Penulis
Perjanjian Roem-Royen ternyata membutuhkan kehadiran Mohammad Hatta dan Hamengkubuwono IX untuk disepakati.
Intisari-Online.com -Perjanjian Roem-Royen berjalan cukup alot.
Bahkan sampai membutuhkan kehadiran dua sosok penting untuk mencapai kesepatan.
Perjanjian Roem-Royen dilakukan mulai 17 April 1949 hingga 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.
Perjanjian ini muncul sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik di awal kemerdekaan menjelang Konferensi Meja Bundar.
Sebelumnya sudah ada perjanjian-perjanjian yang tak kalah penting: Perjanjian Linggarjati pada 1946 dan perjanjian Renville pada 1948.
Perjanjian Renville merugikan Indonesia.
Pada Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II, menyerang ibu kota Indonesia Yogyakarta.
Tak hanya itu, Belanda jugamenangkap dan menawan Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Moh Hatta. Langkah Belanda dikecam dunia.
Karena Jogja sudah jatuh ke tangan Belanda, pada 22 Desember berdiri Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)di Sumatera Barat oleh Syafruddin Prawiranegara.
PDRI menjamin bahwaperjuangan melawan Belanda tetap dipimpin oleh pemerintahan sah yang diakui oleh kaum republik di seluruh Nusantara.
Tindakan agresif Belanda mendapat kecaman dari forum internasional, terutama PBB.
Pada 4 Januari 1949, PBB mendesak Indonesia danIndonesia menghentikan masing-masing operasi militernya.
PBB kemudian membentuk United Nations Commission for Indonesia (UNCI) untuk memediasi perundingan tersebut.
Organ itu kemudian membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan pada 17 April 1949.
Indonesia diketuai olehMohammad Roem, sementara Belanda diwakili Herman van Roijen (Royen).
Seperti disebut di awal, Perjanjian Roem-Royen berlangsung sangat alot, berlangsung hampir sebulan.
Persetujuan itu dikenal sebagai "Roem-Royen Statements" atau Perundingan Roem-Royen.
Berikut isi Perjanjian Roem-Royen bagi Indonesia:
1. Memerintahkan "pengikut RI yang bersenjata" untuk menghentikan perang gerilya.
2. Bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat "penyerahan" kedaulatan yang sungguh lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Perjanjian Roem-Royen untuk Belanda yakni:
1. Belanda menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
2. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
3. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum tanggal 19 Desember 194x dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan RI.
4. Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
5. Berusaha dengan sungguh-sungguh supaya Konferensi Meja Bundar segera diadakan sesudah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
Ada cerita menarik selama berlangsungnya perjanjian ini, yaitu kedatangan Bung Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Karena saking alotnya, kedua pihak bersikukuh dengan keinginan masing-masing, UNCI berinisiatif menghadirkan Bung Hatta.
Hatta yang sedang dalam pembuangan diterbangkan langsung dari Bangka pada 24 April 1949.
Tak hanya Hatta, UNCI juga mendatangkan HB IX, Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Menteri Pertahanan RI ketika itu.
HB IX didatangkan untuk menegaskan posisi Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia.
Untuk menindaklanjuti perjanjian Roem-Royen, pada 22 Juni 1949, diadakan perundingan formal antara Indonesia, Belanda, dan Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) di bawah pengawasan Critchley (Australia).
Perundingan itu menghasilkan keputusan:
- Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada 24 Juni 1949
- Pasukan Belanda akan ditarik mundur dari Yogyakarta pada 1 Juli 1949.
- Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya di daerah itu
- Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta
- Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag, Belanda
- Yogyakarta baru sepenuhnya ditinggalkan tentara Belanda pada 29 Juni 1949
Menyusul kemudian, Soekarno dan Hatta dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949.
Jenderal Sudirman yang sakit dan berjuang lewat gerilya selama hampir tujuh bulan, baru kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949.
Setelah pemerintahan pulih, pada 13 Juli 1949 diadakan sidang kabinet RI yang pertama.