Sultan Hamid II
Sultan Hamid II adalah penguasa Kesultanan Pontianak yang berdiri sejak 1771.
Ia adalah salah satu anggota BFO yang mewakili negara-negara federal di Indonesia yang dibentuk oleh Belanda sebagai lawan dari Republik Indonesia.
Sultan Hamid II dikenal sebagai tokoh yang pro-Belanda dan anti-Republik.
Baca Juga: Keuntungan dan Kerugian Bangsa Indonesia Berdasarkan Hasil KMB
Ia bahkan pernah menyatakan bahwa ia lebih memilih menjadi warga negara Belanda daripada menjadi bagian dari RIS.
Ia juga menolak untuk mengibarkan bendera merah putih di wilayahnya dan mengancam akan memisahkan diri dari RIS jika Irian Barat diserahkan kepada Indonesia.
Sultan Hamid II juga terlibat dalam beberapa aksi konspirasi dan pemberontakan melawan pemerintah Indonesia.
Pada tahun 1950, ia diduga bersekongkol dengan Raymond Westerling, seorang mantan perwira Belanda yang memimpin pasukan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) untuk melakukan serangan terhadap kota Bandung dan Jakarta.
Tujuan dari serangan ini adalah untuk menggulingkan pemerintah RIS dan mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Namun, rencana ini gagal karena ditangkapnya Westerling oleh tentara Indonesia.
Pada tahun 1952, Sultan Hamid II kembali terlibat dalam upaya pembunuhan terhadap beberapa menteri kabinet Indonesia, termasuk Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX.
Ia bekerja sama dengan seorang pengusaha asal Singapura bernama Loa Sek Hie, yang juga merupakan anggota Partai Nasionalis Tionghoa Indonesia (Baperki).
Mereka berencana untuk meledakkan pesawat yang membawa para menteri tersebut saat mereka melakukan kunjungan ke Kalimantan Barat.
Namun, rencana ini juga gagal karena adanya informasi bocor dari salah satu anggota komplotan.
Akibat dari perbuatannya, Sultan Hamid II ditangkap dan diadili oleh pengadilan militer pada tahun 1954.
Baca Juga: Siapakah Tokoh-tokoh yang Terlibat dalam KMB? Inilah Delegasi dari Indonesia dan Belanda dalam KMB
Ia dinyatakan bersalah atas tuduhan makar dan pembunuhan berencana, dan dijatuhi hukuman mati.
Namun, hukuman ini kemudian dikurangi menjadi hukuman seumur hidup oleh Presiden Soekarno.
Sultan Hamid II meninggal dunia pada tahun 1978 di dalam penjara.
Amir Sjarifuddin
Amir Sjarifuddin adalah seorang tokoh politik dan militer yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia pada tahun 1947-1948.
Ia juga merupakan salah satu pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Amir Sjarifuddin dikenal sebagai tokoh yang berhaluan kiri dan pro-Soviet.
Amir Sjarifuddin memiliki peran penting dalam perundingan-perundingan dengan Belanda sebelum KMB, seperti Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville.
Ia mewakili pihak Republik dalam menandatangani kedua perjanjian tersebut, yang dianggap sebagai bentuk kompromi dan pengorbanan terhadap kedaulatan Indonesia.
Perjanjian Linggarjati mengakui pembentukan negara-negara federal di Indonesia yang pro-Belanda, sementara Perjanjian Renville menyerahkan sebagian besar wilayah Indonesia kepada Belanda.
Kedua perjanjian ini menimbulkan kontroversi dan kritik dari berbagai pihak, termasuk dari Soekarno dan Hatta.
Amir Sjarifuddin juga terlibat dalam peristiwa Madiun pada tahun 1948, yang merupakan sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh PKI dan sayap kiri PSI di bawah pimpinan Musso.
Baca Juga: Hasil Konferensi Meja Bundar dan Makna KMB Bagi Bangsa Indonesia
Pemberontakan ini bertujuan untuk menggulingkan pemerintah Republik yang dianggap terlalu lunak terhadap Belanda dan menggantinya dengan pemerintah revolusioner yang berhaluan komunis.
Amir Sjarifuddin diduga sebagai salah satu dalang di balik pemberontakan ini, meskipun ia sendiri membantahnya.
Ia juga sempat ditawari oleh Musso untuk menjadi pemimpin pemerintahan baru, tetapi ia menolaknya.
Pemberontakan Madiun berhasil dipadamkan oleh tentara Republik yang loyal kepada Soekarno dan Hatta.
Amir Sjarifuddin berhasil melarikan diri dari Madiun dan bersembunyi di pegunungan.
Namun, ia akhirnya tertangkap oleh tentara Republik pada bulan Desember 1948.
Ia kemudian diadili oleh pengadilan militer dan dijatuhi hukuman mati. Ia dieksekusi pada tanggal 19 Desember 1948.