Find Us On Social Media :

Jadi Eksil Setelah Peristiwa 30 September 1965, Sosok Ini Kepengin Dikubur Di Indonesia Kelak Jika Tiada

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 30 Agustus 2023 | 17:17 WIB

Terpaksa menjadi eksil setelah peristiwa 30 September 1965, Siswartono masih berharap bisa dimakamkan di Indonesia. Dia juga ingin stigma negatif atas dirinya dihilangkan.

Terpaksa menjadi eksil setelah peristiwa 30 September 1965, Siswartono masih berharap bisa dimakamkan di Indonesia. Dia juga ingin stigma negatif atas dirinya dihilangkan.

Intisari-Online.com - Siswartono Sarodjo menjadi salah satu eksil yang gagal kembali ke Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965.

Kepada Menkopolhukam Mahfud MD, Siswartono sangat ingin dimakamkan di Indonesia jika kelak sudah tiada.

Tak hanya itu, sosok berusia ini juga mempertanyakan bagaimana pemerintah Indonesia mengatasi stigma negatif terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu seperti dirinya.

Dikutip dari Kompas.com, sebagian besar eksil 1965 adalah Mahasiswa Ikatan Dinas yang dikirim pemerintahan Soekarno untuk sekolah di luar negeri.

Tapi mereka tak bisa pulang setelah Soeharto berkuasa.

Sis, panggilan akrab Siswartono, bercerita, selama 30 tahun masyarakat Indonesia didoktrin setiap hari bahwa para Mahid melawan pemerintah dan belajar di negara komunis.

“Harapan saya ada suatu upaya dari pemerintah yang kontinu dan terus menerus mengadakan sosialisasi supaya ini berubah,” ujar Sis, panggilan akrab Siswartono dalam pertemuan di Praha, Republik Ceko, Senin (28/8/2023) waktu setempat yang disiarkan secara virtual.

Dalam pertemuan itu, hadir Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly.

Pemerintah Indonesia, melalui Mahfud dan Yasonna berupaya memulihkan hak konstitusional para korban eksil 1965.

Di antaranya adalah memberikan layanan keimigrasian khusus hingga bantuan alih status kewarganegaraan kepada para eksil yang ingin kembali, meninggal, dan dimakamkan di tanah air.

Secara terang-terangan, Sis mengaku bahwa stigma negatif terhadap dirinya masih ada hingga sekarang.

“Saya mengatakan ini karena saya merasa di keluarga saya pun ada,” ujar Sis.

Sis ternyata pernah bertanya kepada saudara kandung ayah dan ibunya soal apakah bisa dia dikubur di Indonesia.

Alih-alih menjawab, saudara Sis hanya bisa diam.

Kemudian, keluarga istri kakaknya, yang berpangkat jenderal menjawab dengan enteng.

Namun, jawaban itu sekaligus memuat stigma buruk terhadap Sis yang pernah dicap melawan negara.

“Dia jawab, ‘Lho, mas, di Eropa kan biasa kremasi itu. Tabur saja di laut nanti kan sampai ke indonesia.’ Itu jawaban mereka,” ujar Sis kecut.

Menurut Sis, persoalan stigma itu merupakan problem generasi yang tidak bisa tuntas dalam waktu singkat.

Sis pun berhadap terdapat kejelasan terkait persoalan sosial masyarakat ini karena menyangkut keturunan para korban eksil 1965.

“Ini problem yang saya harapkan supaya pemerintah menangani dan ini problem yang tidak selesai besok pagi satu minggu saja. Ini problem generasi,” tuturnya.

Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD mengklaim, stigma buruk terhadap eksil 1965 menjadi hilang dengan adanya tindakan pemerintah memulihkan hak mereka sebagai korban.

Menurut Mahfud, saat ini sudah tidak ada lagi sikap diskriminasi yang melarang masyarakat tertentu untuk berkegiatan karena dituding terafiliasi dengan kelompok kiri seperti PKI dan Gerwani.

Pada kesempatan tersebut, Mahfud juga berkali-kali menyatakan korban eksil 1965 tidak bersalah kepada negara.

"Anda adalah warga negara, anda adalah pecinta Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan anda tidak pernah bersalah kepada negara ini (Indonesia),” kata Mahfud dalam pertemuan yang disiarkan secara virtual.

“Nah iya kan, sudah pernyataan dari pemerintah (korban eksil 1965 tidak bersalah),” tambah Mahfud.

Adapun kebijakan bagi korban eksil 1965 ini merupakan implementasi dari perintah presiden Joko Widodo agar untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu secara non yudisial, tanpa menghentikan proses hukum.

Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, saat ini terdapat eks Mahid 139 orang.

Sebanyak 138 di antaranya tersebar di 10 negara Eropa dan satu orang lainnya di Asia.

Korban eksil 1965 paling banyak menetap di Belanda dengan jumlah 67 orang, disusul Ceko 14 orang.

Di Rusia, terdapat 1 orang korban eksil 1965 namun ada 38 orang keturunan eksil. Di luar Eropa, satu-satunya eks Mahid tinggal di Suriah.