Penulis
Intisari-Online.com -Tiap-tiap wilayah di Indonesia punya cara berladangnya sendiri.
Untuk orang-orang Melayu yang ada di Riau, mereka punya tradisi batobo.
Artikel ini akan memjelaskan tata cara orang Melayu berladang dalam tradisi Batobo.
Pada 2017 lalu, Batowo, tradisi dari Riau, ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia, dilansir situs Kemendikbud.
Batobo, ada juga yang menyebutnya tobo (yang artinya berkelompok, bersama-sama) merupakansemacam arisan tani dalam mengolah tanah pertanian.
Batobo dilakukansecara bersama-sama dan bergiliran di antara anak tobo (anggota batobo).
Tradisi inimenjunjung tinggi prinsip kebersamaan dan kekeluargaan.
Meski begitu, tradisi hanyaterbatas pada pengelolahan lahan dan tidak berlaku terhadap hasil dari pertanian itu sendiri.
Tradisi batobo terutama berada didaerah Kampar dan Kuantan
Batobodapat dikelompokkan menjadi dua bagian: batobo biasa dan batobo pasukuan.
Batobo biasa merupakan tobo yang memiliki anak toboyang berasal dari warga masyarakat tanpa memandang suku.
Sementara batobo pasukuan merupakan batobo yang memiliki anak toboyang berasal dari satu suku yang sama.
Batobo biasa dilaksanakan atas persetujuan pimpinan kampung.
Batobo persukuan berdasarkan persetujuan ninik mamak dalam suku yang batobo.
Pelaksaan batobo juga diiringi dengan penyiapan penganan secara bersama dan pertunjukan berbagai kesenian.
Penganan yang disediakan berupa panganan yang umum disediakan dalam aktivitas-aktivitas komunal.
Seperti lemang, konji (bubur beras), pulut, galamai (dodol), kue talam, guajik (wajik).
Untuk pertunjukan seninya, antara lain gondang baraguong, bedondong dan pantun batobo.
Konon, batobo awalnya dilakukan olehkaum perempuan.
Hal ini disebabkan kaum laki-laki umumnya pergi merantau sehingga kegiatan pertanian menjadi tanggung jawab perempuan.
Tobo yang beranggotakan perempuan disebut dengan tobo induak-induak.
Umumnya beranggota perempuan yang telah menikah berusia antara 25-40 tahun.
Selanjutnya berkembang tobo yang beranggotakan laki-laki yang disebut dengan tobo bujang.
Ada pula tobo bujang gadih (di Kampar disebut tobo basampuak) yang beranggotakan bujang dan gadis yang berusia 14-18 tahun.
Perlaksaan batobo ini umumnya selalu terpisah, walaupun tidak ada larangan untuk dilakukan secara bersama-sama.
Tapi sayang, saat ini batobo semakinditinggalkan seiring pola pertanian yang semakin individual.
Para pemilik ladang lebih memilih untuk membayar upah atau menyewa tenaga orang lain.
Lahan pertanian yang semakin menipis dan pola bertani yang berubah juga sebagai penyebab batobo semakin jarang ditemukan.