Find Us On Social Media :

Ibu di Mata Kak Seto: Ibuku Sempat Terpukul

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 5 Desember 2015 | 18:15 WIB

Ibu di Mata Kak Seto: Ibuku Sempat Terpukul

Bermukim di tempat yang jauh dan hiruk pikuk dan keramaian, kami menciptakan suasana damai pada masa itu. Ayahku senang mengajakku mengelilingi perkebunan tembakau. Aku dan Kresno sering melihat dari dekat kehidupan para buruh tembakau tersebut. Keluarga kami amat berbahagia, sering menghabiskan waktu bersama, terutama bila berlibur ke vila orang tuaku di kawasan Tawangmangu.

Mas A'uf (begitu panggilan kakak tertuaku), aku dan Kresno bersama Ayah dan Ibu menikmati perjalanan tamasya akhir pekan itu dengan mengendarai mobil Jip Willis. Di samping mobil favorit tersebut, ayahku juga memiliki mobil Land Rover dan Opel Caravan.

Namun, kebahagiaan tersebut berakhir waktu ayahku wafat pada 1966. Di saat aku masih berusia 14 tahun, duduk di kelas 3 SMP. Kondisi ekonomi rumah tangga orang tuaku menurun drastis. Sebagai orang tua tunggal, dengan berat hati, ibuku melepaskan kami bertiga kepada adiknya, Martiningrum, yang bermukim di Surabaya. Aku menyadari betapa berat keputusan yang harus diambilnya. Hasil uang berdagang kue, tidaklah cukup untuk membiayai kami bertiga. Mas A'uf sudah duduk di kelas 2 SMA, sementara aku dan Kresno ingin masuk SMA.

Biaya pendidikan tersebut tidaklah sedikit! Bila ia bertahan hidup dengan putra-putranya di Klaten, berarti ketiga putranya tak bisa bersekolah. Namun bila ia harus berpisah dengan kami, berarti pengorbanannya tak sia-sia. Karena pasti kami bertiga dapat melanjutkan pendidikan. Aku merasa kedekatanku yang luar biasa dengan ibuku, membuatku sering melamun. Memikirkan Ibu yang tinggal di kampung halaman.

Pada masa remaja yang membutuhkan kedekatan dengan Ibu, justru kami  harus berjauhan. Rinduku padanya sampai terbawa mimpi. Lewat surat-surat  kami, Ibu membakar semangatku untuk sabar, tegar, dan giat belajar, demi masa depan. Kehidupan kami bertiga memang penuh keprihatinan. Bersyukur, kami bertiga dapat menumpang di rumah Bibi. Tapi, kenyamanan tadi harus diimbangi dengan kerja keras untuk dapat bertahan hidup demi masa depan.

Aku ingin terus bersekolah sebagai murid SMA di St. Louis, Surabaya. Aku tak malu dan enggan melakukan apa saja demi sesuap nasi. Aku menjadi pedagang asongan, berdagang koran, menjual balon, menyusuri jalan-jalan di Surabaya. Meski hanya lewat surat, aku merasa dapat langsung berkomunikasi dengan ibuku. Satu-satunya tempat curhat pada masa mengalami hidup yang penuh kepedihan tadi.

Semangat hidup yang diajarkan Ibu, membuatku banting tulang untuk mencari uang dengan cara halal demi membiayai sekolah. Bakat menulis yang aku pelihara sejak duduk di bangku SD membuka jalan bagiku sebagai seorang penulis free lance di majalah anak-anak "Bahagia" yang terbit di Kota Pahlawan.

Rubrik anak yang kuasuh bertemakan motivasi bagi anak-anak agar bersikap positif, mengasah kreativitas, bagaimana mengatur waktu dan sebagainya. Semua ide penulisan tanpa kusadari, kuserap dari ajaran Ibu semasa kami tinggal bersama di Klaten dan lewat surat-surat yang dikirimkannya padaku di Surabaya.

Sejak itu orang mengenal nama Kak Seto, penulis rubrik tadi. Uang honor sebesar Rp. 500.000,- kumanfaatkan sebaik-baiknya. Kami bagi untuk membiayai sekolah masing-masing dan kebutuhan hidup sehari-hari. Itupun belum mencukupi. Kami bertiga bekerja apa saja, sepanjang halal dan menghasilkan uang.

Melewati hari-hari yang penuh dengan kesulitan dan penderitaan itu, ibuku memberikan dorongan, semangat untuk menghadapi semua rintangan. Ibu juga mengajariku untuk selalu mensyukuri atas rezeki yang didapat dari Tuhan. Meski berjauhan kota, aku selalu menceritakan pengalamanku pada Ibu. Dari waktu ke waktu, sampai hari ini pun, aku menyadari bahwa ia orang yang membentuk diriku memiliki pribadi yang tangguh dan pantang menyerah.

Setelah menjual vila di Tawangmangu, Ibu menyusul kami ke Surabaya. Kami bertiga amat berbahagia, akhirnya dapat berkumpul kembali. Ibuku harus pandai-pandai membiayai kehidupan kami berempat yang memilih tinggal di rumah kontrakan. Ibu berusaha hidup hemat, agar uang penghasilan dari jual rumah tadi tidak terlanjur habis, sebelum anak-anak menyelesaikan sekolah.

Namun, tampaknya kedekatan itu, akhirnya menjadi "tekanan bagiku"! Fenomena anak kembar yang cenderung berkompetisi, membuatku frustasi. Sejak duduk di SMA, gejala itu semakin terasa. Aku dan Kresno bersaing dalam banyak hal.

Ketika aku tidak lulus testing, aku patah semangat. Aku cemburu melihat Kresno mengenakan jaket Universitas, juga Mas A'uf yang gagah tampil dengan seragam Taruna AKABRI. Tapi, ibuku memberi semangat untuk sabar menanti kesempatan berikutnya.

Hatiku nelangsa setiap mengerjakan tugas-tugas di rumah, ngepel, mencuci piring, mencuci pakaian ... yang membuatku merasa amat tak berguna. Namun, cita-citaku untuk menjadi orang yang berguna tak pernah padam. Aku selalu berangan-angan entah bagaimana caranya, bisa berhasil seperti kedua saudara kandungku.

Aku berpikir panjang bahwa aku harus memisahkan diri untuk mengejar masa depan. Pada 27 Maret 1970, pukul 04.00 pagi, aku diam-diam meninggalkan rumah dan naik kereta api ke Jakarta. Skenario yang kususun bersama Kresno pasti akan mengejutkan Ibu. Benar juga diceritakan kemudian, memang Ibu amat terpukul oleh ulahku. la menangis terus selama beberapa hari membaca suratku yang pamit padanya sepanjang enam lembar.

Namun, rupanya pengertian, keikhlasan, dan doa yang selalu dipanjatkan ibuku, menerangi jalan hidup yang penuh lika-liku dan perjuangan. Tidaklah mulus jalan yang harus kutempuh untuk menjadi diriku seperti hari ini. Bila kurenungkan kembali masa laluku yang penuh keprihatinan itu aku merasa amat beruntung memiliki Ibu yang kini sudah berusia lanjut. Aku yang pernah membuatnya terpukul waktu minggat dari rumah.

Rasanya semua cinta dan kasih sayangnya tak bisa kulunasi dengan perhatian yang kuberikan. Di saat kakiku sudah berdiri kokoh dan hidupku jauh berbeda dengan saat aku menginjakkan kaki di Stasiun Gambir pada 28 Maret 1970. Tanggal ini akan selalu kukenang sebagai hari kelahiranku kedua ... di mana aku belajar hidup mandiri di Kota Jakarta yang tak ramah dan kejam! Di saat penuh suka cita, aku terpikir bagaimana cara untuk sekadar menyenangkan hati Ibunda tercinta. la yang pendiam tersenyum penuh arti waktu kutanya, apa yang diinginkannya, "Aku ingin lihat Belanda." Aku merasa bersyukur, akhirnya si anak nakal yang pernah jadi pembantu, tukang batu, tukang parkir, pemelihara ayam, penjual balon, kuliah selama sembilan tahun, berguru di Pak Kasur dan entah apalagi … telah memenuhi keinginannya. Aku yakin semua apa yang kulakukan ini mendapat restu sepenuhnya dari ibundaku tercinta. (*)