Penulis
Seorang gadis 15 tahun di Parigi Muotong diperkosa oleh 11 orang pria dewasa, diduga dari kalangan lurah, guru, hingga oknum kepolisian.
Intisari-Online.com -Maksud mulai seorang gadis 15 untuk menjadi relawan banjir justru berujung bencana bagi dirinya.
Gadis 15 tahun ini menjadi korban pemerkosaan 11 pria dewasa yang diduga terdiri atas beberapa latar belakang.
Ada yang berprofesi sebagai kepala desa, ada yang berprofesi sebagai guru, ada juga yang diduga seorang polisi.
Kejadian ini terjadi mulai pertengahn 2022 lalu di Parigi Muotong, Sulawesi Tengah.
Polisi telah menetapkan 10 orang tersangka dalam kasus pemerkosaan remaja di bawah umur di Parigi Moutong.
Tujuh orang berhasil ditangkap, sementara tiga tersangka lain masuk daftar pencarian orang.
Tujuh pelaku ini ternyata terdiri dari beragam profesi.
Ada guru berinisial ARH lalu ada inisial HR yang merupakan seorang kades.
Namun sayangnya, seorang anggota polisi berinisial MKS yang diduga turut memerkosa korban.
Statusnya masih diperiksa sebagai saksi, karena masih butuh alat bukti tambahan.
Kronologi
Kejadian pilu ini berawal saat korban menjadi sukarelawan banjir di Parigi Moutong.
Peristiwa itu terjadi pada Juli 2022 saat korban mendatangi posko bencana banjir di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah untuk memberikan bantuan logistik.
Saat di posko bencana korban berkenalan dengan para pelaku.
Usai menyalurkan bantuan, korban tidak langsung pulang ke kampungnya di Poso.
Karena dijanjikan pekerjaan oleh para pelaku, korban dijanjikan bekerja di rumah makan.
Mulai saat itu, satu per satu dari 11 pelaku melakukan pemerkosaan kepada korban dengan berbagai modus.
Termasuk menawarkan korban narkoba jenis sabu dan mengancam korban dengan senjata tajam.
Tak tahan dengan aksi bejat para pelaku, korban memberanikan diri untuk menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada orang tuanya di Januari 2023.
Usai mendapat laporan dari anaknya, orangtua korban melaporkan kejadian itu ke Polres Parigi Moutong.
Pemerkosaan yang dialami korban terjadi dalam kurun waktu April 2022 hingga Januari 2023 lalu.
Sebanyak 10 dari 11 pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka, 5 di antaranya ditahan di Polres Parigi Moutong.
Sedangkan 5 lainnya belum dilakukan penahanan.
Sementara, satu pelaku yang merupakan anggota brimob belum ditetapkan sebagai tersangka dengan alasan polisi akan melakukan pendalaman terhadap keterlibatan anggota brimob tersebut.
Bisa-bisanya Polda Sulteng menyebutnya peristiwa persetubuhan biasa?
Sementara itu, Kapolda Sulawesi TengahIrjen Agus Nugroho menyebut kasus Parigi Moutong (Parimo) yang dilakukan 11 orang laki-laki terhadap anak 15 tahun merupakan kasus persetubuhan.
Dia bilang,di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kasus pemerkosaan adalah adanya tindakan kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang memaksa korban untuk bersetubuh di luar hubungan perkawinan.
"Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, atau pengancaman terhadap korban," jelas Kapolda Sulteng dalam konferensi pers, Rabu (31/5/2023).
Modus yang digunakan pelaku, kata dia, bukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Tapi dengan bujuk rayu, tipu daya, dan iming-iming akan diberikan sejumlah uang atau barang.
Ia mengatakan, kasus ini terjadi sejak April 2022 hingga Januari 2023 dan dilakukan oleh 11 pelaku di tempat yang berbeda-beda dan waktu yang berbeda-beda.
"Dilakukan secara sendiri-sendiri, tidak bersamaan oleh 11 pelaku ini," terangnya.
"Oleh karenanya saya berharap, selesai kegiatan press conference ini, kita tidak lagi menggunakan istilah pemerkosaan atau pun rudapaksa agar masyarakat tidak bingung di dalam memahami perkara ini," imbuhnya.
Pemerhati Anak dan Pendidikan Retno Listyarti menolak istilah "persetubuhan" tersebut.
Menurutnya, meski anak dianggap setuju oleh pelaku untuk melakukan aktivitas seksual, hal itu tetap merupakan tindak pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 76D Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
"Sangat jelas ya, persetubuhan terhadap anak itu tindak pidana, mau dilakukan dengan cara, dengan berbagai istilah pun, kalau terjadi penetrasi, kan perkosaan itu prinsipnya terjadi penetrasi juga," jelasnya di program Kompas Petang, Kompas TV, Rabu (31/5/2023).
Semua modus pelaku, baik memberikan iming-iming atau bujuk rayu terhadap korban, kata dia, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 76D UU Perlindungan Anak.
"Bilang aja bahwa kejahatan seksual terhadap anak terjadi dalam kasus ini, dengan jumlah pelaku mencapai 11 orang," saran Retno untuk pihak kepolisian.
Adapun berikut bunyi Pasal 76F UU Perlindungan Anak:
"Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain."
Pasal 76E UU Perlindungan anak juga menerangkan tentang larangan perbuatan cabul terhadap anak, begini bunyinya:
"Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul."
Hukuman untuk pelanggaran dua pasal tersebut ialah Pasal 81 dan Pasal 82 Perpu No 1 Tahun 2016.
Dalam kasus ini, 11 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, yang terdiri dari beragam profesi. Kini, 8 orang telah ditahan polisi. Sementara tiga orang masih buron.
Para tersangka dijerat Pasal 81 ayat (2) UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU No 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara.