Cerita Panembahan Senopati Menunggu Kematian Sultan Pajang Di Laweyan, Sejarawan Belanda Menyebutnya Pengepungan

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Serat Kandha menyebut Panembahan Senopati menunggu kematian Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, di makam kakeknya, Ki Ageng Henis, di Laweyan.

Serat Kandha menyebut Panembahan Senopati menunggu kematian Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, di makam kakeknya, Ki Ageng Henis, di Laweyan.

Intisari-Online.com -Setelah pertempuran di Prambanan, Panembahan Senopati ternyata memilih untuk tidak kembali dulu ke Mataram.

Sebaliknya, bersama sebagian kecil pasukannya, dia memilih untuk mengikuti ke mana Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tigkir, melangkah.

Dengan kata lain, dia terus mengejar rombongan Sultan Pajang yang sedang sakit itu.

Terkait pengejaran itu diceritakan dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, seperti dikutip dari Awal Kebangkitan Mataram.

Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan:

Dari kejauhan Senapati bersama 40 orang penunggang kuda mengikuti iring-iringan Sultan dengan santun.

Karena melihat Senopati hanya dikawal sejumlah kecil pasukan, Pangeran Benawa berhasrat menyerangnya.

Tapi niat itu dilarang oleh Jaka Tingkir.

Menurutnya, cara Senppati mengikutinya dari belakang menunjukkan sikap yang hormat.

Sultan juga berpesan supaya Benawa tetap bersahabat dengan Senopati, bahkan harus mematuhinya.

Sultan yang sakitnya semakin parah akhirnya tiba di Pajang, sementara Senopati memilih untuk berkubu di Mayang, desa iparnya.

Dan tetap, Senopati masih tidak mau menghadap Sultan, juga enggan balik ke Mataram.

Dia ingin tetap tinggal di Mayang sembari menunggu takdir Allah.

Senopati juga menyuruh abdinya membeli kembang selasih dalam jumlah yang banyak.

Nantinya, kembang-kembang itu akan ditaruh di pintu barat alun-alun Pajang.

Versi Serat Kandha juga tak terlalu berbeda.

Cuma, yang hendak menyerang Senopati bukan Benawa melainkan Adipati Tuban yang sepertinya punya dendam pribadi kepada Senopati.

Soal tempat berkemah, Serat Kandha menyebut Senopati berkubu di Laweyan, persisnya di makam kakeknya, Ki Ageng Henis, alih-alih di Mayang.

Di situ Senopati bermimpi bahwa Sultan Pajang tak lama lagi akan meninggal dunia.

Karena itulah dia memerintah anak buahnya membeli kembang selasih dan menumpuknya di pintu samping.

Soal dua tempat kemah yang berbeda, H.J. De Graaf punya kesimpulan yang menarik.

Dia bilang begini:

"Keterangan yang bertentatangan mengenai tempat perkemahan Senapati, Mayang atau Laweyan, bisa dipadu sedemikian rupa sehingga bisa dianggap sebagai suatu pengepungan atau blokade terhadap Keraton Pajang."

Dugaan De Graaf itu diperkuat dengan keengganan Senopati untuk menghadap kepada Sultan Pajang meskipun dia sudah menghadapi akhir hayatnya.

Dan kembang selasih, tambah De Graaf, adalah lambang dukacita sekaligus ejekan Senopati kepada Pajang.

Artikel Terkait