Penulis
Raja Mataram Islam Pakubuwono II punya utang budi kepada Kiai Ageng Muhammad Besari, ulama dari Tegalsari, selama pelarian ke Ponorogo.
Intisari-Online.com -Serbuan laskar Jawa-Tionghoa yang dipimpin Sunan Kuning alias Raden Mas Garendi membuat raja Mataram Islam Pakubuwono II mengungsi.
Keraton Kartasura pun berhasil diduduki pasukan Sunan Kuning yang juga dikenal sebagai Amangkurat V.
Ketika melarikan diri, Pakubuwono II hanya dikawal segelintir pasukan dan petugas VOC.
Tujuan pertamanya adalah Madiun.
Di sana Pakubuwono IImengumpulkan para pendukungnya tapi tak menghasilkan sesuatu yang berarti.
Setelah sekian lama di Madiun, Pakubuwono II bergeser ke Ponorogo.
Dan di Ponorogo inilah Raja berhasil menghimpun kekuatannya kembali.
Di sisi lain, Cakraningrat IV, salah satu sekutu Pakubuwono II, dan pasukannya berhasil mengusir Amangkurat V dari Kartasura.
VOC pun mengangkat kembali Pakubuwono II sebagai raja Mataram Islam.
Tapi karena kondisi Keraton Kartasura sudah rusak parah akibat serangan laskar Jawa-Tionghoa, Pakubuwono II memutuskan membangun keraton baru.
Menurut kepercayaan, sebuah istana kerajaan yang sudah rusak akibat peperangan dianggap tak punya wahyu keprabon lagi.
Dengan kata lain, ia sudah tak layak lagi menjadi pusat pemerintahan.
Setelah melakukan serangkaian pencarian, dipilihlah Sala sebagai lokasi keraton baru.
Pada 17 Februari 1745, keraton baru di Desa Sala itu secara resmi digunakan sebagai ibu kota baru Mataram Islam.
Kelak, kita mengenal tempat itu sebagai Surakarta.
Ketika dalam pelarian ke Ponorogo, Pakubuwono II bertemu dengan Kiai Ageng Muhammad Besari, seorang ulama kharismatik di Desa Tegalsari.
Kedatangan itu ternyata berdasarkan saran dari sejumlah orang dekat sunan.
Dia memohon kepada Kiai Ageng supaya menjadi perantara antara dirinya dengan Allah.
Pakubuwono II juga memintanya berdoa supaya mendapatkan kembali takhtanya yang direbut Raden Mas Garendi sang Amangkurat V.
Tak sekadar meminta, sunan juga bersumpah, jika takhtanya kembali, dia akan menjadikan Tegalsari sebagai pusat dan tempat rujukan belajar Islam di Mataram.
Sunan juga akan menyerahkan pengaturan desa kepada Kiai Ageng dan keturunannya.
Lebih dari itu, Tegalsari akan dijadikan desa perdikan, yang dibebaskan dari membayar pajak dan pengiriman upeti.
Tak lama kemudian, seperti disebut di atas, Amangkurat V berhasil diusir dari Keraton Kartasura, dan Pakubuwono II mendapatkan kembali takhtanya.
Dia pun menepati janjinya kepada Kiai Ageng Muhammad besar, syaratnya Kiai Ageng tetap mengajar ajaran Nabi Muhammad.
Status Desa Tegalsari sebagai desa Perdikan bahkan bertahan hingga wilayah Ponorogo dan sekitarnya dikuasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1830.