Dia lahir tanggal 7 Maret 1750, ketika ayahnya sedang melakukan pemberontakan terhadap Mataram dan VOC.
Sewaktu Hamengkubuwono I diakui dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755, secara tidak langsung Mas Sundara juga ikut diakui sebagai adipati anom.
Ketika beranjak dewasa, ayahnya berniat menjodohkan Sundara dengan putri Kasunanan Surakarta.
Melalui pernikahan tersebut, sebenarnya Hamengkubuwono I masih menyimpan keinginan untuk menyatukan Dinasti Mataram yang sudah terpecah.
Sundara pun pergi berkunjung ke Surakarta tahun 1763.
Sayangnya, upaya perjodohan ini gagal. Akibatnya, Dinasti Mataram semakin sulit disatukan kembali.
Hubungan Keraton Yogyakarta dan Surakarta pun mengalami ketegangan, yang dipicu oleh batas wilayah yang tidak jelas di antara dua kerajaan tersebut.
Akhirnya, tanggal 26 April 1774, disusun Perjanjian Semarang atas prakarsa Gubernur VOC Van de Burgh.
Perjanjian ini menegasakan mengenai batasan wilayah sebagai upaya mencegah terulangnya konflik kembali.
Seperti disebut di awal, Hamengkubuwana II memiliki 4 permaisuri alias garwa dalem.
Mereka adalah:
1. GKR. Kedhaton (1750-1820), puteri Kanjeng Raden Adipati Purwodiningrat, Bupati Magetan, dan memiliki anak: