Find Us On Social Media :

Bukan Berasal Dari Keluarga Darah Biru, Soeharto Kecil Kesal Dipanggil Den Bagus

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 1 Juni 2024 | 16:40 WIB

Seoharto dengan tegas menyebut dirinya tak punya darah biru. Dia juga kesal dipanggil Den Bagus.

Seoharto dengan tegas menyebut dirinya tak punya darah biru. Dia yang berasal dari keluarga miskin juga kesal dipanggil Den Bagus.

Intisari-Online.com - Soeharto barang kali adalah sebenar-benar pengejawantahan dari dari perumpamaan "kere munggah bale".

Tak sembarangan, Soeharto menjadi penguasa, orang nomor satu di Indonesia, selama 32 tahun tanpa ada yang menginterupsinya hingga Reformasi 1998 menjatuhkannya.

Bisa dibilang Soeharto adalah kepala negara-kepala negara terkuat pada masanya. Selain dia, ada nama Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, Presiden Kuba Fidel Castro, Presiden Libya Muammar Khadafi, dan lain sebagainya.

Bukti kuatnya kuasa Seoharto: memerintah selama 32 tahun!

Berbicara tentang Soeharto adalah berbicara tentang pradoks. Bagaimana tidak, dibanding tokoh-tokoh pergerakan lainnya, Pemuda Kemusuk, Bantul, itu tidak ada apa-apanya. Dia tidak berdarah biru, juga bukan lulusan sekolah elite lebih-lebih luar negeri.

Soeharto, bagaimanapun juga, adalah sosok yang unik. Mengutip Kompas.ID, "Dia sendiri sering menyebut dirinya sebagai anak petani. Anak Desa Kemusuk yang memantik mimpi jutaan anak Indonesia pada masanya untuk meraih masa depan yang lebih cerah, apa pun latar belakangnya."

Soeharto lahir pada 1921 dalam kondisi miskin di tengah penjajahan Belanda lalu dilanjutkan Jepang dan perang kemerdekaan.

Soeharto juga tidak punya jejak mentereng dalam dunia pergerakan nasional (bandingkan dengan Soekarno, misalnya).

Lewat bukunya yang berjudul Young Soeharto: The Making of a Soldier 1921-1945, David Jenkins mencoba menyoroti masa muda Presiden Ke-2 RI itu. Buku itu dikatapengantari oleh Indonesias kenamaan, Ben Anderson.

"Bagaimana dan mengapa orang seperti Soeharto bisa naik ke kekuasaan dan bertahan selama itu?" tanya Ben dalam pengantar buku tersebut.

Sebagai informasi, buku Young Soeharto adalah buku pertama dari trilogi biografi Soeharto yang ditulis jurnalis Australia yang pernah bertugas di Indonesia itu. Dan bukan kali ini saja Jenkins menulis tentang Soeharto.

Bahkan buku sebelumnya yang berjudul Soeharto and His Generals membuat Jenkins sempat dilarang masuk Indonesia hingga tahun 1993. Tapi berkat jasa Jenderal Soemitro, dia bisa kembali bekerja di Indonesia hingga 15 tahun kemudian.

Politikus Australia, Gareth Evans menggambarkan Soeharto dengan dua kata: multi dualisme.

Menurutnya, Soeharto adalah sosok pemimpin dan negarawan yang berwawasan ke depan, tapi di sisi lain dia adalah seorang diktator. Soeharto murah senyum dan sederhana, tapi kejam. Soeharto menyayangi menteri-menterinya yang bisa bekerja, tapi korup. Soeharto bisa membangun ekonomi, tapi mematikan demokrasi.

Baca Juga: Dari Pegawai Bank Menjadi Tentara, Jejak Hidup Soeharto Terlahir dari Pedagang di Yogyakarta

Menurut Jenkins, Soeharto adalah sosok yang berhasil melesat walau perjalanan hidupnya penuh dengan pergulatan, bahkan sejak bayi. Ayahnya bernama Karterejo, seorang pengatur pengairan desa, ibunya Sukirah yang adalah istri kedua Karterejo.

Ketika usia Soeharto belum 40 hari, ibunya meninggalkannya. Konon katanya, Sukirah yang stres setelah melahirkan Soeharto menghilang. Seminggu kemudian, dia ditemukan di ata rumah dalan keadaan sudah lemas.

Kelak di kemudian hari, persoalan ini menjadi semacam desas-desus di kalangan para elite hingga puluhan tahun kemudian. Muncul rumor jika ayah dan ibunya tidak harmonis karena sejak awal Sukirah telah hamil dengan bangsawan tapi dibuang ke desa dan dinikahi Kertorejo.

Tapi isu dibantah oleh Soeharto, dia menegashkan bahwa dirinya berdarah biru.

Bertahun-tahun kemudian, Soeharto lantas menjelaskan kedekatan hubungan ibunya dengan bangswan di Yogyakarta. Dia ingat, saat sering dikatai Den Bagus tahi mabhul (tahi kering) oleh teman-teman sepermainan kelereng.

Dengan kata lain, ia diejek sebagai sisa buangan priyayi. Saat itu Soeharto berusia delapan tahun dan ia masih ingat ejekan itu.

Tak pelak, Soeharto kesal dengan panggilan tersebut karena dia merasa berasal dari keluarga miskin. Baginya, panggilan itu tak lebih dari sekadar hinaan bagi dirinya. "Sudah miskin, saya juga masih menghadapi hinaan ini,” tulis Jenkins mengutip Soeharto.

Begitulah masa kecil Soeharto yang jauh dari hidup mewah karena orangtuanya hanyalah orang desa yang miskin dan tak punya darah biru.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News