Penulis
Intisari-Online.com -Semua berawal ketika Indonesia menandatangani Perjanjian Renville dengan Belanda.
Perjanjian itu dianggap sangat merugikan Indonesia.
Perjanjian itu menjadi salah satu latar belakang peristiwa Pemberontakan Di/TII di Jawa Barat yang digelorakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
DI merujuk pada Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII).
Sementara TII merujuk pada Tentara Islam Indonesia, sayap militer Darul Islam.
Tak hanya di Jawa Barat, Pemberontakan DI/TII juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Termasuk Aceh dan Sulawesi Selatan.
Tokoh pemimpin pemberontakan DI/TII Jawa Barat adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Pemberontakan DI/TII dilatarbelakangi ketidakpuasan Kartosoewirjo terhadap kebijakan diplomasi Indonesia.
Ketika itu, kemerdekaan RI terus dibayang-bayangi kehadiran Belanda yang masih ingin berkuasa atas Indonesia.
Awal 1948,terjadi pertemuan antara SM Kartosoewirjo dengan Panglima Laskar Sabilillah dan Raden Oni Syahroni.
Pertemuan ini terjadi lantaran ketiga tokoh tersebut menentang adanya Perjanjian Renville.
Mereka menganggap perjanjian tersebut tidak melindungi warga Jawa Barat.
Kartosoewirjo lantas mengubah penolakannya dengan membentuk negara Islam yaitu Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh dirinya sendiri
Dicetusnya NII ini menjadi bentuk protes dari Kartosoewirjo kepada Belanda sekaligus untuk Indonesia yang mereka anggap terlalu lemah
Pengaruh dari Kartosoewirjo pun semakin membesar setelah ia mendirikan angkatan bersenjata untuk NII yang bernama Tentara Islam Indonesia (TII).
Tujuan dari dibentuknya TII sendiri adalah untuk memerangi pasukan TNI agar bisa memisahkan diri dari negara Indonesia.
Pergerakan NII pun semakin berkembang berkat dukungan dari daerah-daerah lain yang juga merasa kecewa terhadap Indonesia.
Hal ini menjadi awal terjadinya pemberontakan DI/TII tidak hanya di Jawa Barat, tetapi juga merambat sampai ke daerah lainnya.
Kartosoewirjo kemudian memproklamasikan hadirnya NII sebagai negara melalui maklumat pemerintah No II/7.
Dalam maklumat disebutkan bahwa 17 Agustus 1945 adalah akhir masa kehidupan Indonesia.
Kartosoewirjo memantapkan keputusannya untuk mengklaim seluruh wilayah Indonesia sebagai kekuasaan dari NII.
NII kemudian menyempurnakan angkatan perangnya untuk dapat menguasai beberapa wilayah agar bergabung dengan NII.
Pasukan ini kemudian diberi nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Untuk mengatasi pemberontakanDI/TII di Jawa Barat, pemerintah mengeluarkan peraturan No. 59 Tahun 1958 yang berisikan tentang penumpasan DI/TII.
Salah satu caranya adalah dengan menurunkan pasukan Kodam Siliwangi dan menerapkan taktik Pagar Betis.
Taktik Pagar Betis ini dilakukan dengan menggunakan tenaga rakyat dengan jumlah ratusan ribu untuk mengepung tempat persembunyian DI/TII.
Tujuan lain dibentuknya Pagar Betis yaitu untuk mempersempit ruang gerak DI/TII.
Selain Pagar Betis, operasi lain yang juga dilakukan oleh Kodam Siliwangi yaitu Operasi Brata Yudha.
Operasi ini dibentuk untuk menemukan tempat persembunyian sang imam NII, Kartosoewirjo.
Setelah melalui perjalanan panjang untuk mencari Kartosoewirjo, dirinya berhasil dibekuk hidup-hidup oleh Letda Suhanda, pemimpin Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi.
Tertangkapnya Kartosoewirjo ini menjadi awal mula teratasinya pemberontakan DI/TII.
Banyak dari mereka yang memutuskan untuk menyerah.
Itulah latar belakang pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartosoewirjo.