Kirab Pusaka Di Keraton Mataram Surakarta Ternyata Baru Dilaksanakan Di Masa Orde Baru, Presiden Soeharto Yang Minta

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Mataram Surakarta berawal dari permintaan Presiden Soeharto supaya terhindar dari marabahaya.

Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Mataram Surakarta berawal dari permintaan Presiden Soeharto supaya terhindar dari marabahaya.

Intisari-Online.com -Tak banyak yang tahu, kirab pusaka yang dilakukan di Keraton Mataram Surakarta tiap Malam 1 Suro ternyata belum lama dilakukan.

Artinya, tradisi ini ternyata belum dilakukan pada masa Sultan Agung, pencetus Penanggalan Jawa.

Begitu kata Tunjung W Sutirto, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS).

Selain kirab pusaka, ada sejumlah ritual juga mitos yang dipercaya masyarakat Jawa, khususnya di lingkungan Keraton Mataram Surakarta, menyambut Malam 1 Suro.

Salah satu mitos itu adalah pensakralan 1 Suro.

Malam satu Suro umumnya diperingati pada malam hari setelah Maghrib sehari sebelum tanggal 1 Sura atau 1 Muharam.

MenurutTundjung, perkembangan mitos malam satu Suro terjadi secara akumulatif.

Mitos ini berawal dari pensakralan yang dilakukan masyarakat Jawa terkait penggabungan kalender Islam dan Jawa (Hindu) sebagaimana asal-usul malam satu Suro.

"Jadi momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa sehingga masyarakat menganggap malem Suro adalah sakral karena adanya penggabungan itu akan menentukan perhitungan (dalam bahasa Jawa: petangan)," jelasnya.

Dia menambahkan, sifat sakral itulah yang menuntun masyarakat Jawa sebagai pendukung budaya "meluhurkan" sebuah pergantian tahun dengan "laku spiritual".

Dari situ, muncul mitos untuk tidak bepergian jauh tanpa tujuan, tidak menyelenggarakan pernikahan, tidak pindah rumah, dan tidak keluar rumah.

"(Itu) mitos yang mensakralkan pergantian tahun baru Jawa," kata Tundjung.

Perkembangan mitos tidak dapat disebut sebagai momentum, kata Tundjung.

Menurutnya,mitos itu berkembang secara akumulatif, yaitu dalam makna sesuai konteks zamannya oleh pemangku kebudayaan.

"Kalau dicari mulai kapan tentu sejak Sultan Agung menciptakan penggabungan kalender Saka dengan Islam pada Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555," kata Tundjung.

"Ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M."

Dia mencontohkan,tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta yang digelar setiap malam satu Suro bukan merupakan tradisi yang berlangsung sejak kerajaan Mataram ada.

Tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta baru terjadi pada 1974.

Ketika itu Presiden Soeharto meminta kepada Paku Buwono XII untuk melakukan kirab pusaka dengan tujuan agar bangsa Indonesia terhindar dari bencana.

Kendati demikian, semua mitos yang berkembang dan diyakini orang Jawa substansinya adalah pengendalian diri.

"Semua mitos tentang malem Suro adalah pantangan untuk bersenang-senang. Tuntunan yang diwarisi dari para leluhur adalah sebuah cipta rasa dan karsa bagaimana terjadinya penanggalan Jawa yang merupakan penggabungan kalender Islam dengan Jawa (Hindu)," kata Tundjung.

Kenapa malam satu Suro tidak boleh keluar, Tundjung menjelaskan, itu juga merupakan salah satu mitos yang diyakini masyarakat Jawa.

"Itu juga sebuah mitos. Disarankan lebih baik tidak keluar rumah jika tidak perlu," kata Tundjung.

Legitimasinya adalah, kalau keluar rumah akan sial karena diyakini akan bertemu dengan pasukan dari Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) yang tengah menuju ke keraton atau ke Gunung Merapi.

"Zaman dahulu setiap malem Suro auranya mistis karena berbagai mitos pantangan keluar rumah itu," ungkap Tundjung.

Namun, mitos ini justru berbanding terbalik dengan tradisi keraton yang menggelar kirab di tengah malam hari.

Menurut Tundjung, tradisi ini ada kaitannya dengan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Abiproyo, yaitu perjanjian antara Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul.

Disebutkan bahwa Nyai Roro Kidul akan membantu kerajaan Mataram dari musuh.

"Maka, ketika masyarakat Jawa malam Suro itu ke keraton dianggap sebagai kawula Mataram yang akan terlindungi dari marabahaya dibandingkan jika hanya keluar rumah tanpa tujuan," tandas Tundjung.

Artikel Terkait