Penulis
Intisari-online.com - Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno atau Bung Karno membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.
Pembacaan teks proklamasi tersebut menjadi momen bersejarah yang mengakhiri penjajahan Belanda dan Jepang selama lebih dari tiga setengah abad.
Namun, tidak banyak yang tahu bahwa di balik momen sakral tersebut, Bung Karno sedang menderita penyakit malaria yang kambuh.
Penyakit Kambuhan Sejak Kecil
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk anopheles.
Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi, menggigil, berkeringat, sakit kepala, dan lemas. Malaria bisa berakibat fatal jika tidak diobati dengan tepat.
Bung Karno sudah mengidap malaria sejak kecil. Penyakit ini sering kambuh dan membuatnya harus beristirahat di tempat tidur selama berhari-hari.
Bung Karno bahkan sempat mengganti namanya dari Kusno menjadi Soekarno karena orang tuanya percaya bahwa nama Kusno membawa sial dan penyakit.
Penyakit malaria tidak menghalangi Bung Karno untuk terlibat dalam pergerakan nasional melawan penjajah.
Bung Karno menjadi salah satu pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927 dan menjadi pemimpin pergerakan nasional yang karismatik dan berwibawa.
Bung Karno juga dikenal sebagai orator ulung yang mampu membangkitkan semangat rakyat Indonesia.
Namun, perjuangan Bung Karno tidak mudah.
Ia harus berhadapan dengan tekanan dan ancaman dari pihak penjajah.
Bung Karno pernah ditangkap, diadili, dan dibuang ke berbagai tempat oleh pemerintah kolonial Belanda.
Salah satu tempat pembuangan yang paling berkesan bagi Bung Karno adalah Ende, Flores.
Baca Juga: Sosok Sayuti Melik, dari Pembuangannya ke Boven Digul hingga Menjadi Pengetik Naskah Proklamasi
Menderita di Ende
Bung Karno dibuang ke Ende pada tahun 1933 bersama istrinya, Inggit Garnasih.
Di sana, ia tinggal di sebuah rumah sederhana yang tidak memiliki fasilitas yang memadai.
Bung Karno juga harus menjalani pengawasan ketat dari pihak Belanda.
Di Ende, penyakit malaria Bung Karno kambuh dengan parah.
Ia sering demam tinggi dan merasa lemas. Ia bahkan sempat dirawat di rumah sakit selama berminggu-minggu.
Dokter yang merawatnya mengatakan bahwa Bung Karno mendekati ajalnya karena malaria.
Bung Karno juga merasa stres dan tertekan karena tidak bisa berkomunikasi dengan rekan-rekannya di pergerakan nasional.
Ia merasa terisolasi dan terputus dari dunia luar. Ia juga khawatir dengan nasib bangsanya yang masih terjajah.
Namun, Bung Karno tidak menyerah begitu saja. Ia tetap memiliki tekad kuat untuk memerdekakan Indonesia.
Ia juga mendapatkan dukungan dan semangat dari istrinya, Inggit Garnasih, yang selalu setia menemani dan merawatnya.
Bung Karno juga mencurahkan pikiran dan perasaannya dalam tulisan-tulisan yang kemudian dikenal sebagai Di Bawah Bendera Revolusi.
Baca Juga: Peristiwa Penyusunan Naskah Proklamasi di Rumah Laksamana Maeda, Ini Fakta dan Mitosnya
Bangkit dari Sakit
Setelah tiga tahun di Ende, Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu pada tahun 1936.
Di sana, ia bertemu dengan Fatmawati, seorang perempuan muda yang kemudian menjadi istrinya yang kedua.
Fatmawati juga berperan penting dalam membantu Bung Karno sembuh dari malaria.
Pada tahun 1942, Jepang menginvasi Indonesia dan menggulingkan pemerintahan Belanda.
Bung Karno dan para pemimpin nasional lainnya dibebaskan dari pembuangan dan dimanfaatkan oleh Jepang untuk mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia.
Bung Karno melihat peluang ini sebagai kesempatan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Bung Karno terlibat dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Jepang, seperti Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Bung Karno juga aktif berpidato di depan rakyat Indonesia untuk menyampaikan visi dan misi kemerdekaan.
Namun, aktivitas-aktivitas ini juga menimbulkan ketegangan dan tekanan bagi Bung Karno.
Ia harus berhadapan dengan berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan pandangan yang berbeda tentang kemerdekaan Indonesia.
Ia juga harus berhati-hati dengan sikap Jepang yang tidak sepenuhnya mendukung kemerdekaan Indonesia.
Akibatnya, penyakit malaria Bung Karno kembali kambuh pada tahun 1943.
Ia harus dirawat di rumah sakit selama berminggu-minggu.
Ia juga menderita penyakit ginjal yang membuatnya sering merasakan sakit yang tidak tertahankan.
Ia bahkan pernah tidak bisa berdiri tenang di atas podium saat berpidato.
Membacakan Teks Proklamasi
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang secara resmi menyerah tanpa syarat kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom.
Hal ini menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia dan membuka peluang bagi rakyat Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Bung Karno dan Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai dwi tunggal, menjadi tokoh sentral dalam proses proklamasi.
Mereka didesak oleh para pemuda, seperti Chaerul Saleh, Wikana, dan Sukarni, untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu persetujuan dari Jepang.
Namun, Bung Karno dan Hatta tetap berhati-hati dan ingin menghindari pertumpahan darah.
Mereka juga ingin mendapatkan pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia.
Mereka memutuskan untuk menunda proklamasi hingga tanggal 18 Agustus 1945.
Namun, para pemuda tidak sabar dan mengambil tindakan drastis.
Mereka menculik Bung Karno dan Hatta pada malam tanggal 16 Agustus 1945 dan membawa mereka ke Rengasdengklok, Karawang.
Di sana, mereka membujuk dan mendesak Bung Karno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Pada malam itu juga, suhu tubuh Bung Karno tinggi karena malaria.
Namun, ia tetap ikut begadang bersama para pemuda untuk merumuskan teks proklamasi. Ia juga sempat disuntik oleh dokter agar bisa bertahan.
Pada pagi tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Hatta dibawa kembali ke Jakarta.
Mereka menuju ke rumah Laksamana Maeda, seorang perwira tinggi Jepang yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia.
Di sana, mereka menyelesaikan teks proklamasi dengan bantuan Sayuti Melik.
Teks proklamasi kemudian ditulis ulang oleh Soebagijo Hadisoeprapto dengan tulisan tangan yang rapi.
Teks proklamasi tersebut terdiri dari dua versi: versi klad (naskah asli) dan versi otentik (naskah resmi).
Versi otentik ditandatangani oleh Bung Karno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden pertama Republik Indonesia.
Setelah itu, Bung Karno dan Hatta menuju ke Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta, tempat tinggal Soewirjo, seorang anggota PPKI.
Di sana, mereka disambut oleh ratusan orang yang sudah menanti-nanti kabar.