Find Us On Social Media :

Ibu di Mata Kak Seto: Ibuku Sempat Terpukul

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 5 Desember 2015 | 18:15 WIB

Ibu di Mata Kak Seto: Ibuku Sempat Terpukul

Intisari-Online.com – Dalam rangka memperingati Hari Ibu, kami menurunkan tulisan yang pernah dimuat dalam buku terbitan Intisari tahun 2010, Ibu Di Mata Mereka, yang ditulis oleh Yatie Asfan Lubis. Beberapa tokoh Indonesia mengisahkan tentang Ibu mereka. Kali ini adalah Ibu di Kak Seto; Ibuku Sempat Terpukul.

--

Pada waktu ayahku Mulyadi (25 tahun) menikahi ibuku, Mariati (22 tahun) mereka berada dalam suasana pengungsian di kawasan Selatan, Klaten, Jawa Tengah. Ayahku yang berkampung halaman di Kebumen, dilahirkan di Tanjung Pandan, Belitung. Pada usia remaja beliau mudik ke Lasem dan akhirnya bertemu jodoh dengan ibuku yang nenek moyangnya asli dari Klaten.

Pada awal pernikahan mereka, negara kita baru saja merdeka sehingga kehidupan orang tuaku serba memprihatinkan. Manalagi ibuku, dalam usia terbilang muda harus pandai-pandai mengatur uang belanja yang terbatas, sementara ada tuntutan kewajiban merawat dan membesarkan ketiga putranya yang masih kecil-kecil. Tentunya bukanlah hal yang mudah baginya. Ayahku menjabat sebagai manajer perkebunan tembakau di Klattensche Cultuur Maatschappij atau Perusahaan Perkebunan Negara, Klaten.

Putra sulung mereka adalah Makruf Budihardjo yang disusul dengan kelahiran sepasang putra kembar, aku – Seto - dan Kresno pada 28 Agustus 1951. Dr. Soeradji Tirtonegoro yang membantu persalinan kami, memberi nama padaku yang dilahirkan lebih dulu (selang 5 menit) Seto karena kulitku putih, dan Kresno, bayi yang diyakininya akan berkulit hitam.

Ibuku yang lemah lembut dan berhati sabar, selalu mendandani kami seperti layaknya sepasang anak kembar. Baju, sepatu, tas, topi dll selalu sama, tak pernah beda! Kami berdua sering menarik perhatian karena tingkah kami yang lucu.

Kelahiran adikku Arief membuat kebahagiaan keluarga kami semakin lengkap. Kami berempat laki-laki semua, acapkali main bersama. Namun, Tuhan berkehendak lain. Pada saat Arief berusia kurang dari 3 tahun, ia berpulang ke Rahmatullah karena terkena wabah penyakit malaria. Meski usiaku baru 4 tahun tapi aku dapat merasakan kepedihan yang mendalam waktu menangisi kepergiannya untuk selama-lamanya.

Rasa kehilangan itu serasa sulit dihilangkan. Rinduku padanya serasa terobati bila aku dapat bermain dengan anak-anak kecil yang kujumpai. Aku selalu terkenang padanya setiap bermain dengan anak-anak kecil tadi.

Aku memang nakal, bandel! Sulit untuk diam dan tenang, bergerak terus, loncat sana, loncat sini sampai akhirnya terjatuh dan kening kiriku sobek. Dr. Soeradji yang membantu kelahiranku menjahit dahi yang terluka itu. Tiga hari kemudian, saudara kembarku, Kresno, terjatuh hingga dagunya juga harus dijahit. "Fenomena anak kembar" itu, tanpa kami sadari sering terjadi pada kehidupan kami kelak.

Itulah salah satu alasan mengapa sampai hari ini aku mempertahankan potongan rambut berponi ala The Beatles. Ibuku melihat minat dan bakatku di dunia seni. Namun, ia tidak menyetujui niatku untuk mendirikan band bocah. Ia takut, aku akan lupa belajar. Pada masa itu, Ibu mengajarkan bahwa belajar dan bersekolah yang baik, haruslah dinomorsatukan.

Sejak aku kecil, ibuku juga mengamati dengan cermat, bakat dan minatku. Waktu duduk di bangku SD, aku sudah mampu membuat lukisan, berdeklamasi, dan menulis lagu. Ibu memberikan perhatian penuh pada perkembangan kemampuanku. Melihat tulisan tanganku yang jelek, ia mengajari aku dan Kresno berlatih menulis di buku khusus.

Ibu juga mengantar kami ke kelas pencak silat dan belajar tari Jawa. "Tong" panggilanku, dan "Bong" untuk Kresno. Kami pernah naik panggung untuk mementaskan lakon "Sugriwo dan Subali". Masa kecil yang ceria, dimana aku selalu riang gembira bermain dengan Kresno membuat hidup terasa amat menyenangkan.