Find Us On Social Media :

Kopi Yang Jadi Kebanggaan Indonesia Itu Warisan Sistem Tanam Paksa Belanda, Lho

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 4 Juni 2024 | 12:03 WIB

Sistem Tanam Paksa mewajibkan rakyat menanami sebagian dari sawah dan atau ladangnya dengan tanaman yang ditentukan oleh pemerintah dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Sistem tanam paksa ini disebut juga dengan Cultuurstelsel. Salah satu tanaman yang wajib ditanam adalah kopi.

Sistem Tanam Paksa mewajibkan rakyat menanami sebagian dari sawah dan atau ladangnya dengan tanaman yang ditentukan oleh pemerintah dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Sistem tanam paksa ini disebut juga dengan Cultuurstelsel. Salah satu tanaman yang wajib ditanam adalah kopi.

Intisari-Online.com - "Agustus 1984, rakyat Timor Timur (kini Timor Leste) sudah mulai panen kopi!". Begitulah berita yang beredar di koran-koran ibukota sehubungan dengan keberhasilan proyek pengembangan kopi di provinsi yang ketika itu belum lama jadi bagian dari Indonesia.

Mengapa panen kopi saja menjadi berita (agak) besar? Soalnya, yang dikembangkan itu jenis Arabusta. Basteran antara jenis kopi Arabica yang kurus kecil tapi enak, dan kopi Robusta yang meskipun kurang enak, tapi kekar dan tahan penyakit. Hasilnya tahan ditanam di dataran rendah dan tahan perlakuan yang (agak) ceroboh.

Selama ini, jenis kopi kombi ini dirahasiakan oleh penguasa Portugis (sebelum Timor Timur bergabung dengan Republik Indonesia dulu), dan hanya ditanam di perkebunan mereka saja, dengan penjagaan ketat. Sungguh menyedihkan.

Monopoli yang konyol semacam itu juga pernah kita baca dalam sejarah perkopian. Pada masa jaya jayanya Kalifatullah Islam dulu, orang Arab menjaga ketat tanaman penghasil Kahwa sebagai rahasia negara yang tidak boleh bocor ke pihak musuh.

Biji kopi hanya boleh diekspor ke luar negeri sesudah direndam dalam air panas supaya tidak bisa dijadikan bibit.

Siapa yang ketahuan menyelundupkan bibit kopi, dihukum raj am di tempat. Tapi tentara Ottoman dari Turki yang melanda wilayah Arab kemudian membawa tanaman itu sebagai hasil rampokan perang ke Turki di abad ke-16.

Maka buyarlah monopoli itu. Para pedagang Arab leluasa mengekspor biji Kahwa ke mana saja.

Dari Pelabuhan Mocha di Yaman, biji itu diangkut dengan kapal kayu melalui Laut Merah sampai ke Suez. Lalu dipindah ke punggung 'Kapal padang pasir' Cap Unta ke Kairo, Damsyik, dan Aleppo.

Melalui kota-kota inilah, biji itu mengalir ke Eropa abad ke-17 dengan pelbagai lafal baru: Caffe (di Italia), karena di antara pedagang Arab itu ada yang ngibul bahwa biji itu berasal dari Provinsi Kaffa (di Etiopia), Cafe (di Perancis), Coffee (di Inggris), Kaffee (di Jerman, dan Koffie (di Belanda).

Orang Belanda ini tempo-tempo menyebut Koffie impor dari Mocha itu juga sebagai Mocca. Pada tahun 1707, atas usul Walikota Amsterdam Nicolaas Witsen, yang merangkap jabatan sebagai komisaris Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), mereka membagikan bibit koffie kepada para bupati se-Jawa Barat.