Penulis
Masjid Sampangan Surakarta menjadi saksi hubungan diplomasi Madura dan Mataram Islam sejak zaman Sultan Agung.
Intisari-Online.com - Madura membutuhkan proses yang panjang untuk bisa berdamai dengan Jawa, dalam hal ini adalah Mataram Islam.
Dan dari panjangnya proses itu, Masjid Sampangan menjadi salah satu saksi hidupnya.
Bisa dibilang, masjid tersebut adalah simbol diplomasi Madura dan Mataram Islam.
Masjid Sampangan disebut-sebut sebagai tempat persinggahan rombongan Madura yang kerap bolak-balik urusan politik dengan Keraton Mataram di Yogyakarta.
Hubungan diplomasi Madura dan Mataram Islam sendiri mulai sejak abad 17.
Ada sebuah manuskrip yang menuliskan perjalanan diplomasi itu, ditulis oleh HT Mulyadi, dan terus diperbarui hingga 2001.
Manuskrip itu berjudulSejarah Singkat Masjid Sampangan, Sebagai Catatan Lokal Badan Pengurus Masjid Sampangan Surakarta.
Kisah diplomasi politik Mataram dimulai tatkala Sultan Agung memulai ekspansi dan perluasan wilayah samapi ke Jawa Timur hingga Madura.
Perjalanannya sampai hingga ke wilayah Sampang, Madura.
Ketika Sampang berhasil ditaklukkan, Raden Prasena dijadikan tawanan perang oleh Mataram Islam.
Raden Prasena lalu dijadikan abdi dalem oleh Sultan Agung, sehingga dia harus mematuhi segala aturan dan tata krama Keraton.
Terkait hubungan Madura-Mataram Islam dikupas Aminuddin Kasdi dalam bukunya berjudulPerlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa: Relasi Pusat-daerah pada Periode Akhir Mataram (1726-1745).
Raden Prasena merupakan putra mahkota dari Pangeran Tengah, raja kerajaan Arosbaya yang kekuasaannya meliputi Sampang dan beberapa wilayah lainnya di Madura.
Integritas kerja, loyalitas dan dedikasi yang tinggi yang ditunjukkan oleh Raden Prasena, membuat Sultan Agung luluh.
Mataram pun menaruh simpati kepadanya.
Kelak, kita mengenal Raden Prasena ini sebagai Cakraningrat I.
Ketulusan hati Raden Prasena mengabdi kepada Mataram, membuatnya dijadikan sebagai anak angkat dari Sultan Agung.
Raden Prasena kemudian dipertimbangkan oleh Sultan Agung untuk dijadikan pemimpin Mataram di kawasan Sampang, Madura.
Raden Prasena akhirnya dinobatkan sebagai pemimpin Mataram di Madura pada 23 Desember tahun 1624 M, dengan gelar Pangeran Cakraningrat I.
Penobatannya dilakukan di kerajaan Mataram dengan upacara kebesaran.
Cakraningrat I mendapat mandat sebagai penguasa Madura di bawah pengaruh Mataram.
Sehingga terjadi hubungan yang erat antara Kraton di Jawa dengan Madura.
Kekuasaannya di Sampang, Madura, membuat kendali jarak jauh yang dapat diketahui oleh Mataram yang terletak di Yogyakarta kala itu.
Sehingga dia kerap pulang-pergi antara Jawa dan Madura.
Biasanya rombongan dari Sampang datang tiap bulan Mulud (penanggalan Kalender Jawa) untuk sowan kepada penguasa Mataram.
Menurut Olthof dalam Babad Tanah Jawi (1941), semua wilayah yang tunduk kepada Mataram, bermula dari ekspedisi perairan kali Bengawan yang menghubungkan daratan Mataram menuju ke Surabaya hingga ke Madura.
Tak mengherankan jika kunjungan dari pemimpin-pemimpin vassal Mataram, seperti halnya Cakraningrat I dari Sampang, Madura, setiap kali sowan dengan pasukannya ke Mataram, selalu melintasi Bengawan Solo.
Karena jauhnya perjalanan, orang-orang dari Sampang pun membutuhkan tempat singgah, tempat transit.
Mereka kemudian membuat rumah panggung dari gedek di pinggiran Kali Jenes.
Alasan pendiriannya lebih karena berada di dekat tempat perahu mereka bersandar, yaitu di bantaran Sungai Jenes, anak Sungai Bengawan Solo di Sampangan, Semanggi, Surakarta.
Surau kecil tempat transit rombongan Sampang itu berada tepat di sebelah barat dekat areal pemakaman di tepian sungai, dan ditumbuhi tanaman liar yang cukup lebat.
Surau tempat transit itu kemudian terus diperbaiki.
Di sekitar tempat transit itu, kemudian dinamai wilayah Sampangan.
Sementara surau kecil tadi dinamai Masjid Sampangan.
Hinggawafatnya Cakraningrat I, masjid tersebut tak lagi disinggahi rombongan dari Madura.
Namun, kebanggan masyarakatnya, membuat Masjid Sampangan terus terjaga sampai hari ini sebagai saksi adanya hubungan diplomasi Mataram Jawa dan Madura.