Perjanjian Sykes-Picot, Pembagian Wilayah Israel dan Palestina yang Memicu Konflik Berkepanjangan

Afif Khoirul M

Penulis

Ilustrasi - Bagaimana sejarah pembagian wilayah Israel dan Palestina.

Intisari-online.com - Perjanjian Sykes-Picot adalah sebuah perjanjian rahasia yang ditandatangani pada tahun 1916 oleh pemerintah Britania Raya dan Prancis, dengan persetujuan dari Rusia, untuk membagi-bagi wilayah Kekaisaran Utsmaniyah di Asia Barat setelah Perang Dunia I.

Perjanjian ini secara efektif memotong daerah-daerah Arab yang berada di bawah kekuasaan Utsmaniyah menjadi zona-zona pengaruh dan kendali Prancis, Inggris, dan Rusia.

Perjanjian ini juga bertentangan dengan janji-janji yang diberikan oleh Britania kepada para pemimpin Arab, yang berharap dapat mendapatkan kemerdekaan dan persatuan setelah membantu Britania melawan Utsmaniyah.

Perjanjian Sykes-Picot memiliki dampak jangka panjang yang sangat besar bagi wilayah Palestina, yang kemudian menjadi sumber konflik antara Israel dan Palestina hingga saat ini.

Perjanjian ini menentukan nasib Palestina tanpa melibatkan penduduk aslinya, baik Arab maupun Yahudi, yang memiliki klaim historis dan agama terhadap tanah tersebut.

Perjanjian ini juga mengabaikan aspirasi nasionalisme Arab dan Yahudi, yang muncul sebagai akibat dari penjajahan Utsmaniyah dan persekusi Eropa.

Perjanjian ini juga menciptakan ketidakseimbangan kekuatan dan sumber daya antara kedua kelompok tersebut, yang memperburuk ketegangan dan kekerasan di wilayah tersebut.

Artikel ini akan membahas bagaimana Perjanjian Sykes-Picot mempengaruhi pembagian wilayah Israel dan Palestina, dan bagaimana hal itu memicu konflik berkepanjangan antara kedua belah pihak.

Pembagian Wilayah Israel dan Palestina

Rencana Pembagian PBB 1947

Setelah Perang Dunia II, Britania Raya, yang mendapatkan mandat dari Liga Bangsa-Bangsa untuk mengelola Palestina, menghadapi tekanan dari kedua pihak, Arab dan Yahudi, yang menuntut kemerdekaan dan kedaulatan atas tanah mereka.

Britania Raya kemudian menyerahkan masalah ini kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang pada tahun 1947 mengusulkan rencana pembagian Palestina menjadi dua negara, satu Yahudi dan satu Arab, dengan wilayah Yerusalem dan Betlehem menjadi kota internasional.

Rencana pembagian ini didasarkan pada kriteria demografi, geografi, dan ekonomi, serta mempertimbangkan hak-hak minoritas di setiap wilayah.

Pihak Yahudi mendapatkan daerah pesisir sekitar Tel Aviv, daerah di sekitar Danau Galilea dan daerah di Gurun Negev.

Baca Juga: Asal-Usul Taman Nasional Komodo, Situs Warisan Dunia yang Menjadi Habitat Komodo

Sementara itu pihak Arab mendapatkan sisa dari Palestina termasuk sebuah enklave kecil Jaffa di sebelah selatan Tel Aviv.

Secara kasar pihak Yahudi mendapat sekitar 55% dari area total tanah sementara pihak Arab mendapatkan 45%.

Rencana pembagian ini diterima oleh para pemimpin Yahudi Palestina, yang menganggapnya sebagai pengakuan internasional atas hak mereka untuk memiliki negara sendiri di tanah leluhur mereka.

Namun, rencana pembagian ini ditolak oleh para pemimpin Arab Palestina, yang menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap janji-janji Britania dan aspirasi mereka untuk bersatu dengan negara-negara Arab lainnya.

Mereka juga menolak untuk memberikan sebagian besar tanah mereka kepada orang-orang Yahudi, yang mereka anggap sebagai pendatang asing yang didukung oleh kekuatan kolonial⁶.

Perang Arab-Israel 1948-1949

Pada tanggal 14 Mei 1948, sehari sebelum berakhirnya mandat Britania, para pemimpin Yahudi Palestina mendeklarasikan berdirinya negara Israel, tanpa menyebutkan batas-batas wilayahnya.

Deklarasi ini segera diakui oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet, serta beberapa negara lainnya.

Namun, deklarasi ini juga memicu perang antara Israel dan negara-negara Arab tetangganya, yaitu Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak, yang menyerang Israel dengan tujuan untuk menghapuskan negara baru itu dan membebaskan Palestina.

Perang ini berlangsung selama lebih dari setahun, dan berakhir dengan serangkaian gencatan senjata yang menetapkan garis-garis gencatan senjata di sepanjang wilayah zona pertempuran antara Israel dan negara-negara Arab.

Garis-garis ini kemudian dikenal sebagai Garis Hijau, yang menjadi dasar bagi perbatasan de facto Israel hingga tahun 1967.

Baca Juga: Dibawa Belanda Tapi Diperkenalkan Orang Tionghoa, Begini Sejarah Bola Basket Di Indonesia

Akibat perang ini, Israel berhasil memperluas wilayahnya menjadi sekitar 78% dari area total tanah Palestina, sementara sisanya dibagi menjadi dua bagian, yaitu Jalur Gaza (diduduki oleh Mesir) dan Tepi Barat (diduduki oleh Yordania), termasuk Yerusalem Timur.

Perang ini juga menyebabkan pengungsian massal penduduk Arab Palestina, yang diperkirakan mencapai sekitar 700.000 orang, dari wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Israel.

Sebagian besar dari mereka melarikan diri karena takut akan kekerasan dan pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Israel, sementara sebagian lainnya dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka oleh pihak Israel.

Para pengungsi ini kemudian tersebar di kamp-kamp pengungsian di Jalur Gaza, Tepi Barat, Yordania, Lebanon, dan Suriah, dan tidak diizinkan untuk kembali oleh pihak Israel.

Mereka juga tidak mendapatkan kewarganegaraan atau hak-hak sipil dari negara-negara tempat mereka tinggal, dan hidup dalam kondisi yang sangat buruk.

Perang Enam Hari 1967

Pada tahun 1967, ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab meningkat lagi, terutama karena adanya gerakan perlawanan Palestina yang beroperasi dari wilayah-wilayah Arab, dan ancaman dari Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser untuk menghapuskan Israel.

Pada bulan Mei, Nasser memerintahkan penutupan Selat Tiran, yang merupakan jalur penting bagi perdagangan Israel, dan memobilisasi pasukan di perbatasan Sinai dengan Israel.

Israel, yang merasa terancam, kemudian melancarkan serangan mendadak terhadap Mesir pada tanggal 5 Juni, yang memicu perang antara Israel dan negara-negara Arab lainnya, yaitu Yordania, Suriah, dan Irak.

Perang ini berlangsung selama enam hari, dan berakhir dengan kemenangan mutlak bagi Israel, yang berhasil menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya diduduki oleh negara-negara Arab, yaitu Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Dengan demikian, Israel berhasil menggandakan wilayahnya, dan menguasai seluruh wilayah Palestina historis, serta wilayah-wilayah strategis lainnya.

Artikel Terkait