Find Us On Social Media :

Mari, Bikin Rumah Ramah Lingkungan

By Agus Surono, Minggu, 20 Maret 2011 | 01:10 WIB

Mari, Bikin Rumah Ramah Lingkungan

Itu belum seberapa. Masih ada nih senyawa lain dengan konsentrasi yang tinggi seperti ortofosfat, ferro, Cl, SO42-, amonia, nitrat, nitrit, Ca2+, dan Mn2+. Di alam ortofosfat itu musuh perairan karena merangsang pertumbuhan ganggang. Ferro tinggi dalam air akan menimbulkan kerusakan seperti pengaratan atau kerusakan pada porselen. Dalam keadaan nirhawa, sulfur yangd alam rumah tangga sebagian besar berupa SO42- dapat direduksi oleh bakteri menjadi H2S yang menimbulkan bau sangat busuk. Begitu pula dengan nitrat, nitrit, dan amonia. Nitrit bisa menganggu pengangkutan oksigen bila mencemari air atau makanan yang kita konsumsi, utamanya bayi. Sebab, nitrit memiliki kemampuan untuk mengikat hemoglobin darah. Sementara jika dipandang dari sudut biologis, limbah RT ini berpotensi membawa jazad renik yang dapat membahayakan kesehatan, misalnya bakteri E. coli.

Hi.... Ngeri juga ya. Padahal, rumah tangga 'kan banyak sekali. Jadi, bayangkan sendiri bagaimana tercemarnya lingkungan kita. Memang, kerusakan lingkungan galibnya terjadi secara pelan-pelan tanpa kita meyadarinya. Begitu kita terlena, alam pun mengamuk. Nah, sebelum mengamuk, ada baiknya kita menjaga agar limbah yang keluar tadi sudah dalam keadaan aman."Bagaimana caranya," tukas Ani.Sebenarnya banyak yang dapat kita lakukan. Salah satunya secara biologis dengan menggunakan tanaman air yang dikenal dengan istilah bioremediasi. Ada keuntungan lain yang bisa kita petik jika menggunakan metode ini: penghijauan (meski dalam skala yang kuuuueeecil sekali). Tak apalah.Caranya gampang kok. Tampung semua aliran air dari beberapa sumber tadi ke sebuah kolam kecil berukuran 2 x 2 x 1 m. Ukuran ini sesungguhnya tidak baku karena disesuaikan denan banyaknya limbah yang harus ditangani. Semakin banyak tentunya semakin besar dan dalam kolamnya. Di dalam kolam ini kemudian kita tanami dengan empat jenis tanaman air yakni teratai (Nymphaea firecrest), mendong (Iris sibirica), kiambang (Salvinia sp.), dan hidrila (Hydrilla verticillata).Nah, biarkan empat sekawan itu yang menangani limbah RT. Kiambang bertugas menetralisisr limbah yang mengapung di permukaan air karena seluruh bagiannya mengambang di air. Limbah yang mengendap akan dibekap oleh hidrilla yang seluruh bagian tanamannya berada di dasar kolam. Limbah yang mencoba menyelinap di bagian tengah akan ditumpas oleh duo teratai dan mendong. Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa limbah RT yang sudah memperoleh perlakuan di kolam empat sekawan ini sudah memenuhi baku mutu air limbah.

Jika Anda tak yakin dengan hasil penelitian tadi, silakan uji sendiri dengan menebarkan ikan mas atau tawes ke kolam. Jika tidak ada yang mabuk, atau malah mati, berarti air sudah aman. Silakan saja dibuang atau dialirkan ke sumur resapan. Nah, ikan yang ada di kolam menjadi keuntungan lain dari metode ini. Mau dipelihara sampai tua monggo saja. Mau digoreng ya boleh-boleh saja.

Jangan dekat septic tank

Berhubung pekarangan rumah Anto masih luas ke belakang, maka air dari kolam bioremediasi itu dialirkan ke sumur resapan agar air tanah di sekitarnya selalu terjaga. Apalagi Pemda DKI sudah mengeluarkan peraturan daerah no. 17/1996 yang mewajibkan semua warganya untuk membuat sumur resapan.

Sumur resapan merupakan solusi termurah dan tercepat yang bisa diwujudkan. Tak perlu menunggu upaya Pemda yang mau merevitalisasi beberapa situ yang jumlahnya malah menyusut. Selain butuh biaya besar, beberapa situ sudah berubah menjadi areal permukiman atau pertanian. Di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi ada sekitar 54 situ yang sebagian besar kondisinya rusak atau berubah fungsi. Rusaknya situ itu terjadi akibat gulma dan pendangkalan sehingga fungsinya sebagai "lahan parkir air" terganggu.

Biaya membangun sumur resapan tidaklah besar. Soalnya kita hanya menggali tanah sedalam 3 m atau lebih, lalu diisi bebatuan, dan paling atas ijuk. Murah dan tidak sulit. Kalau sedikti bermodal, bisalah dibikin yang bagus dengan membuat tembok kerawang di setiap sisi sumur. Balitbang Permukiman dan Prasarana Wilayah (sekarang PU) sendiri mengeluarkan standar pembuatan sumur resapan ini (SNI: 032451991). Menurut SNI tersebut, ukuran sisi-sisinya 0,8 m hingga 1,4 m; diameter saluran masuk dan saluran pelimpahan (yang membuang kelebihan air yang tertampung di sumur resapan) 110 mm; kedalaman sumur 1,5 m hingga 3 m; dinding bata merah atau batako tidak berplester dengan ketebalan setengah bata dan campuran semen : pasir adalah 1 : 5; penutup menggunakan cor beton bertulang yang bisa dibuka tutup dengan ketebalan 10 cm, terbuat dari campuran 1 semen : 2 pasir : 3 kerikil; sedangkan bahan isian dari dasar ke atas adalah hancuran bata merah, berangkal, dan batu bulat ukuran sedang dengan ketebalan masing-masing 1/3 kedalaman sumur.

Banyak manfaat yang bisa dipetik dari pembuatan sumur resapan ini. Selain menambah tinggi permukaan air, sumur resapan juga menambah potensi air tanah. Akibat lainnya, mengurangi penyusupan air laut yang katanya sudah sampai di kawasan Sudirman, Jakarta. Kalau pembuatan itu ditaati oleh sebagian besar warga Jakarta, maka banjir besar yang pernah melumpuhkan Jakarta tahun 1996 niscaya tidak terjadi. Paling tidak enggak separah waktu itu. Soalnya, dengan banyaknya sumur resapan maka air hujan tidak langsung ngacir ke permukaan, tapi masuk ke liang tanah.

Nah, jika saat ini sedang membangun rumah seperti pasangan Anto dan Ani tadi atau pun memiliki pekarangan yang memungkinkan untuk membuat sumur resapan, segeralah mulai. Bagi pasangan Anto-Ani tentu lebih mudah membikinnya sebab bisa diletakkan di bawah bangunan. O, ya, penempatan sumur resapan ini sebaiknya jauh dari septic tank, minimal 10 m, agar bakteri yang berasal dari septic tank tidak merembes masuk ke dalam sumur resapan.