Penulis
Keindahan seni reog Ponorogo tidak sebatas kemampuan pelaku seninya, tetapi bentuk dan aksesori reog itu sendiri sangat menarik.
Perpaduan “kipas” raksasa dengan bulu merak indah serta topeng harimau yang gagah adalah salah satu ciri khas reog Ponorogo. Hanya orang-orang dengan keterampilan khusus yang mampu membuat aksesori seharga puluhan juta rupiah tersebut.
Intisari-Online.com - Siang itu Sarju (35) bersama istri dan anaknya terlihat asyik dengan pekerjaan masing-masing. Di ruang tamu rumah yang letaknya di atas perbukitan dan berhawa sejuk di Desa Sriti, Kec. Sawo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Sarju duduk di atas hamparan anyaman bambu berbentuk setengah lingkaran dengan panjang 2,2 meter dengan lebar 1,5 meter yang digelar di lantai.
Tangannya dengan cekatan menempelkan setiap helai bulu merak dan kemudian merajutnya dengan rapi. Sementara Rusmini (28), istrinya, asyik membelah-belah bambu apus menjadi potongan lidi kecil memanjang. Di teras rumah, Dimas Wahyu Pratama (16), putra tunggal mereka, menata dan merapikan ribuan helai bulu merak yang akan dirajut.
“Sebagai perajin reog, beginilah pekerjaan kami sehari-hari. Ini sudah saya kerjakan sejak masih remaja,” kata Sarju sambil tersenyum mengawali percakapan dengan NOVA pada 2016 lalu.
Sebagai seorang perajin reog, nama Sarju sudah cukup dikenal di Ponorogo. Meski rumahnya berjarak sekitar 30 kilometer dari jantung kota Ponorogo, lima kilometer menjelang lokasi harus naik ke pegunungan, namun semua orang nyaris tahu rumahnya.
“Meski rumah saya di pelosok, tapi orang sudah tahu, apalagi para seniman reog,” katanya tersenyum.
Turun Temurun
Sarju menceritakan, reog sudah menjadi napas hidupnya. Seni tradisi itu begitu lekat dan amat dia cintai. Selain sebagai perajin, bapak seorang anak ini juga seorang seniman reog. Tiap kali pentas, dia bertindak sebagai pengrawit, penabuh gendang.
“Jadi reog benar-benar menyatu dalam kehidupan saya. Saya tak hanya mencari nafkah dari sini, tetapi kami sekeluarga juga pecinta kesenian ini,” katanya mantap.
Reog sendiri merupakan salah satu seni yang menjadi ciri khas Jawa Timur, khususnya kota Ponorogo. Keindahan reog, selain karena kemampuan para pemain, juga karena keindahan aksesori yang digunakan.
Salah satu daya tariknya adalah dadak merak, bentuknya seperti kipas raksasa dilapisi ribuan bulu merak dengan warna yang khas mengkilap indah. Sedang bagian kepala atau caplokan merupakan topeng yang dilapisi kulit kepala harimau.
Untuk membuat reog dibutuhkan keterampilan tinggi. “Karena itu jarang sekali orang menekuni profesi sebagai pembuat reog,” papar Sarju yang mengaku sudah menekuni keterampilan membuat reog sejak kecil. Kemampuan itu ditularkan oleh sang ayah, Senun.
Sama seperti dia melibatkan Dimas, anaknya, dulu sang ayah juga mengajarinya, dari mulai mengolah bahan baku sampai benar-benar jadi reog. “Oleh bapak, saya memang dikader. Di seluruh kabupaten Ponorogo, jumlah perajin reog bisa dihitung dengan jari, bahkan beberapa perajin biasanya mengambil dari bapak,” imbuhnya.
Setelah ia beranjak dewasa, tepatnya di tahun 1999, ketika merasa cakap dan fisik sang ayah tidak memungkinkan lagi membuat reog, Sarju menggantikan perannya menjadi perajin dan menerima pesanan.
“Kami sebenarnya tidak hanya menerima pesanan baru, tetapi juga menerima jasa perbaikan reog yang rusak atau mempercantik yang sudah kusam setelah sekian tahun digunakan,” kata pria tamatan SMP tersebut.
Libatkan Anak Istri
Banyak bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan sebuah reog. Bahan dasarnya mulai dari bambu apus yang dibuat sebagai kipas raksasa, bulu merak, benang, rotan, paku, kayu dadap, mancung kelapa (tempatnya bunga kelapa), rambut ekor sapi, manik-manik sebagai hiasan.
Proses pembuatannya pun tak gampang. Bambu apus yang sudah dibelah kemudian diserut menjadi batang lidi memanjang. Demikian pula dengan rotan. Bambu apus sengaja digunakan karena sifat bambu ini yang lentur namun kuat dan tidak mudah patah.
Lidi berukuran panjang dan rotan tersebut kemudian dirangkai dengan membentuk seperti kipas setengah lingkaran oval dengan tinggi 2,2 meter dan lebar 1,5 meter. Kipas raksasa tersebut dianyam rapi dengan benang sebagai pengikat.
“Memang butuh ketelatenan. Kalau tidak, akan terlihat kasar dan kurang rapi,” jelas Sarju.
Setelah terbentuk menjadi kipas raksasa utuh, pekerjaan berikutnya adalah menempelkan helai demi helai bulu merak dengan cara mengikat bagian batang bulu mereka sampai bulu merak menutupi bagian kipas tersebut.
Pekerjaan merajut ini harus terampil dan dianyam kuat-kuat supaya saat dipakai atraksi tidak rontok atau lepas.
Sarju tidak sendirian. Sehari-hari, dia melibatkan istri dan anaknya. Jadi, setelah selesai mengerjakan tugas utama sebagai ibu rumah tangga, Rusmini terjun membantu Sarju. Demikian pula Dimas, anak Sarju, sepulang sekolah di SMA ikut membantu kedua orangtuanya.
“Pokoknya selesai memasak dan bersih-bersih rumah, baru saya membantu Mas Sarju. Sementara Dimas membantu sepulang sekolah atau kalau memang tidak ada tugas sekolah,” timpal Rusmini sambil membelah bambu.
Sarju mengaku melibatkan anaknya untuk membuat reog karena dia ingin mengkader Dimas sebagai perajin, menggantikan dirinya kelak. “Kalau tidak diajari mulai sekarang nanti akan kesulitan,” kata Sarju.
Ribuan Bulu Merak
Salah satu komponen reog yang biayanya cukup tinggi adalah dadak merak. Dalam satu dadak merak dibutuhkan 1.500 helai bulu merak. “Sekarang satu helai bulu merak harganya Rp8.700 (2016), jadi kalau satu dadak merak butuh 1.500 helai berarti biayanya mencapai Rp13 jutaan,” jelas Sarju yang sudah memiliki pemasok.
Para pemasok bulu merak tersebut biasanya mendapat bulu merak dari para pencari di hutan-hutan. Biasanya pada bulan April hingga Mei, burung merak rontok bulunya, dan sebagian orang memungutnya. Bulu merak juga diperoleh dari India yang memang diternakkan untuk diambil bulunya.
Selesai membuat dadak merak, langkah berikutnya adalah membuat caplokan atau topeng berbahan kayu dadap yang kuat tapi ringan. Bagian luarnya dilapisi kulit yang diambil dari bagian kepala kulit harimau. “Kepala harimau memberi aura yang luar biasa. Selain gagah, juga garang dan berwibawa,” imbuh Sarju.
Berat total reog yang sudah jadi bisa mencapai 40 kilogram.
Namun, bukan pekerjaan mudah mendapatkan kulit harimau asli mengingat hewan tersebut saat ini termasuk yang dilindungi. Sebagai gantinya, Sarju mengganti kulit kepala harimau dengan kulit sapi yang dilukis mirip kepala harimau.
“Memang tidak sebagus kulit kepala harimau asli, tetapi kalau tidak ada, mau tidak mau harus kreatif,” imbuh Sarju.
Perbedaan harga reog dari kepala harimau asli dengan kulit sapi bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Melukis wajah harimau di atas lembaran kulit sapi juga bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan keterampilan tinggi. Jika tidak bagus, maka aura dari reog itu sendiri tak bakal tampak. Untuk melukis wajah harimau, digunakan semir sepatu, sedang mata harimau diganti dengan kelereng.
Agar menambah kesan sangar, di bagian sekitar kepala harimau juga diberi rambut keperak-perakan yang diambil dari ekor sapi.
Untuk membuat satu reog, Sarju membutuhkan waktu sekitar 15 hari. Sedang harga satu set reog sekitar Rp30 juta, sudah termasuk gamelan yang terdiri dari kendang, gong, kenong, angklung, kempul serta pakaian bagi para pemain dan pengrawit.
“Gamelan dan pakaian saya tidak bikin sendiri, tetapi sudah ada langganan yang menjadi pemasok,” paparnya.
Sarju mengakui, belakangan ini jumlah pemesan reog makin banyak. Karena itulah dia tidak pernah berhenti memproduksi. Para pemesan reog datang dari berbagai kawasan di Indonesia.
“Bahkan ada kelompok reog yang pesan dari Papua,” kata Sarju dengan nada bangga.
Biasanya para pemesan adalah masyarakat Ponorogo yang ada di perantauan. Selain sebagai wadah untuk saling berkumpul sekaligus menunjukkan identitas kedaerahan, mereka biasanya membuat grup reog.
“Saat ini saya tengah menyelesaikan pesanan untuk sebuah kelompok di Jakarta sebanyak 20 set serta pesanan dari Jember tujuh buah rangka dadak merak,” imbuh Sarju.
Yang unik, lanjut Sarju, ketika seni reog dihujat bahkan dibakar di kedutaan Davao tahun lalu atau diklaim oleh Malaysia, justru fanatisme masyarakat makin tinggi. “Secara tidak langsung malah makin banyak orang yang memesan reog. Jadi, makin dihujat, jumlah pemesan makin banyak,” imbuhnya tertawa.
Artikel ini pernah tayang di Tabloid Nova edisi 11-17 April 2016
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News