Penulis
23 Juli 2001, Megawati Soekarnoputri menjadi perempuan pertama yang menjadi presiden Indoesia. Dia menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dilengserkan.
Intisari-Online.com -23 Juli 2001, tepat 22 tahun yang lalu, Megawati Soekarnoputri membuat sejarah.
Untuk pertama kalinya, putri Bung Karno Sang Proklamator, menjadi wanita pertama yang menjabat sebagai presiden Indonesia.
Bahkan hingga saat ini, belum ada seorang wanita lagi yang naik menjadi orang nomor satu di negara kepulauan terbesar di dunia ini.
Pada 23 Juli 2001,Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri dilantik sebagai Presiden Indonesia, menggantikan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Pelantikan itu tepat pada hari Senin.
Meski begitu, pelantikan itu tak disambut dengan penuh suka cita oleh pendukungnya.
"Kemenangan Mega Disambut Tenang" begitu judul yang dibuat Harian Kompas pada 24 Juli 2001.
Di kantor DPP PDI-P di Pecenongan, Jakarta, tak ada kegiatan mencolok.
Hanya ada sekitar 30 satuan tugas (satgas) yang mengamankan kantor mereka.
"Tidak ada perintah khusus berkaitan dengan pelantikan Ibu Mega. Setiap warga PDI-P hanya diminta untuk menjaga lingkungan masing-masing," kata Richard GE Tulis, Ketua DPD PDI-P Jakarta Pusat yang sedang mengoordinasikan para anggota satgas kala itu.
Yang lebih penting adalah mencegah supaya tidak terjadi kericuhan akibat pancingan pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Kita tentu saja gembira dengan pengangkatan Mbak Mega. Hanya, seperti pesan Mbak Mega, kegembiraan ini tidak boleh ditunjukkan secara berlebihan," kata Henny Kumbariyam (37), Wakil Sekretaris DPD PDI-P DKI Jakarta yang ditemui di Posko PDI-P di kawasan Karet.
Di posko itu, simpatisan PDI-P sejak pukul 08.00 mengikuti jalannya SI MPR dari siaran televisi atau radio.
Diseling jeda maghrib, di panggung yang mereka dirikan, sebuah grup band mengiringi para penyanyi dari utusan cabang PDI-P Jakarta Pusat.
Sekitar 100 orang menikmati hiburan yang disajikan.
Bagi Jimmy Aryana Semeth (43), korban kasus 27 Juli yang ditemui di bekas kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, kemenangan Megawati ini terasa biasa-biasa saja dan tidak perlu dirayakan secara berlebihan.
"Memang sudah haknya meski saya lebih senang Mbak Mega jadi presiden tahun 1999 atau 2004 sekalian."
Bagaimanapun juga, iklim politik yangmewarnai pelantikan Megawati kala itu memang tak elok untuk dirayakan dengan penuh kegembiraan.
Di Istana Negara Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dilengserkan MPR tengah meradang.
Dia tidak menerima keputusan MPR yang mencabut mandatnya sebagai presiden.
Relasi personal para tokoh reformasi memanas.
Hubungan baik Gus Dur dan Megawati meruncing.
Amien Rais yang semula menolak Megawati sebagai presiden berbalik angin.
Situasi politik dan ekonomi pasca-reformasi juga terasa tidak menentu akibat kepemimpinan Gus Dur yang penuh kontroversi.
Gus Dur berseteru hebat dengan DPR saat menyebut DPR seperti taman kanak-kanak.
Gus Dur pun sempat mengeluarkan dekrit pembubaran DPR.
Manuver Gus Dur disambut dingin.
Mahkamah Agung memutuskan dekrit yang dikeluarkan Gus Dur bertentangan dengan hukum.
Hingga kemudian,parlemen yang berseberangan dengannya bersatu kubu dengan Megawati, yang saat itu ada Wakil Presiden.
Gus Dur ditinggal pergi, sendiri.
Itulah kenapa kemenangan Mega atas kursi presiden berlangsung sunyi.
Terlepas dari itu, perjalanan Megawati menjadi orang nomor satu di Indonesia jauh dari kata mulus.
Dua tahun sebelum pelantikan itu, Megawati sebenarnya adalah sosok yang dielu-elukan sebagai presiden pengganti BJ Habibie.
Dia disebut sebagai simbol perlawanan terhadap Orde Baru yang tumbang pada 21 Mei 1998.
Menjelang kejatuhan Orde Baru, Megawati berhasil menguasai Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan mengubahnya menjadi PDI Perjuangan (PDI-P).
Dukungan untuk Mega sebagai bentuk perlawanan terhadap Soeharto kala itu tak terbendung.
Sayangnya, di Pemilu 1999 Megawati gagal jadi presiden.
Padahal, saat itu PDI-P menjadi partai pemenang setelah meraih sekitar 36 juta suara atau hampir 34 persen.
Saat itu presiden belum dipilih langsung oleh rakyat, masih dipilih oleh MPR.
Pemilihan presiden yang dilakukan MPR diwarnai tarik-menarik kepentingan.
Ada dua kubu yang bersaing di MPR, yaitu PDI-P dan kubu Partai Golkar yang dinilai sebagai pewaris Orde Baru.
Amien Rais yang kala itu masih memimpin Partai Amanat Nasional (PAN) mulanya satu kubu dengan Mega sebagai penggerak reformasi.
Namun, ia “menelikung” Mega di tengah jalan dengan membentuk Poros Tengah.
Poros Tengah terdiri dari partai-partai Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa, PAN, Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan (sekarang menjadi PKS).
Mereka menolak Megawati menjadi presiden dengan alasan jender.
PPP dan PK tetap pada pendiriannya menolak presiden dari kalangan perempuan.
Menurut Ketua Umum PPP Hamzah Haz, PPP berpegang pada fatwa ulama yang tidak memperbolehkan wanita menjadi presiden.
"Kalau Mbak Mega jadi presiden, kami tidak bersedia duduk dalam pemerintahan," kata Hamzah kala itu.
Poros Tengah pun mengantarkan Gus Dur sebagai presiden, mengalahkan Megawati dalam voting MPR.
Gus Dur meraih 373 suara, sementara Megawati 313 suara.
Kendati demikian, Megawati berbesar hati dan tetap menjalani peran sebagai wakil presiden.
Namun, pada 2001 dinamika politik berbalik arah.
Amien Rais yang saat itu merupakan Ketua MPR memotori Sidang Istimewa yang berujung pada jatuhnya Gus Dur.
Megawati pun naik menjadi presiden merebut takdirnya yang tertunda.
Dan, Hamzah Haz yang semula menolak Megawati tak lagi buka suara saat MPR memilihnya mendampingi Megawati sebagai wakil presiden.
Megawati Soekarnoputri pun menjadi wanita pertama yang menjadi presiden Indonesia.