Meniru Siapa? Anak Sultan Agung Tabiatnya 180 Derajat Dibanding Ayahnya, Tarik Pajak Gila-gilaan Saat Bangun Keraton

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Kekuasan Amangkurat I atas Mataram Islam disebut penuh dengan kontroversi. Termasuk tudingan pembantaian terhadap 6.000 ulama beserta keluarga mereka.

Intisari-Online.com -Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, sepertinya peribahasa itu kurang berlaku bagi Amangkurat I.

Bagaimana tidak, bila dibanding sang ayah, Sultan Agung, Amangkurat I punya tabiat yang sangat berbeda.

Bila Sultan Agung adalah raja Mataram yang begitu dicintai rakyatnya, Amangkurat I adalah raja yang hidup bergelimang kontroversi.

Mulai dari keputusannya yang memilih berteman dengan VOC hingga caranya memerintah kerajaan.

Termasuk saat Mataram Islam membangun keraton baru di Plered yang pembangunannya dimulai pada 1648.

Mengutip buku Disintegrasi Mataram Di Bawah Amangkurat I, saat itu Amangkurat I melihat bahwa penguasa-penguasa pesisir sangat kaya raya.

Tak lama kemudian, Amangkurat I membuat semacam sensus penduduk.

Tujuannya untuk penerapan pajak yang gila-gilaan.

Dalam penerapan pajak itu, Amangkurat I memberlakukan larangan bepergian.

Dia juga mengerahkan petugas-petugas pajak sangat untuk mengawasi kelaurga-keluarga kaya.

Besar pajaknya adalah satu riyal, jika tak bisa bayar diganti dengan kewajiban menyetor 10 ikat besar padi.

Tak hanya itu, Amangkurat I juga menerapkan pengawasan yang begitu ketat terhadap para penguasa pesisir itu.

Sebagai imbasnya, VOC tak bebas bergerak di sana.

Ditambah lagi, Mataram juga mewajibkan kapal-kapal asing, terutama dari Barat, yang berlabuh harus disertai petugas VOC.

Bagi kapal yang tidak disertai petugas VOC, konsekuensinya adalah memberi hadiah superbesar kepada penguasa Mataram itu.

Masih soal pajak, anak Sultan Agung itu juga menarik semua penghasilan dari para penjual kayu jati yang menjual kayunya kepada Belanda.

Bagi yang tidak mau menyerahkan akan mendapatkan nasib yang mengerikan.

Selain itu, pengangkutan gabah juga kena pajak.

Tiap-tiap keluarga yang mau mengangkut gabah wajib menyerahkan 25 ikat atau 10 besar kepada anak Sultan Agung.

Bahkan buku Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I mencatat, Amangkurat I bisa menerima 12,5 juta ikat gabah dari pajak padi.

Tabiat Amangkurat I yang lain

Rasanya tak ada raja Mataram Islam sekontroversial Amangkurat I.

Selain kebijakan-kebijakannya yang dianggap pro-Belanda, Amangkurat I juga disebut pernah membantai ribuan ulama ketika berkuasa.

Amangkurat I juga dianggap sejak sebelum menggantikan sang ayah, Sultan Agung, sebagai penguasa Mataram Islam.

Bagaimana riwayat kekuasaan Amangkurat I di Mataram Islam?

Setelah serangkaian kejayaan, juga dua kekalahan beruntun dari VOC, Sultan Agung akhirnya ambruk.

Kali ini karena sakit sakit.

Saat itulah seluruh urusan pemerintahan diurus oleh Tumenggung Wiraguna hingga kematian Sang Sultan pada 1645.

Kedudukan Sultan Agung sebagai raja Mataram Islam lalu digantikan oleh anak kesepuluhnya bernama Raden Mas Sayyidin.

Gelar yang dia pakai cukup mentereng: Amangkurat I.

Kok bisa anak kesepuluh menjadi raja Mataram Islam?

HJ De Graaf dalam buku Disintegrasi Mataram Di Bawah Amangkurat I menulis, Raden Mas Sayyidin bukan anak tertua Sultan Agung.

Dia adalah anak kesepuluh Sultan Agung, dari permaisuri keduanya, Raden Ayu Wetan.

Sementara permaisuri pertama bernama Kanjeng Ratu Kulon telah diusir dari keraton setelah melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Sahwawrat.

Sumber-sumber terkait Mataram Islam tak menyebutkan alasan pengusirannya.

Setelah itu Raden Ayu Wetan pun menduduki posisi sebagai permaisuri pertama.

Soal asal-usul Raden Ayu Wetan, ada yang menyebutnya sebagai keturunan Raja Batang.

Sementara sumber lain menyebut bahwa Raden Ayu Wetan adalah putri Kerajaan Cirebon.

Raden Mas Sayyidin adalah putra tertua Raden Ayu Wetan yang setelah kepergian permaisuri pertama namanya diubah menjadi Kanjeng Ratu Kulon.

Raden Mas Sayyidin lahir pada 1619.

Ada beberapa nama yang pernah disematkan kepada Sang Putra Mahkota.

Selain Raden Mas Sayyidin, dia juga pernah dipanggil dengan sebutan Jibus, lalu Rangkah, lalu gelar resminya sebagai putra mahkota, Arya Mataram.

Setelah naik takhta, dia dikenal sebagai Mangkurat atau Amangkurat, tepatnya Amangkurat I.

Sementara gelar anumertanya adalah Amangkurat Tegalarum, sesuai dengan tempat di mana dia meninggal dunia.

Sosok yang dipercaya untuk menggembleng pendidikan Raden Mas Sayyidin adalah patih Tumenggung Danupaya.

Saat masuk usia dewasa, Sultan Agung mengawinkan Raden Mas Sayyidin dengan putri Pangeran Pekik dari Surabaya pada 1643.

Terang belaka itu adalah perkawinan politik, mengingat sebelumnya hubungan Surabaya dan Mataram Islam benar-benar buruk.

Surabaya sendiri adalah wilayah yang susah ditaklukkan oleh Mataram Islam, bahkan sejak zaman Panembahan Senopati.

Dan karena pernikahan itu, ikatan antara Mataram Islam dan Surabaya kini semakin erat.

Menurut De Graaf, anak pertama dari pernikah itu meninggal di usia yang sangat muda.

Sementara anak kedua mereka lahir dengan sehat hingga tumbuh dewasa.

Kelak putra kedua ini kita kenal sebagai Sunan Amangkurat II--yang sempat terlibat kisruh asmara dengan ayahnya sendiri.

Saat masih berstatus Putra Mahkota, Raden Mas Sayyidin ternyata pernah terlibat dalam sebuah komplotan yang memalukan istana dan Sultan Agung.

Dia disebut menculik istri tercantik Tumenggung Wiraguna, salah satu abdi dalem senior kesayangan Sultan Atung.

Perbuatan Raden Mas Sayyidin ini kemudian dilaporkan oleh adik-adiknya, termasuk Pangeran Alit.

Harapan Pangeran Alit, gelar Putra Mahkota dilepas dari Mas Sayyidin, dan diberikan kepadanya.

Tapi ternyata Sultan Agung cuma memarahinya, sementara gelar itu masih melekat kepadanya.

Di sisi lain, Tumenggung Wiraguna yang sangat marah lalu membunuh istri tercantiknya itu setelah dikembalikan oleh Mas Sayyidin.

Begitulah masa muda Amangkurat I yang kontroversial itu.

Bantai pemuka agama

Kontroversi terbesar Amangkurat I tentu saja tuduhan dia membantai ribuan ulama dan keluarganya.

Bagaimana ceritanya?

Pada suatu siang ada 1647/1648, pembantaian besar terhadap sekitar 5.000-6.000 ulama dan anggota keluarga mereka terjadi di alun-alun Keraton Plered.

Mereka dibunuh hanya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit.

Pembantaian ini diperintahkan oleh Amangkurat I dengan motif untuk membalas dendam.

Hal ini terjadi lantaran dua hari sebelumnya adiknya yang bernama Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo dengan bantuan Tumenggung Wiraguna mencoba menjatuhkannya dari takhta.

Walaupun upaya kudeta ini gagal dan Raden Mas Alit terbunuh dalam peristiwa tersebut, Amangkurat ingin menumpas kelompok yang diduga bersekongkol dengan adiknya--termasuk para pemuka agama.

Selama perencanaan pembantaian ini, sang sunan ingin agar tindakan balas dendam ini dilakukan tanpa diketahui siapa dalang di balik kejadian tersebut.

Terdapat empat orang pembesar keraton yang diberi tugas untuk menjalankan rencana ini.

Mereka adalah Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wirapatra.

Mereka berempat diperintahkan untuk bergerak ke empat penjuru mata angin untuk melancarkan pembantaian ini.

Menurut sejarawan H.J. de Graaf, Amangkurat juga berpesan agar tidak ada satu pemuka agama pun yang diloloskan dari pembantaian ini.

Permulaan pembantaian ini konon diisyaratkan dengan bunyi tembakan meriam dari arah istana.

Sumber sejarah setempat tidak mencatat bagaimana pembantaian ini benar-benar berlangsung, dan satu-satunya sumber sejarah yang ada adalah catatan Gubernur Jenderal VOC Rijcklof van Goens, yang sedang bertugas di Mataram ketika peristiwa ini terjadi.

Amangkurat berupaya menyembunyikan keterlibatannya dalam pembantaian ini.

Pada hari berikutnya, ia berpura-pura marah dan terkejut.

Dia menuduh para ulama sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas kematian Raden Mas Alit dan memaksa delapan pembesar untuk mengaku bahwa mereka telah merencanakan kudeta terhadap sunan.

Delapan orang itu beserta anggota keluarganya juga dibantai.

Baca berita terupdate lainnya dari Intisari-Online.com diGoogle News

Artikel Terkait