan Prajurit Kelas Satu Yoshiharu Shimooka ditawan oleh penduduk setempat. Alasan mereka untuk tetap tinggal sangat beragam dan tidak bisa disederhanakan.
Mengutip The Japan Institute of International Affairs, Sersan Mori Ono yang menetap di Bandung, Jawa Barat, memiliki keyakinan bahwa penyerahan tanpa syarat adalah tidak dapat diterima dan merasa bahwa promosi militernya tertunda, serta menganggap dirinya masih sebagai prajurit aktif.
Kepercayaan dirinya, sikap yang serius dan bertanggung jawab, serta kenyataan bahwa dia adalah anak ketiga dari seorang petani di Hokkaido dan tidak memiliki masa depan dalam pertanian atau cara untuk mencari nafkah jika kembali ke Jepang, semuanya berkontribusi pada keputusannyauntuk menetap di Indonesia.
Di sisi lain, Indonesia memiliki alasan tersendiri untuk menerima tentara Jepang yang tersisa. Terdapat kebutuhan mendesak akan persenjataan dan keahlian militer yang dimiliki oleh Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan pembentukan pemerintahan republik, pasukan Inggris yang mewakili Sekutu segera bergerak masuk pada bulan berikutnya, memicu konflik bersenjata yang berujung pada perang kemerdekaan.
Di awal konflik, ibu kota dipindahkan dari Jakarta di Jawa Barat ke Yogyakarta di Jawa Tengah, dengan Jawa Tengah dan Timur menjadi pusat pertempuran.
Dalam situasi yang kacau ini, berbagai kelompok bersenjata, dari pasukan reguler hingga pasukan gerilya, muncul dan mencari bantuan dari tentara Jepang. Sebagai contoh, Sersan Taira Taira yang berada di Bali, ditawari promosi dan perlakuan sebagai perwira oleh pihak Indonesia.
Sementara itu, Sersan Teknik Osamu Higuchi di Aceh, Sumatera Utara, diculik oleh penduduk setempat karena keahliannya dalam mesiu, dan diancam dengan hukuman mati jika tidak bersedia bekerja sama.
Dengan demikian, keinginan tentara Jepang untuk tetap tinggal dan tujuan Indonesia menjadi satu, menyebabkan banyak tentara Jepang yang akhirnya menetap, terutama di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Memoar dan kesaksian pasca perang mengungkapkan keterlibatan mereka dalam Perang Kemerdekaan, mulai dari memperbaiki senjata militer Jepang, memberikan pelatihan militer, hingga berpartisipasi dalam pertempuran gerilya. Namun, bukti konkret dari keterlibatan ini sulit ditemukan dan belum terbukti secara luas.
Pada tahun 2004, penulis menemukan buku harian kampanye Sersan Mori Ono, yang memberikan wawasan tentang realitas tentara Jepang yang tertinggal selama Perang Kemerdekaan.
"Buku harian Jinchu" ini mencatat periode antara 30 Desember 1945 hingga 26 November 1948, selama Perang Kemerdekaan. Sersan Ono dengan terus terang menuliskan pengalamannya sehari-hari dan situasi pertempuran.
Analisis buku harian ini menunjukkan bahwa seiring berjalannya Perang Kemerdekaan, tentara Jepang yang tertinggal mengalami pemisahan dan pembubaran berulang kali, dan peran mereka pun berubah seiring waktu.
Perang Kemerdekaan Indonesia, yang berlangsung dari Agustus 1945 hingga akhir 1949, ditandai dengan negosiasi diplomatik dan tindakan agresif. Selama periode ini, pemerintah Republik dan Belanda menandatangani dua perjanjian gencatan senjata, namun keduanya dilanggar oleh invasi militer Belanda.
Pada akhir 1948, Yogyakarta, ibu kota saat itu, direbut oleh Belanda, dan Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Hatta ditangkap, membawa negara ke ambang krisis. Sebagai tanggapan, Republik membentuk pemerintahan sementara di Sumatera, dan tentara nasional di bawah pimpinan Jenderal Sudirman melanjutkan perlawanan melalui perang gerilya.
Berkat dukungan internasional, kedaulatan Indonesia akhirnya diakui oleh Belanda melalui Perjanjian Den Haag pada tahun berikutnya, dan pada Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi republik tunggal.
Sersan Ono meninggalkan tentara Jepang pada Desember 1945 dan bergabung dengan pasukan Indonesia. Di Yogyakarta, ia bertemu dengan Tatsuo Ichiki dan berkomitmen pada ide-idenya, menentang tirani Belanda dan berjanji untuk berjuang dan mati bersama sebagai saudara dari ras Asia yang sama.
Setelah menulis buku panduan perang gerilya bersama Ichiki, Ono berdedikasi untuk melatih tentara reguler Indonesia, dan seiring waktu, ia mulai memberikan bimbingan langsung di garis depan. Dalam buku harian kampanye, Ono mencatat bahwa ia menuju ke belakang garis musuh dengan pasukan yang putus asa.
Namun, sebagai organisasi yang tidak resmi, mereka menghadapi kesulitan selama negosiasi gencatan senjata dengan Belanda dan selama reorganisasi militer nasional. Untuk mengatasi kebuntuan ini, mereka membentuk Pasukan Gerilya Khusus (PGI), yang hanya terdiri dari tentara Jepang.
Dipimpin oleh Letkol R. Sulahmad dari Brigade 2 Divisi 1 Jawa Timur, PGI terdiri dari sekitar 30 tentara Jepang yang tersebar di Jawa Timur. Kaptennya adalah Tomigoro Yoshizumi, dan wakil kaptennya adalah Ichiki, keduanya memiliki hubungan lama dengan Hindia Belanda dan kelompok nasionalis Aikokusha.
Saat ini Intisari hadir diWhatsApp Channel, ikuti kami di sini
Dapatkan artikel teupdate dari Intisari-Online.com diGoogle News
*