Kopi Yang Jadi Kebanggaan Indonesia Itu Warisan Sistem Tanam Paksa Belanda, Lho

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Sistem Tanam Paksa mewajibkan rakyat menanami sebagian dari sawah dan atau ladangnya dengan tanaman yang ditentukan oleh pemerintah dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Sistem tanam paksa ini disebut juga dengan Cultuurstelsel. Salah satu tanaman yang wajib ditanam adalah kopi.

Sistem Tanam Paksa mewajibkan rakyat menanami sebagian dari sawah dan atau ladangnya dengan tanaman yang ditentukan oleh pemerintah dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Sistem tanam paksa ini disebut juga dengan Cultuurstelsel. Salah satu tanaman yang wajib ditanam adalah kopi.

Intisari-Online.com -"Agustus 1984, rakyat Timor Timur (kini Timor Leste) sudah mulai panen kopi!". Begitulah berita yang beredar di koran-koran ibukota sehubungan dengan keberhasilan proyek pengembangan kopi di provinsi yang ketika itu belum lama jadi bagian dari Indonesia.

Mengapa panen kopi saja menjadi berita (agak) besar? Soalnya, yang dikembangkan itu jenis Arabusta. Basteran antara jenis kopi Arabica yang kurus kecil tapi enak, dan kopi Robusta yang meskipun kurang enak, tapi kekar dan tahan penyakit. Hasilnya tahan ditanam di dataran rendah dan tahan perlakuan yang (agak) ceroboh.

Selama ini, jenis kopi kombi ini dirahasiakan oleh penguasa Portugis (sebelum Timor Timur bergabung dengan Republik Indonesia dulu), dan hanya ditanam di perkebunan mereka saja, dengan penjagaan ketat. Sungguh menyedihkan.

Monopoli yang konyol semacam itu juga pernah kita baca dalam sejarah perkopian. Pada masa jaya jayanya Kalifatullah Islam dulu, orang Arab menjaga ketat tanaman penghasil Kahwa sebagai rahasia negara yang tidak boleh bocor ke pihak musuh.

Biji kopi hanya boleh diekspor ke luar negeri sesudah direndam dalam air panas supaya tidak bisa dijadikan bibit.

Siapa yang ketahuan menyelundupkan bibit kopi, dihukum raj am di tempat. Tapi tentara Ottoman dari Turki yang melanda wilayah Arab kemudian membawa tanaman itu sebagai hasil rampokan perang ke Turki di abad ke-16.

Maka buyarlah monopoli itu. Para pedagang Arab leluasa mengekspor biji Kahwa ke mana saja.

Dari Pelabuhan Mocha di Yaman, biji itu diangkut dengan kapal kayu melalui Laut Merah sampai ke Suez. Lalu dipindah ke punggung 'Kapal padang pasir' Cap Unta ke Kairo, Damsyik, dan Aleppo.

Melalui kota-kota inilah, biji itu mengalir ke Eropa abad ke-17 dengan pelbagai lafal baru: Caffe (di Italia), karena di antara pedagang Arab itu ada yang ngibul bahwa biji itu berasal dari Provinsi Kaffa (di Etiopia), Cafe (di Perancis), Coffee (di Inggris), Kaffee (di Jerman, dan Koffie (di Belanda).

Orang Belanda ini tempo-tempo menyebut Koffie impor dari Mocha itu juga sebagai Mocca. Pada tahun 1707, atas usul Walikota Amsterdam Nicolaas Witsen, yang merangkap jabatan sebagai komisaris Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), mereka membagikan bibit koffie kepada para bupati se-Jawa Barat.

Para bupati yang malang ini diminta merayu rakyat daerah masing-masing untuk menanam koffie (yang dilafal kopi) di pekarangan. Hasilnya supaya dijual kepada Belanda, dengan harga murah, supaya mereka tidak usah membeli kopi yang mahal dari Arab lagi.

Mulailah sejarah bertanam kopi wajib sukarela, yang menyebalkan. Kalau hasilnya sedikit, petaninya dimarahi dengan kata-kata kotor. Kalau banyak, dibayar murah. Menyedihkan!

Kewajiban 'sukarela' ini makin memuncak menjadi tanam-paksa di bawah Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch tahun 1830, sampai Asisten Residen Douwes Dekker pada tahun 1860 menulis roman pengharu rasa: Max Havelaar, atau lelang kopi Maskapai Dagang Belanda, dengan nama samaran Multatuli (arti harafiah nama samaran ini ialah: Saya menderita).

Buku 'Lelang kopi' ini selain berisi kisah sedih Saijah dan Adinda, juga pungli besar aparat pemerintah yang ajimumpung.

Multatuli tidak berhasil mengetuk hati nurani para pembesar sipil dan militer (Belanda), sehingga sistem tanam paksa masih berpuluh-puluh tahun lagi dibiarkan menyengsarakan rakyat jelata. Dia baru dihapus pada tahun 1919. Lama sekali sesudah Multatuli makin menderita sebagai bekas asisten residen yang melawan atasannya.

Penghapusan bukan gara-gara buku roman Max Havelaar itu, tapi karena ada penyakit daun yang melanda berjuta-juta pohon kopi di Jawa sampai ludes. Percuma mempertahankan sistem yang konyol.

Kopi kemudian dihasilkan oleh perkebunan kaum swasta, yang tidak mengusahakan kopi Arab lagi, tapi Robusta dari Kongo.

Gara-gara kambing

Siapa yang mengajar kita minum kopi ini dulu?

Orang Arablah yang diakui mula-mula menanam kopi secara teratur di perkebunan negeri mereka, mulai dari abad ke-12, dengan memakai bibit dari Provinsi Kaffa, di Etiopia Barat Daya, Afrika. Tapi siapa di Kaffa ini yang mengajar orang Arab minum kopi?

Diduga bahwa para kambinglah, yang menjadi penemu khasiat kopi yang pertama di dunia. Beberapa ekor yang digembalakan di lereng gunung dekat sebuah biara, pada suatu malam tidak mau tidur tapi mengembek-embek terus. Gembalanya yang bingung meminta bantuan para biarawan.

Sesudah diselidiki ternyata kambing-kambing itu sibuk mengganyangi daun hijau dan buah merah sebatang perdu, yang sebelumnya belum pernah mereka perhatikan.

Selesai membahas tanaman itu, pemimpin biara membakar beberapa ranting yang berbuah untuk menyalakan kembali api unggun penghangat malam yang sudah mulai redup. Dia terkejut, karena dari api timbul bau yang merangsang enaknya.

Ternyata, biji buah itu masih utuh, walaupun sudah dimakan api. Biji ini dikumpulkan, tapi sayang tidak bisa dimakan karena kerasnya. Jadi ya digodok saja, coba-coba, dengan harapan: Eee, siapa tahu, barangkali bisa lunak. Ternyata tidak lunak!

Tapi bau air rebusannya kok enak! Beberapa orang yang mencicipinya tidak bisa tidur, tapi malah bawel.

Kebudayaan ngopi

Kebiasaan minum kopi itu juga kita tiru dalam sarasehan. Semacam simposium tingkat kelurahan. Kalau dulu, sebelum ada kopi, kita dihidangi tuak pada simposium tingkat kelurahan semacam itu, supaya bisa banyak bicara, maka sesudah ada kopi, kita dihidangi minuman kopi. Antara lain juga dengan maksud jangan sampai kita minum tuak lagi, supaya tidak melanggar larangan agama Islam.

Maka, budidaya minum anggur kemudian berubah menjadi kebudayaan ngopi. Bangun tidur pagi-pagi, ngopi. Ngobrol sore-sore, ngopi. Rapat dinas pun ngopi. Konon, mereka yang sudah 'berbudaya' ngopi bisa sering salah paham atau salah tangkap, kalau pada waktu rapat tidak ngopi.

Coffee break (semacam ngopi juga) di kantor masyarakat modern, kini malah merupakan kegiatan terpadu dari tugas kerja dunia usaha. Berjuta-juta tenaga kerja mengaso sebentar, untuk minum kopi santai sambil bertukar pikiran, informasi, atau gossip, bumbu kehidupan bersama.

Soalnya, bapak manajer menyadari bahwa sesudah minum kopi, pegawainya terpacu lagi tenaganya, baik tenaga mental maupun fisik.

Bubuk biji buah

Bagaimana bentuk tanaman yang bisa menghasilkan Kahwa penggugah semangat ini, nian?

Ia berupa pohon setinggi 3 meter, kalau dibiarkan tumbuh liar. Di perkebunan kopi, ia senantiasa dipangkas supaya tetap rendah sebagai perdu 1 meter, dan bercabang banyak. Sebab pada cabang yang tumbuh ke samping inilah muncul bunga dan buahnya, berkelompok-kelompok membentuk dompolan.

Kalau kopi sudah berbunga, bukan main baunya semerbak mewangi seperti bau bunga Yasmin. Bunganya putih, nyepor-nyepor sepanjang ranting yang mendatar, sedang buahnya mula-mula hijau, tapi akhirnya merah tua kalau sudah masak.

Buah kopi masak ini harus dikuliti dulu sebelum bisa diambil bijinya. Di pabrik perkebunan yang mengolah kopi secara basah, buah itu mula-mula direndam dalam air supaya mengalami fermentasi yang membongkar kulit dan daging buah. Biji yang telanjang lalu dibersihkan, sebelum dikeringkan sampai kulitnya mudah dikupas dengan mesin.

Di kampung, kopi diolah secara kering. Cukup dijemur saja, lalu biji yang lepas dari daging buahnya dipecah kulitnya dengan ditumbuk dalam lesung.

Biji yang sudah bersih kemudian bisa disimpan (dan tahan lama) sebagai 'kopi mentah' berwarna hijau muda yang pucat. Baru kalau sudah mau disedu dengan air menjadi minuman saja, ia digoreng sangan, tanpa minyak.

Di kampung, biji kopi memang masih senantiasa digoreng sangan, tapi di pabrik pembakaran

kopi kota besar, ia dipanggang dalam teromol raksasa, dengan suhu 200°-250° C. Teromol ini berputar terus-menerus, supaya udara panas yang dialirkan ke dalamnya bisa merata memanggang biji.

Karena mengandung gula dextrin, biji yang sudah dipanggang (atau digoreng, di kampung) itu berubah warna menjadi coklat seperti karamel. Makin lama dipanggang, makin tua dan meng-kilat warna coklatnya, karena keluarnya lemak yang pecah.

Biji masih perlu ditumbuk halus dulu, sebelum bisa disedu menjadi minuman. Secara primitif, nenek moyang kita dulu menumbuk kopi dalam lumpang besi dengan alu besi pula.

Pada zaman masih banyak tenaga pembantu yang murah dulu, cara menumbuk kopi seperti itu me- mang masih 'masuk akal'. Kemudian lumpang besi diganti dengan koffiemolen (penggiling kopi) hasil 'teknologi madya' yang diputar dengan tangan.

Lebih cepat, dan menghemat tenaga.

Pada zaman mahal sekarang ini boleh dikata tidak ada lagi yang mau menumbuk atau menggiling kopi sendiri. Soalnya, ada pabrik penggUingan kopi yang bersedia 'menumbuk' untuk kita dengan mesin bertenaga listrik. Kita tinggal membeli kopi bubuk saja dalam kaleng atau kantung kertas yang sudah siap pakai. Lebih cepat lagi.

Apanya?

Bubuk kopi yang disedu dengan air panas akan mengeluarkan bau khas, karena terlepasnya minyak aciri cafeol. Selain proteina, larutan kopi itu juga mengandung asam chlorogen (pembangkit chloor), yang merangsang keluarnya asam chlorida dalam lambung kita.

Terlepasnya asam chlorida ini menyebabkan perut merasa 'tidak' lapar lagi', walaupun masih (te-tap) kosong. Para pecandu kopi ada yang kemudian mengatakan: "Tidak-usah sarapan! Minum kopi saja sudah kenyang!"

Tapi yang paling menakjubkan ialah kafeina, yang walaupun jumlahnya cuma sedikit (antara 0,8 dan 1,5% saja) dalam bubuk biji kopi itu, namun ia sudah mampu menggetarkan ujung-ujung sel tubuh kita, baik sel urat saraf maupun sel jaringan yang lain.

Bagaimana bisa!

Kafeina sebagai senyawaan alkaloida itu cenderung mengikat molekul proteina dari sel, tapi tidak mungkin. Proteina itu dilindungi oleh selaput membran tipis tapi kuat sekali.

Akibatnya: hanya muatan listrik dari atom pembentuk molekul proteina dan atom pembentuk molekul kafeina itu saja yang 'kontak'. Timbul arus listrik, dan arus inilah yang merangsang sel urat saraf sampai kita bersemangat.

Sel jaringan pembuluh darah pun dirangsang untuk melebar, sehingga aliran darah lebih lancar. Begitu pula sel jaringan otot jantung yang dirangsang untuk memompa darah lebih giat.

Itulah sebabnya, sampai sekarang pun kafeina dimanfaatkan dalam kedokteran sebagai obat pemacu peredaran darah. Misalnya dimasukkan ke dalam macam-macam racikan obat flu.

Kita memang bisa memperoleh manfaat kalau minum kopi secara bijaksana. Celakanya, kalau kita tidak bisa menahan diri karena nikmatnya bau dan rasa Kahwa itu.

Kafeina yang berkali-kali merangsang jantung dan urat saraf lalu tidak sekedar memacu saja, tapi menimbulkan kegelisahan (akibat kurang tidur dan emosi ambisius yang tidak kesampaian), dan otot gemetar akibat rangsangan saraf yang berlebihan.

Kafeina yang pekat dan murni merupakan racun betul-betul yang mematikan. Orang harus minum 10 sampai 20 cangkir wedang kopi berturut-turut dalam waktu yang singkat, untuk bisa membunuh diri dengan kafeina yang cukup pekat. Yaitu 500 mg sampai 1.000 mg.

Macam-macam saja

Secara sederhana, kopi memang bisa kita sarikan kafeina dan aroma cafeol-nya dengan jalan menyedu langsung kopi bubuk dalam cangkir atau gelas dengan air panas, seperti di warung kopi pinggir jalan truk gandengan itu.

Minum kopi secara ini tidak bisa dikatakan nikmat. Minumnya mungkin bukan karena terdorong hasrat ingin menikmati kopi, tapi karena terpaksa. Daripada tidak sama sekali.

Di Cafe au corridor atau Coffee shop (semacam warung kopi pinggir jalan juga, tapi pakai payung markis atau atap peneduh yang mengundang selera duduk), kopi dihidangkan sudah berupa ekstrak (sari)-nya yang murni dan necis, bebas bubuk.

Sebelumnya ia sudah disedu dan sekaligus disaring dalam percolator. Sebuah kan penyedu kopi, tempat air mendidih dibiarkan bergolak berkali-kali ke atas sambil melewati tabung berisi kopi bubuk.

Biasanya kopi saring itu diminum bersama susu panas sebagai cafe au lait, ditambah gula sedikit supaya rasa kopi susu tidak kacau. Tapi di Inggris, orang lebih suka minum Irish coffee, yang digulai dengan gula coklat, krem susu dan wiski. Entah bagaimana rasanya. Mestinya ya enak, kalau bahan ramuannya tidak kadaluwarsa.

Sari kopi yang lebih kental bisa diperoleh dengan jalan menekan sejumlah kopi (yang lebih banyak) sampai padat, dalam wadah di atas penyaring kopi, lalu diguyur dengan air panas supaya menetes pelan-pelan. Sari kopi yang tertampung jelas kental sekali sampai agak berbusa coklat muda bagian atasnya.

Kalau dihidangkan panas dengan gula saja dikenal sebagai kopi Espresso (di Italia), tapi kalau diberi susu, slagroom dak kayu manis sedikit ia dikenal sebagai Capuccino.

Orang Austria lebih aneh lagi. Di Wina, ada kopi yang dihidangkan dalam cangkir, tapi disertai satu gelas air putih. Orang meneguk air putih yang dingin ini setiap kali menikmati air kopi panas.

Menurut mereka lebih nikmat. Mungkin karena suhu dalam rongga mulut turun seperti suhu kopi kita yang sudah ditiup di atas cawan itu.Mereka tidak mengenal cara mengeler kopi di cawan jibrat.

Siap pakai

Dalam masyarakat yang makin tergesa-gesa, para konsumen kopi modern tidak sabar lagi menunggu orang merebus air panas dulu, sebelum menyedu kopi sambil bercanda, dan kemudian masih dipersilakan menunggu sekali lagi turunnya suhu cairan kopi dalam cangkir, sebelum (akhirnya) boleh minum.

Mestinya bisa dibuatkan semacam kopi yang siap pakai, seperti instant tea, yang cara menyiapkannya tinggal melarutkan dengan air saja.

Boleh panas, boleh dingin. Lalu sekejap kemudian sudah bisa dinikmati.

Instant coffee yang diidam-idamkan konsumen tergesa-gesa itu dibuat dalam pabrik dengan menyedu bubuk kopi tulen dalam ketel raksasa, dengan air panas, lalu membekukannya dengan suhu minus 40° C. Dengan cara ini, semua bagian kopi itu tidak rusak atau terbang.

Gumpalan es kopi yang terbentuk dihancurkan, lalu diuapkan dalam ruang pengeringan dingin. Jadi yang menguap hanya hablur es (air)-nya, sedang sari kopinya tetap mengendap sebagai serbuk. Inilah yang kemudian dijual sebagai kopi siap pakai.

Selain menyenangkan karena bisa cepat disiapkan, ia juga menggembirakan karena tidak meninggalkan endapan lagi seperti bubuk kopi tulen di dasar cangkir. Selain dipakai sebagai minuman super kilat di kantin kantor-kantor yang menyelenggarakan coffee break, ia juga banyak dipakai oleh para pembuat kue yang tidak mau repot merebus air dulu untuk membuat kopi bagi adonan mocca taart-nya.

Bebas kafeina

Karena kopi mengandung kafeina yang ditakuti sebagai racun, bagaimana kita bisa menikmati kopi tanpa dihantui oleh ketakutan minum racun?

Untuk mendapat kopi bebas racun, kafeina itu dipisah (untuk dijual tersendiri sebagai obat kepada pabrik farmasi) sewaktu biji kopi masih hijau, belum dipanggang. Memang tidak bisa dipisah seluruhnya sampai yang menyisa tinggal 0,00%. Sisa serendah 0,08% pun sudah bagus, dan kopinya sudah bisa diberi label: decafeinated coffee.

Ini dilakukan dalam ketel tahan tekanan tinggi, yang sesudah diisi dengan biji kopi mentah dialiri uap air bersuhu tinggi. Biji kopi jadi rusak dindingnya. Lalu dialiri zat pelarut (biasanya eter, tapi boleh juga bensin murni), yang bertugas 'menarik keluar' kafeina dari biji kopi, dan melarutkannya dalam cairan.

Sesudah diambil dari ketel, cairan ini diendapkan kafeina-nya., sedang cairan sisanya diambil kembali cafeol dan chlorogen-nya, untuk diresapkan lagi ke dalam biji kopi yang sementara itu sudah dipanggang. Lalu digiling, dan dipasarkan sebagai bubuk kopi bebas kafeina.

Bagi mereka, yang harus berpantang minum kopi, tapi kalau bisa, masih boleh menikmati bau cafeol-nya, sambil memasukkan 0,08% kafeina, yang sudah cukup (sedikit) untuk menggugah semangat dan memacu kembali kegiatan fisik. Sedikit.

Begitulah ceritanya tentang kopi yang terima atau tidak keberadaannya di Indonesia adalah hasil dari sistem Tanam Paksa oleh Belanda.

(Slamet Suseno/Majalah Intisari)

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Artikel Terkait