'Ing Ngarso Sung Tulodho Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri Handayani', Ki Hajar Dewantara Dipenjara Demi Indonesia Merdeka

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Artikel ini akan membahas sepak terjang Ki Hajar Dewantara pencetus jargon Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani yang harus dipenjara demi Indonesia merdeka.

Intisari-Online.com -Tak hanya sebagai tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara adalah sosok yang begitu atos terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Jika tidak percaya, bacalah pamfletnya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) yang ditujukan untuk sang penjajah.

Artikel ini akan membahas sepak terjang pencetus jargon Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani yang harus dipenjara demi Indonesia merdeka.

Seperti disebut di awal, Ki Hajar Dewantara tak sekadar tokoh perjuangan yang memperjuangkan pendidikan bangsa Indonesia.

Lebih dari itu, dia juga aktif mengritik pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Dalam bidang pendidikan dia punya Taman Siswa, sementara di ranah politik dia punya bendera Indische Partij.

Jalan aktivisme Ki Hajar Dewantara dimulai ketika dia bergabung dengan organisasi Budi Utomo yang berdiri pada 20 Mei 1908.

Tujuan organisasi yang sangat berbau ningrat Jawa ini adalah untuk menyadarkan masyarakat Indonesia dan berusaha untuk meningkatkan kemajuan penghidupan bangsa dengan cara mencerdaskan rakyatnya.

Tujuan tersebut lantas menarik perhatian beberapa tokoh terkemuka, salah satunya Ki Hajar Dewantara.

Dalam organisasi Budi Utomo, Ki Hajar Dewantara berperan sebagai tokoh propaganda untuk menyadarkan masyarakat pribumi mengenai pentingnya semangat kebersamaan dan persatuan sebagai bangsa Indonesia.

Awalnya, Ki Hajar Dewantara hanya seorang penulis dan jurnalis yang kemudian menjadi aktivis kebangsaan.

Dia diketahui tergabung dalam tokoh Tiga Serangkai bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo yang mendirikan sebuah organisasi bernama Indische Partij (IP).

Berawal dari mendirikan IP pada 25 Desember 1912, Ki Hajar Dewantara menyadari bahwa jalan untuk melawan kolonialisme dimulai dari pendidikan.

Setelah Indische Partij dibentuk, Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo melakukan pengajuan status badan hukum bagi organisasinya kepada Belanda.

Tapi Gubernur Belanda Jenderal Idenburg menolak pengajuan status badan hukum tersebut karena IP dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam satu-kesatuan untuk menentang Belanda.

Setelah penolakan itu, Ki Hajar Dewantara membentuk Komite Bumiputera pada 1913.

Komite Bumiputera dibentuk dengan tujuan untuk melancarkan kritik terhadap pemerintah Belanda yang hendak merayakan 100 tahun kebebasannya dari penjajahan Prancis.

Ki Hajar Dewantara melemparkan kritik mengenai perayaan tersebut lewat tulisan berjudul "Als Ik Eens Nederlander Was" atau "Seandainya Aku Seorang Belanda" dan "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga".

Karena pamfletnya itu, Ki Hajar Dewantara pun ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda dan akan dibuang ke Pulau Bangka.

Tapi dia lebih memilih untuk dibuang ke Belanda.

Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah bernama Taman Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922.

Lewat Taman Siswa, dia berusaha memadupadankan pendidikan gaya Eropa dengan Jawa tradisional.

Di sekolah ini juga, Ki Hajar Dewantara menumbuhkan kesadaran terhadap siswa bumiputera akan hak-hak mereka untuk mendapat pendidikan.

Selain mendirikan sekolah, Ki Hajar Dewantara juga menciptakan semboyan pendidikan yang disebut Tut Wuri Handayani.

Isi dari Tut Wuri Handayani yaitu:

Ing Ngarsa Sung Tuladha (sang pendidik harus memberi teladan atau tindakan yang baik)

Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid guru harus menciptakan prakarsa dan ide)

Tut Wuri Handayani (seorang guru harus memberikan dorongan dan arahan)

Bagi Ki Hajar Dewantara, pengajaran dalam pendidikan dimaknai sebagai upaya membebaskan anak didik dari ketidaktahuan serta sikap iri, dengki, dan egois.

Selain mencetuskan tiga semboyan, Ki Hajar Dewantara juga mencetuskan lima asas pendidikan yang dikenal dengan Pancadharma, yakni:

1. Kodrat alam

2. Kemerdekaan

3. Kebudayaan

4. Kebangsaan K

5. emanusiaan

Asas kodrat alam yaitu meyakini secara kodrati akal pikiran manusia dapat berkembang dan dikembangkan.

Selanjutnya kemerdekaan, yang berarti para peserta didik diarahkan untuk merdeka batin, pikiran dan tenaganya.

Pendidik tidak hanya memberikan pengetahuan searah, tetapi membebeaskan peserta didik untuk merdeka mengembangkan dirinya secara mandiri.

Asas ketiga ialah kebudayaan.

Asas ini ingin menyadarkan peserta didik bahwa pendidikan didasari sebagai sebuah proses yang dinamis dan tidak berhenti.

Berikutnya adalah asas kebangsaan.

Asas kebangsaan ini memperjuangkan prinsip rasa kebangsaan yang harus tumbuh dalam dunia pengajaran.

Diharapkan pendidikan dapat mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi berdasarkan daerah, suku, keturunan, dan agama.

Pancadharma yang terakhir adalah asas kemanusiaan.

Asas ini menempatkan posisi manusia Indonesia dalam hubungan persahabatan antarbangsa.

Asas kemanusiaan mengarahkan peserta didik untuk menjalin persahabatan dengan bangsa lain, bukan sebaliknya.

Menjelang kemerdekaan Indonesia, Ki Hajar Dewantara menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Kemudian, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno membentuk kabinet pertamanya, yaitu Kabinet Presidensial.

Di dalam Kabinet Presidensial, Ki Hajar Dewantara ditunjuk untuk menjabat sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan RI.

Begitulah sepak terjang Ki Hajar Dewantoro,pencetus jargon Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani yang harus dipenjara demi Indonesia merdeka.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Artikel Terkait