Penulis
Intisari-Online.com - Stadhuisplein, sebutan lama untuk lapangan balai kota Batavia, tampak mulai ramai pengunjung. Kini kawasan ini lebih dikenal sebagai Taman Museum Sejarah Jakarta.
Tepat di muka bangunan Balai Kota Batavia, Sahabat Museum (Batmus) menggelar Plesiran Tempo Doeloe (PTD) pada Sabtu, 30 Desember 2023. Tajuknya, Selamat Datang di Gerbang Amsterdam.
Acaraini merupakan bagiankolaborasi Sahabat Museum dan Intisari, media yang bertema histori, biografi, dan tradisi. Gelaran pada akhir tahun ini mengingatkan kita pada bubarnya kongsi dagang nan sohor, Vereenigde Oost-Indische Compagnie, pada akhir Desember 1799, tepat 224 tahun silam.
Rutebermula dari Taman Museum Sejarah Jakarta dan berakhir di Jembatan Kota Intan. Ruteini menjadi salah satu andalanperjalanan Sahabat Museum di Kota Tua. Kali inipeserta diajak untuk melihat perkembangan Oud Batavia dari masa ke masa.
Plesiran ini membawa 30 peserta yang berminat pada sejarah Jakarta. Ade Purnama, pendiri Sahabat Museum sekaligus pemandu peserta, mengajak peserta untuk menelusuri sudut-sudut Kota Batavia, jantung pemerintahan VOC di Asia Tenggara.
Gerbang Amsterdam dulu hingga kini
Parapeserta melangkahkan kaki mereka menuju situsyang dahulunya merupakantapak Gerbang Amsterdam—atau Amsterdamsche Poort.
Tidak jauh dari gerbang ini,pernah ditemukan “Padrao” atau batu perjanjian antara Portugis dengan Kerajaan Sunda pada 1522. Penjanjian itu berkait hubungan dagang dan pendirian benteng di pesisir Sunda Kalapa. Saat ini batu Padrao tersimpan di Museum Nasional.
Namun, semuanya sirna. Perjanjian tersebut tidak terlaksana karena pada 1527 Fatahillah menaklukan Sunda Kelapa.
Gerbang Amsterdam merupakan infrastruktur yang dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Gustav Willem Baron von Imhoffyang berdinaspada 1743-1750.
Satu yang tidak kalah menarik dari lokasi ini adalah, fakta bahwa Gerbang Amsterdam merupakan saksi bisu dari pertunjukan bulanan di Kota Batavia.
“Disini ada orang digantung—biasanya wanita—dan dihukum cekik hingga mati bagi para pria,” tutur Ade.Sebagian peserta pun tersentak dan seakan tidak percaya akan kejadian tersebut.
Awalnya, gerbang ini merupakan menara berarsitektur Rococo. Di setiap sayapnya terdapat bangunan. Namun, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels membongkar kawasan Kastel Batavia, termasuk Gerbang Amsterdam sekitar 1809.
Kemudian, pemerintah Hindia Belanda membangun kembali gerbang ini dengan gaya yang lebih sederhana pada 1860-an. Gerbang baru ituditambahkan dekorasi patung Dewa Mars (Dewa Perang) dan Dewi Minerva (Dewi Seni).
Ketika peradaban kereta api membelah Batavia, dinding pagar di kedua sayap Gerbang Amsterdam dibongkar demi pembangunan lintasan trem.
Hingga pada akhirnya pada tahun 1950-an Gerbang Amsterdam benar-benar dirobohkan. Sukarno berupaya menghabisi beragam peninggalan masa penjajahan, sekaligus pembuktian bahwa Indonesia telah berdaulat.
Baca Juga: Menelusuri Jejak Rencana Ibukota Baru Di Weltevreden
Kini,wajah Gerbang Amsterdam tidak lagi terlihat. Dari Jalan Tongkol sejauh mata memandang hanyatampak jembatan rel kereta.Di jembatan itulahtapakberdirinya Gerbang Amsterdam.
Meski gerbang yang menandai kejayaan Hindia Belanda itu telah sirna, riwayatnya telah menjadibukti sejarah penting peradaban Batavia.
Usai menelusuri setapak demi setapak tanah hasil reklamasi kanal-kanal Batavia, para peserta sampai pada bangunan tak terawat.
Ade mengungkapkan bahwa bangunan itu adalah Gudang VOC Timur, yang menjadi tempat penyimpanan biji-bijian. Oostzijdepakhuizen,demikian orang Belanda menyebutnya.
"Jadi, bangunan ini adalah Gudang VOC Timur, sementara Gudang VOC Barat kini menjadi Museum Bahari," ujarnya. "Dahulu ada enam bangunan gudang di sini, sebagian hancur karena pembangunan jalan tol 1995."
Para peserta melintasi sebagian dinding luar Gudang VOC Barat, yang sejatinya bagian sisa tembok kota Batavia.Selagi peserta di sana,tampak segerombolan anak-anak yang bermain sepak bola di pekarangan bagian dalam gudang.
Cikal Bakal Jam “Ngaret” di Indonesia
Para peserta melanjutkan perjalanan menuju Menara Syahbandar dengan semangat meski di bawah teriknya matahari.Sayangnya, kami tidak diperkenankan memasuki lantai atas Menara Syahbandar karena kondisinya yang rapuh.
Walaupun begitu, ada sebuah kisah menarik yang diceritakan pada saat rombongan singgah di halaman sekitar menara.
Ade berkisah, “Zaman dulu, orang di Batavia belum banyak yang memiliki arloji. Untuk penentuan waktu, biasanya mereka mengacu pada jam lima pagi saat meriam dipantik untuk memicu ledakan. Dari sanalah, kentungan dijadikan alat untuk meneruskan waktu bagi masyarakat.”
Kentungan merupakan alat komunikasi masyarakat Nusantara yang belakangan diadopsi oleh Daendels sebagai penandawaktu, khususnya untuk masyarakat di Batavia.
Daerah yang terletak paling dekat dengan sumber suara akan membunyikan kentungan lebih awal. Kemudian, penanda waktu itu terus merambat ke daerah yang lebih jauh seiring waktu bertambah.
Metode penunjuk waktu itulah yang kemudian diasosiasikan dengan lelucon kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering tidak disiplin dalam waktu—jam karet.
Dari Museum Bahari Menuju Jembatan Kota Intan
Menuju akhir perjalanan PTD, para pesertasinggah keGudang VOC Barat atau Westzijdepakhuizen—yang nasibnya lebih mujur daripada Gudang VOC Timur.Gudang ini digunakan untuk menyimpan hasil bumi Nusantara.
Gudang ini dibangun secara bertahap mulai 1652 sampai 1771.Kini, tiga unit bangunan Gudang VOC Barat telah menjadi Museum Bahari semenjak zaman Gubernur Ali Sadikin.
Rute perjalanan kali ini berakhir di Jembatan Kota Intan, sebuah replika jembatan jungkit yang pernah ada pada lokasi yang sama.Seperti jembatan yang menghubungkan dua sisi yang berbeda,Plesiran Tempo Doeloe pun menghubungkan peserta hari ini dengan masa lalu kotanya. (Akbar Gibrani)
Baca Juga: Kongsi Penguasa dan Pengusaha; JP Coen - Souw Beng Kong