Penulis
Intisari-Online.com -Janda perawan, begitulah Siti Oetari disebut.
Dia adalah istri pertama Bung Karno tapi tidak pernah disentuk oleh Sang Prokalamator.
Siti Oetari bukan orang sembarangan.
Ayahnya ada gurunya para aktivis pergerakan nasional.
Benar Siti Oetari adalah putri Haji Oemar Said Tjokroaminoto alias HOS Tjokroaminoto.
Bung Karno pernah berkuru kepada Tjokro.
Dari Tjokro, Soekarno belajar banyak mengenai politik dan pergerakan.
Tjokroaminoto memang bisa dianggap sebagai poros pergerakan nasional saat itu.
Sebagai salah satu pimpinan Sarekat Islam, sejumlah tokoh, seperti Agus Salim atau Samanhudi, bolak-balik menemui Tjokro.
Tapi Tjokro tak hanya guru bagi Sukarno.
Lebih dari itu, dia juga mertua Bung Karno.
Saat indekos di rumah Tjokro, Kusno--nama kecil Sukarno--jatuh cinta kepada putri sulung Sang Guru Bangsa bernama Siti Oetari.
Setelah sejumlah kisah romansa dijalani Soekarno dan Oetari, termasuk rayuan maut Soekarno, keduanya menikah pada 1921.
Ketika itu Kusno berusia 20 tahun, sedangkan Oetari 16 tahun.
Pernikahan Soekarno dengan Oetari dilakukan di rumah Tjokroaminoto.
Meski Tjokro merupakan tokoh yang dikenal publik, pernikahan berlangsung sederhana dan dengan persiapan seadanya.
Meski begitu, dikutip dari buku Istri-istri Soekarno (Reni Nuryanti dkk/2007), sempat terjadi ketegangan sebelum akad nikah berlangsung.
Bung Karno berdebat keras dengan penghulu.
Masalahnya bisa dibilang sepele.
Penghulu meminta Sukarno mengganti jas dan dasi yang dikenakan saat akad.
Gaya pakaian Bung Karno dianggap tidak sesuai dengan adat dan kebiasaan Islam pada masa itu.
Bung Karno pun marah.
Dia dengan suara lantang menolak.
Bung Karno juga membentakpenghulu dengan kata-kata tajam. "Tuan Kardi... saya menyadari bahwa dulunya mempelai hanya memakai pakaian Bumiputra, yaitu sarung. Tetapi, ini adalah cara lama, aturannya sekarang sudah diperbarui," kata Soekarno.
Emosi membuat Soekarno terus mengeluarkan kata-kata tajam.
Bahkan, Putra Sang Fajar itu mengancam membatalkan pernikahan.
"Barangkali lebih baik tidak kita lanjutkan hal ini sekarang," ujar Soekarno.
Protes terhadap perilaku Soekarno juga diperlihatkan imam masjid.
Sejumlah tamu bahkan disebut meninggalkan ruangan karena enggan terlibat debat.
Tetapi, Soekarno tetap pada pendiriannya.
"Persetan tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan akan selalu memberontak. Saya tidak mau didikte di hari pernikahan saya," ujar Soekarno.
Pernikahan itu kemudian tetap berlangsung setelah Soekarno menenangkan diri.
Saat menenangkan diri itu, jari Soekarno terbakar saat menyalakan korek api ketika akan merokok untuk meredakan ketegangan.
Soekarno pun memaknai itu sebagai sebuah firasat tidak baik dalam pernikahannya dengan Oetari.
Setelah menikah, hubungan Soekarno dengan Oetari tidak terlihat semakin mesra.
Bahkan, Soekarno dan Oetari disebut tidak menikmati bulan madu.
Firasat buruk Soekarno pada hari pernikahannya mulai terlihat nyata.
Soekarno makin sibuk dengan aktivitas politiknya, termasuk ikut ke mana pun Tjokro pergi.
Pria yang akan menjadi Presiden pertama Indonesia itu mulai berpidato menggantikan Tjokro, saat Tjokro berhalangan.
Soekarno dianggap memahami pernikahannya dengan Oetari sebagai "kawin gantung".
Salah satu alasan Soekarno, Oetari dianggap terlalu muda.
Dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, kepada Cindy Adams, Soekarno bahkan mengatakan tidak pernah "menyentuh" Oetari.
Siti Oetari tetap dijaganya dalam keadaan "suci".
Namun, ini bukan berarti karena Soekarno tidak menyayangi Oetari.
Saat Oetari sakit, Soekarno panik dan merawat Oetari sepenuh hati.
Soekarno merasakan sayang, dan bukan birahi.
"Berkali-kali aku mengelap tubuhnya yang panas dengan alkohol dari ujung kepala sampai ke ujung jari kakinya. Namun, tidak sekali pun aku menjamahnya," tutur Soekarno.
Soekarno menyayangi Oetari karena menganggapnya seperti adik sendiri.
"Kami tidur berdampingan di satu tempat tidur, tetapi secara jasmaniah kami sebagai kakak beradik," ucap Soekarno.
Namun, pengakuan Soekarno itu diragukan penulis buku biografi Soekarno, Lambert Giebels.
Menurut Giebels, Oetari yang secara fisik memiliki daya tarik dan masih muda tidak mungkin didiamkan Soekarno. "Bahwa apa yang dikatakan (Soekarno) pada otobiografi itu adalah penghinaan bagi Oetari yang manis dan menarik itu," ucap Giebels, dikutip dari buku Istri-istri Soekarno