Find Us On Social Media :

Kisah Mereka yang Lolos dari Maut

By Ade Sulaeman, Jumat, 25 September 2015 | 17:45 WIB

Kisah Mereka yang Lolos dari Maut

Arif yang semula terbilang tipe yang mengandalkan perencanaan matang, persiapan, dan segala hal yang terukur logika, kini mencoba lebih menyadari ada kekuatan lain yang senantiasa mengintai di luar kendalinya. Peristiwa itu pada akhirnya mengubah cara pandang Arif dalam hidup.

"Baru sadar, setangguh-tangguhnya kita, kita enggak ada apa-apanya. Pada dasarnya, kita harus selalu ingat kekuatan di luar sana yang lebih mampu daripada kita. Kita sudah dilatih menguasai pesawat, kita yakin semua bisa. Namun, kita harus sadar itu masih bukan apa-apa ketika bertemu kekuatan yang besar. Orang bisa anggap itu fenomena alam. Buat saya itu dua-duanya, kekuatan alam dan kehendak Tuhan. Jangan sampai kita meremehkan itu," kata Arif.

Kobaran api

Pengalaman mengerikan yang mengancam nyawa juga sempat dialami Adrianus Meliala, kriminolog dari Universitas Indonesia. Adrianus lolos dari maut dalam peristiwa kecelakaan pesawat Garuda Boeing 737-400 bernomor penerbangan GA-200 pada 7 Maret 2007 di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Pesawat yang ditumpanginya itu tergelincir di ujung timur landasan pacu kemudian terperosok di kebun kacang sehingga berakibat badan pesawat terbakar dan meledak.

Saat peristiwa yang memakan 22 korban jiwa itu, Adrianus mengaku masih tetap dapat berpikir dengan jernih sekalipun kondisi di dalam kabin tengah porak-poranda dan dilanda histeria penumpang. Ia masih sempat mencari kacamatanya sebelum berusaha mencari jalan keluar. "Saya masih bisa berpikir cukup jernih dan berhitung bagaimana cara meloloskan diri. Asap sudah di mana-mana," kenang Adrianus.

Ketika itu, Adrianus yang berbadan besar memutuskan tidak mengambil jalan keluar pesawat yang dipenuhi arus penumpang. "Badan saya, kan, besar, kasihan orang-orang di depan saya kalau kita berdesak-desakan di situ. Akhirnya, saya belok kanan, ambil jalan keluar lewat pintu darurat yang lain," kata Adrianus.

Adrianus dengan perhitungannya nekat memilih pintu darurat yang sebenarnya telah dipenuhi kobaran api. Jalur itu dilalui oleh tiga orang, termasuk Adrianus. Namun, orang yang melompat setelah Adrianus menderita luka bakar lebih parah karena api sudah terburu berkobar terlalu besar.

Keputusannya itu, meski membuat tubuhnya mengalami luka bakar 30 persen, berhasil menyelamatkan jiwanya. Ketika itu, ia amat optimistis bisa selamat dari kecelakaan itu. "Dorongan untuk keluar dari kecelakaan itu begitu besar," kata Adrianus.

Berani melawan

Meski masih tersisa rasa kengerian yang hebat dalam benaknya, Adrianus adalah satu dari segelintir penyintas yang mampu mengingat cukup detail detik-detik saat peristiwa itu terjadi. "Mungkin karena pikiran saya masih bisa tetap cukup jernih saat kecelakaan, jadi saya masih bisa recall (mengingat) dengan baik peristiwa itu," kata Adrianus.

Kendati mentalnya cukup tangguh, menaklukkan rasa takut setelah kecelakaan tidaklah mudah baginya. Enam bulan setelah peristiwa itu, Adrianus baru berani terbang kembali dengan pesawat. Sejak itu, selama beberapa bulan, setiap kali pergi terbang dengan pesawat, Adrianus ditemani istrinya, Rosari Ginting. Ketika hendak mendarat, Adrianus kerap dilanda ketakutan dan dia akan menggenggam tangan sang istri kuat-kuat. "Waktu itu, setiap terbang, saya sampai selalu harus bawa celana ganti karena sampai mengompol," kenangnya.

Lama-lama, ketakutan itu menyurut jauh dalam waktu satu tahun. Namun, kemudian muncul kebiasaan yang sebelumnya tak ada. Setiap kali hendak terbang, Adrianus selalu datang ke bandara jauh lebih awal, sekitar tiga jam sebelum waktu keberangkatan. Tujuannya supaya bisa check in paling pertama demi mendapatkan kursi penumpang di bagian paling belakang.

"Setelah peristiwa itu, setelah banyak ngobrol dengan pilot-pilot, teknisi, dan orang-orang yang mengerti, saya jadi selalu memilih kursi paling belakang. Itu tempat yang paling tidak disukai karena guncangannya terasa kuat, tetapi paling besar kemungkinan selamat kalau terjadi sesuatu," kata Adrianus.

Setelah kecelakaan itu, Adrianus mulai melibatkan diri lebih banyak untuk organisasi yang bertujuan sosial. Adrianus berkomitmen untuk lebih mendedikasikan dirinya pada berbagai kepentingan sosial yang memberi manfaat bagi orang banyak. Perjalanan hidupnya yang dirasakannya telah penuh juga membuat dirinya kini lebih terpanggil untuk memberi dalam bentuk apa pun. (Sarie Febriane/kompas.com)