Begini Sejarah Bank di Indonesia dari Masa Kolonial hingga Reformasi

Afif Khoirul M

Penulis

Ilustrasi - Sejarah Bank Indonesia sejak zaman kolonial Belanda.

Intisari-online.com - Bank adalah lembaga keuangan yang berperan dalam mengatur peredaran uang dan memberikan layanan keuangan kepada masyarakat.

Sejarah bank di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh penjajahan dan perjuangan kemerdekaan.

Masa Kolonial

Perkembangan bank di Indonesia dimulai sejak kedatangan bangsa Eropa di abad ke-16.

Saat itu, Nusantara sudah memiliki mata uang di masing-masing kerajaan, seperti kepeng, mas, dan perak. S

elain itu, ada juga mata uang picis dari Tiongkok yang dominan di peredaran uang Nusantara.

Kedatangan bangsa Eropa, terutama Belanda, membawa dampak besar bagi perekonomian Nusantara.

Belanda mendirikan maskapai dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang beroperasi di Nusantara sejak tahun 1602.

VOC melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah dan mengeluarkan mata uang sendiri, yaitu duit.

Untuk mendukung kegiatan perdagangan, VOC membentuk sebuah bank bernama De Bank van Courant en Bank van Leening di tahun 1752.

Bank ini berfungsi untuk memberi pinjaman pada pegawai VOC dengan bunga dan mengatur peredaran uang di wilayah VOC.

Bank ini juga menerbitkan uang kertas pertama di Nusantara, yaitu recepis.

Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan di Nusantara.

Pada tahun 1828, pemerintah Belanda mendirikan bank sentral pertama di Nusantara, yaitu De Javasche Bank.

Bank ini berwenang untuk menerbitkan uang kertas, mengatur peredaran uang, dan memberikan pinjaman kepada pemerintah dan swasta.

De Javasche Bank juga berperan dalam menjaga stabilitas nilai mata uang gulden Hindia Belanda, yang menjadi mata uang resmi di Nusantara sejak tahun 1854.

Bank ini juga mengawasi kegiatan bank-bank swasta yang mulai bermunculan di Nusantara, seperti Nederlandsch-Indische Handelsbank, Nederlandsch-Indische Escompto Maatschappij, dan Nederlandsche Handel-Maatschappij.

Baca Juga: Analisislah Dampak Dan Prospek Bank Syariah Yang Ada Di Indonesia

Masa Perjuangan Kemerdekaan

Perkembangan bank di Indonesia mengalami perubahan signifikan saat masa perjuangan kemerdekaan.

Pada tahun 1942, Jepang menginvasi Nusantara dan mengganti nama menjadi Indonesia.

Jepang mengambil alih De Javasche Bank dan mengubahnya menjadi Nanyo Kyoku, yang berfungsi sebagai bank sentral Jepang di Asia Tenggara.

Jepang juga mengeluarkan mata uang baru, yaitu uang Jepang yang dikenal sebagai uang pisang.

Uang ini tidak memiliki nilai tukar yang tetap dan mengalami inflasi yang tinggi.

Hal ini menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi kacau dan masyarakat menderita.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan.

Namun, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan berusaha untuk merebut kembali kekuasaannya.

Hal ini memicu perang kemerdekaan yang berlangsung hingga tahun 1949.

Dalam masa perang kemerdekaan, pemerintah Indonesia berusaha untuk mengatur perekonomian dan perbankan.

Pada tahun 1946, pemerintah Indonesia mendirikan bank sentral kedua, yaitu Bank Negara Indonesia (BNI).

Bank ini berwenang untuk menerbitkan uang kertas baru, yaitu uang Republik Indonesia (ORI).

BNI juga berperan dalam mendanai perjuangan kemerdekaan dengan mengumpulkan dana dari masyarakat dan memberikan pinjaman kepada pemerintah.

BNI juga membantu mengembangkan bank-bank daerah dan bank-bank rakyat yang beroperasi di wilayah Indonesia.

Pada tahun 1949, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto.

Namun, Belanda masih memegang kekuasaan di wilayah Irian Barat dan menguasai De Javasche Bank.

Hal ini menyebabkan terjadinya dualisme bank sentral di Indonesia, yaitu BNI dan De Javasche Bank.

Baca Juga: Apa yang Sebaiknya Anda Lakukan Jika Hendak Investasi ke IKNB

Masa Orde Lama

Perkembangan bank di Indonesia memasuki fase baru saat masa orde lama.

Pada tahun 1953, pemerintah Indonesia berhasil mengambil alih De Javasche Bank dari Belanda dan mengubah namanya menjadi Bank Indonesia.

Bank ini menjadi bank sentral ketiga dan satu-satunya di Indonesia.

Bank Indonesia berwenang untuk menerbitkan uang kertas baru, yaitu uang Indonesia baru (IB).

Bank ini juga berperan dalam mengatur peredaran uang, menetapkan kebijakan moneter, dan mengawasi kegiatan perbankan.

Bank Indonesia juga mengganti mata uang gulden Hindia Belanda dengan rupiah sebagai mata uang resmi Indonesia.

Pada tahun 1955, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1955 tentang Pokok-Pokok Perbankan.

Undang-undang ini mengatur tentang sistem perbankan di Indonesia, yang terdiri dari bank sentral, bank umum, bank pembangunan, dan bank perkreditan rakyat.

Undang-undang ini juga mengatur tentang kewajiban bank untuk menyimpan cadangan wajib di Bank Indonesia.

Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Asing.

Undang-undang ini mengatur tentang pengambilalihan saham dan aset perusahaan-perusahaan asing, termasuk bank-bank asing, oleh pemerintah Indonesia.

Hal ini bertujuan untuk menghapus pengaruh asing dan meningkatkan perekonomian nasional.

Masa Orde Baru

Perkembangan bank di Indonesia mengalami perubahan besar saat masa orde baru.

Pada tahun 1965, terjadi peristiwa G30S/PKI yang mengguncang stabilitas politik dan ekonomi Indonesia. Pemerintah Indonesia mengalami krisis keuangan dan inflasi yang tinggi.

Hal ini menyebabkan nilai mata uang rupiah anjlok dan kepercayaan masyarakat terhadap bank menurun.

Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah Indonesia melakukan reformasi ekonomi dengan bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai Paket Oktober 1966.

Paket ini mengatur tentang devaluasi mata uang rupiah, penyesuaian harga-harga, pemotongan subsidi, dan liberalisasi perdagangan.

Pemerintah Indonesia juga melakukan reformasi perbankan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.

Undang-undang ini mengatur tentang perubahan status Bank Indonesia dari badan usaha milik negara menjadi lembaga negara yang independen.

Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan mengawasi kegiatan perbankan.

Undang-undang ini juga mengatur tentang pembentukan bank-bank umum baru, baik milik pemerintah maupun swasta.

Bank-bank umum ini beroperasi berdasarkan prinsip komersial dan mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Bank-bank umum ini juga diharuskan untuk menyimpan cadangan wajib di Bank Indonesia dan mengikuti program kredit likuiditas Bank Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga melakukan pembinaan dan pengembangan bank-bank khusus, seperti bank pembangunan, bank ekspor-impor, bank tabungan, dan bank syariah.

Selama masa orde baru, perkembangan bank di Indonesia cukup pesat.

Jumlah bank umum meningkat dari 25 pada tahun 1967 menjadi 240 pada tahun 1997.

Jumlah bank khusus juga meningkat dari 5 pada tahun 1967 menjadi 13 pada tahun 1997.

Jumlah kantor bank juga bertambah dari 1.000 pada tahun 1967 menjadi 7.000 pada tahun 1997.

Namun, perkembangan bank di Indonesia juga diiringi oleh berbagai masalah, seperti kualitas kredit yang buruk, praktik perbankan yang tidak sehat, intervensi politik, dan korupsi.

Hal ini membuat sistem perbankan Indonesia menjadi rapuh dan rentan terhadap krisis.

Baca Juga: Dari Produk Bank Syariah dan Bank Konvensional, Manakah yang Kalian Pilih ?

Masa Reformasi

Perkembangan bank di Indonesia mengalami tantangan besar saat masa reformasi.

Pada tahun 1997, terjadi krisis moneter dan keuangan yang melanda Asia, termasuk Indonesia.

Krisis ini disebabkan oleh spekulasi mata uang, ketidakpercayaan investor, dan ketidakstabilan politik.

Krisis ini berdampak pada anjloknya nilai mata uang rupiah, runtuhnya pasar saham, dan meningkatnya utang luar negeri.

Krisis ini juga berdampak pada krisis perbankan, yang ditandai oleh meningkatnya jumlah kredit macet, menurunnya modal dan likuiditas bank, dan menipisnya dana pihak ketiga.

Banyak bank yang mengalami kesulitan dan gagal bayar.

Pemerintah Indonesia berusaha untuk menyelamatkan sistem perbankan dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai Paket November 1997.

Paket ini mengatur tentang restrukturisasi perbankan, yang meliputi penutupan bank-bank yang tidak layak, penyehatan bank-bank yang bermasalah, dan penggabungan bank-bank yang sehat.

Pemerintah Indonesia juga membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjamin simpanan nasabah bank.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengelola aset-aset bank yang diambil alih oleh pemerintah.

Paket ini juga mengatur tentang reformasi sektor keuangan, yang meliputi penguatan peran dan otonomi Bank Indonesia, penerapan prinsip good corporate governance, pemberantasan korupsi, dan peningkatan transparansi dan akuntabilitas.

Selain itu, paket ini juga mengatur tentang reformasi sektor riil, yang meliputi restrukturisasi utang korporasi, privatisasi BUMN, dan pemberdayaan UMKM.

Baca Juga: Carilah Berbagai Jenis Produk Bank Konvensional dan Bank Syariah!

Selama masa reformasi, perkembangan bank di Indonesia mengalami pasang surut.

Jumlah bank umum menurun dari 240 pada tahun 1997 menjadi 137 pada tahun 2004.

Jumlah bank khusus juga menurun dari 13 pada tahun 1997 menjadi 9 pada tahun 2004.

Jumlah kantor bank juga berkurang dari 7.000 pada tahun 1997 menjadi 5.000 pada tahun 2004.

Jumlah aset bank juga menurun dari Rp 1.300 triliun pada tahun 1997 menjadi Rp 900 triliun pada tahun 2004.

Namun, sejak tahun 2005, perkembangan bank di Indonesia mulai membaik.

Jumlah bank umum meningkat menjadi 120 pada tahun 2020.

Jumlah bank khusus juga meningkat menjadi 26 pada tahun 2020.

Jumlah kantor bank juga bertambah menjadi 11.000 pada tahun 2020. Jumlah aset bank juga meningkat menjadi Rp 8.600 triliun pada tahun 2020.

Perkembangan bank di Indonesia saat ini ditopang oleh berbagai faktor, seperti pertumbuhan ekonomi yang stabil, inflasi yang terkendali, nilai tukar rupiah yang relatif stabil, dan suku bunga yang rendah.

Selain itu, perkembangan bank di Indonesia juga didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian, penguatan permodalan dan likuiditas, peningkatan kualitas kredit, dan pengembangan produk dan layanan perbankan.

Salah satu produk dan layanan perbankan yang berkembang pesat saat ini adalah bank digital.

Bank digital adalah bank yang menyediakan layanan keuangan secara online melalui aplikasi atau website.

Bank digital menawarkan kemudahan, kecepatan, dan efisiensi dalam bertransaksi.

Bank digital juga menjangkau segmen pasar yang belum terlayani oleh bank konvensional, seperti generasi milenial, pelaku UMKM, dan masyarakat unbanked dan underbanked.

Bank digital di Indonesia mulai bermunculan sejak tahun 2018, dengan hadirnya bank-bank digital seperti Jenius, Digibank, TMRW, Yuna, dan Bank Jago.

Bank-bank digital ini beroperasi dengan izin dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Bank-bank digital ini juga diharuskan untuk memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan OJK, seperti modal minimum, cadangan wajib, dan perlindungan konsumen.

Perkembangan bank di Indonesia dari masa kolonial hingga reformasi menunjukkan bahwa bank memiliki peran penting dalam perekonomian dan keuangan nasional.

Bank juga mengalami berbagai dinamika dan tantangan yang mempengaruhi kinerja dan kesehatannya.

Bank harus mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat.

Bank juga harus mampu berinovasi dan bertransformasi untuk memberikan layanan yang terbaik bagi nasabah dan negara.

Artikel Terkait