Find Us On Social Media :

Mari, Bikin Rumah Ramah Lingkungan

By Agus Surono, Minggu, 20 Maret 2011 | 01:10 WIB

Mari, Bikin Rumah Ramah Lingkungan

Kekeringan dan kebanjiran yang menerpa Jakarta tidak bisa dipungkiri akibat berubahnya lingkungan tempat tinggal warga. Hilangnya beberapa situ serta semakin luasnya tutupan daerah resapan membuat air hujan mengalir begitu saja tanpa meresap ke tanah. Akibatnya, saat hujan terjadi banjir sementara musim kemarau cadangan air di dalam tanah tidak ada. Warga Jakarat dapat mengurangi dampak tadi dengan - salah satunya - membuat sumur resapan.

Memiliki rumah sendiri tentunya dambaan setiap orang, apalagi bagi pasangan muda. Begitu pula yang terjadi dengan Anto dan Ani, pasangan yang baru dikarunia dua putra balita ini. Setelah hampir lima tahun menjadi kontraktor (maksudnya mengontrak rumah), pasangan muda itu mulai berharap dapat memiliki sebuah rumah. Mungil tak jadi soal, yang penting milik sendiri.

Mereka tidak begitu menyukai komplek perumahan meski dari segi fasilitas dan keamanan lebih bisa diandalkan. Trauma Ani yang dibesarkan di sebuah komplek perumahan yang hubungan antarpenghuninya cenderung lu-lu gue-gue membuat ia berkeinginan mencari rumah di perkampungan. Membaur dengan penduduk setidaknya membuatnya lebih nyaman.

Setelah berkeliling ke berbagai lokasi di pinggiran Jakarta, tambatan pasangan ini jatuh ke Condet, daerah cagar budaya. Berbagai informasi mereka kumpulkan, namun banyak yang tidak berlanjut. Maklum, dana untuk mencari rumah itu berasal dari pinjaman kantor Anto yang tentu saja mensyaratkan kelengkapan surat. Sementara dari berbagai informasi yang diperoleh tadi sebagian besar tidak lengkap surat-suratnya.

Putus asa dengan tidak diperolehnya rumah yang sesuai, Anto dan Ani akhirnya mencari tanah kosong. Betapa gembira mereka ketika menemukan tanah kosong seluas sekitar 200 m2 yang sudah bersertifikat. Lokasi sekitar masih banyak pepohonan sementara tetangganya sepertinya juga ramah. Setelah melalui proses jual-beli melalui notaris, tanah kosong itu berpindah kepemilikian. Pasangan ini pun kemudian merancang rumah yang akan mereka tempati bersama kedua putra balita mereka.Empat sekawan musuh limbah.

Untuk membangun rumah Anto mengajukan kembali dana pinjaman ke kantor. Syaratnya, harus ada ijin mendirikan bangunan (IMB). Enggak masalah, aku bisa mengurusnya kok, begitu batin Anto. Ternyata pengurusan tidak semudah yang dibayangkan Anto. Ia tidak mengerti bahwa tanahnya berada di daerah yang masuk kategori cagar budaya. Meski peraturan itu sudah dikeluarkan sejak lama, namun sejauh ini belum ada peninjauan sehingga menurut Anto peraturan itu sudah tidak relevan lagi. Bagaimana tidak, dalam peraturan itu disebutkan bahwa bangunan yang boleh didirikan di atas sebidang tanah haruslah maksimal 20% luasnya. Sementara ia yang sudah berkeliling Condet menemukan hampir semua rumah di sini menyalahi aturan itu.

Anto akhirnya masuk ke lingkaran pungli dan birokrasi yang berbelit-belit. Ia terkadang begitu gemes sekaligus mangkel melihat kinerja aparat kecamatan tempat ia mengurus IMB. Untuk pekerjaan yang jelas-jelas sudah menjadi kewajibannya, petugas kecamatan meminta sejumlah uang. Jika tidak maka prosesnya akan dipersulit dan memakan waktu lama. Anto dilema, di satu sisi ia ingin segera memiliki rumah sendiri, di sisi lain ia ingin memberi pelajaran kepada aparat kecamatan yang tak punya nurani itu. Akhirnya ia mengambil jalan tengah dengan melakukan negosiasi. Ia memperoleh potongan sekitar 25% dari harga resmi. Setelah hampir tiga bulan, IMB itu pun keluar. Lega campur dongkol perasaan Anto. Namun perasaan itu dikesampingkan dulu karena ia berkonsentrasi pada rumah yang sebentar lagi akan diwujudkannya.

Atas bantuan teman sewaktu kuliah yang kini menjadi arsitek di Kota Bandung, Anto menumpahkan segala keinginan dan bayangan sebuah rumah idealnya. Ia benar-benar menaati aturan cagar budaya yang telah ditetapkan pemda Jakarta tentang kawasan Condet. Konsekuensinya ia harus membangun dua lantai. Ruang tamu dan ruang makan terpaksa ia keluarkan dan ditempatkan di teras depan dan belakang. Toh ia jarang menerima tamu, kalaupun ada umumnya keluarga dekat yang selalu ia terima di ruang keluarga selama ia mengontrak. Sedangkan ruang makan menurutnya mubazir karena mereka jarang makan bersama, kecuali hari libur. Sebagai gantinya ia membuat pantry yang dilengkapi dengan meja makan mini. Selain luasan maksimum, yang ditepati lainnya dari peraturan cagar budaya adalah membangun sumur resapan. Bahkan ia menambahkan satu bagian yang berhubungan dengan lingkungan: pengolah limbah.

Lo, memangnya Anto mau membangun industri rumahan, kok ada pengolah limbah segala?

"Lo, memangnya rumah tidak mengeluarkan limbah?" Anto balik bertanya.

Ya tentu saja setiap rumah membuang limbah. Namun 'kan sudah ada septic tank dan tukang sampah yang menanganinya. Benar! Namun, ada limbah yang luput dari perhatian kita dan lalu dengan entengnya kita membuangnya ke selokan. Padahal, jika diteropong lebih dekat, limbah ini berpotensi mengganggu lingkungan juga.

Mari kita tengok acara harian yang sering kita lakukan di dalam rumah, yakni mandi dan mencuci peralatan memasak. Nah, perhatikan baik-baik data berikut ini. Suhu limbah tadi itu umumnya berkisar antara 25oC dan 50oC. Jadi, berada di atas suhu normal. Lalu kekeruhan limbah rumah tangga (RT) juga cukup tinggi, sebanding dengan kadar bahan yang terlarut di dalamnya. pH limbah juga cenderung rendah, yang berarti bersifat asam. Sudah begitu, kadar oksigen terlarut limbah RT rendah. Belum dengan banyaknya kandungan bahan organik dan anorganik sehingga chemical oxygen demand (COD) limbah RT umumnya tinggi.