Penulis
Intisari-Online.com -Blok Ambalat sempat membuat hubungan Indonesia dan Malaysia memanas.
Blok Ambalat ternyata kaya akan kandungan alam.
Potensiyang terkandung di Blok Ambalat yang memicu memanasnya hubungan Indonesia dengan Malaysia adalah cadangan minyaknya.
Dikutip dari sebuah artikel yang tayang di situs Esdm.go.id pada 2009 lalu, Lapangan Aster Blok Ambalat terindikasi awal mengandung cadangan minyak cukup besar.
Blok yang saat ini di kelola perusahaan minyak dan gas bumi asal Italia ENI itu produksinya diperkirakan sekitar 30.000-40.000 barel per hari.
Ini indikasi awal setelah dilakukan pengeboran lima sumur.
Letak geografis Blok Ambalat berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia sehingga rawan timbul konflik.
Dalam artike itu menyebut bahwaMenteri ESDM (ketika itu) menegaskan, Blok Ambalat merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pihak Malaysia pernah mengajukan permintaan agar dilakukan operasi bersama.
Namun permintaan itu ditolak.
"Karena kalau hal itu kita lakukan sebagai operasi bersama, berarti kita mengakui ada konflik, dispute. Maka kita katakan tidak," tegas Menteri.
Pemerintah telah menginstruksikan ENI agar terus melakukan kegiatan migas di wilayah itu.
Selain kaya minyak, kawasan Blok Ambalat juga kaya dengan potensi ikan karang dan demersal.
Dan karena itulah,dilokasi ini rawan terjadi kasus-kasus destructive fishingalias menangkap ikan dengan ugal-ugalan.
Selain itu, ada juga potensi gas bumi.
Pusat Survei Geologi, BadanGeologi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) telah mengidentifikasi potensi tersebut berada di cekungan Tarakan dan sekitarnya.
Sejarah sengketa Blok Ambalat
Blok Ambalat terletak di laut Sulawesi atau Selat Makasar.
Wilayah ini diperkirakan mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun ke depan.
Ambalat telah lama menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia.
Sengketa ini terjadi karena klaim tumpang tindih atas penguasaan wilayah di antara dua negara.
Saling klam ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan dan belum selesainya masalah batas-batas wilayah kelautan kedua negara.
Sengketa Indonesia-Malaysia atas Ambalat dimulai ketika kedua negara masing-masing melakukan penelitian di dasar laut untuk mengetahui landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif pada tahun 1969.
Kedua negara kemudian menandatangani Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen Indonesia-Malaysia pada 27 Oktober 1969 yang diratifikasi oleh masing-masing negara pada tahun yang sama.
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Blok Ambalat merupakan milik Indonesia.
Namun, pada 1979, Malaysia mengingkari perjanjian ini dengan memasukkan blok maritim Ambalat ke dalam peta wilayahnya.
Hal ini menyebabkan pemerintahan Indonesia menolak peta baru Malaysia tersebut.
Tak hanya Indonesia, peta tersebut juga diprotes oleh Filipina, Singapura, Thailand, Tiongkok, Vietnam, karena dianggap sebagai upaya atas perebutan wilayah negara lain.
Aksi sepihak Malaysia ini diikuti dengan penangkapan nelayan Indonesia pada wilayah-wilayah yang diklaim.
Berdasarkan klaim batas wilayah yang tercantum dalam peta tahun 1979 tersebut, Malaysia membagi dua blok konsesi minyak, yakni Blok Y (ND6) dan Blok Z (ND7).
Adapun Blok Y merupakan blok yang tumpang tindih dengan wilayah konsesi minyak yang diklaim Indonesia.
Sementara Blok Z adalah blok yang tumpang tindih dengan wilayah yang diklaim Filipina.
Pada 16 Februari 2005, Malaysia memberikan konsesi minyak di kedua blok tersebut kepada perusahaan minyak milik Inggris dan Belanda, Shell.
Kapal-kapal patroli Malaysia pun diketahui berulang kali melintasi batas wilayah Indonesia dengan alasan area tersebut merupakan bagian dari wilayah Malaysia.
Klaim sepihak dan beragam tindakan provokasi ini berdampak pada peningkatan eskalasi hubungan kedua negara.
Akhirnya, pada tahun 2009, pemimpin kedua negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi mengambil langkah politik untuk meredakan ketegangan akibat Ambalat.
Masing-masing pihak menjelaskan landasan hukum klaim atas Ambalat.
Malaysia mengklaim Ambalat dengan menerapkan prosedur penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline) dari Pulau Sipadan dan Ligitan yang berhasil mereka rebut pada tahun 2002.
Malaysia berargumentasi bahwa tiap pulau berhak memiliki laut teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya sendiri.
Namun, alasan ini ditolak pemerintah Indonesia yang menegaskan bahwa rezim penetapan batas landas kontinen mempunyai ketentuan khusus yang menyebut keberadaan pulau-pulau yang relatif kecil tidak akan diakui sebagai titik ukur landas kontinen.
Selain itu, Malaysia adalah negara pantai (coastal state) dan bukan negara kepulauan (archipelagic state) sehingga tidak bisa menarik garis pangkal dari Pulau Sipadan dan Ligitan.
Klaim Malaysia tersebut bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut atau UNCLOS 1982 yang sama-sama diratifikasi oleh Indonesia dan Malaysia.
Berdasarkan konvensi ini, Ambalat diakui sebagai wilayah Indonesia.
Begitulah, potensi yang terkandung di Blok Ambalat yang memicu memanasnya hubungan Indonesia dengan Malaysia adalah cadangan minyak dan gas bumi.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News