Penulis
Intisari-online.com - Israel Defence Forces (IDF) membentuk tim khusus bernama Pasukan Gadsar pada tahun 2016.
Tim ini bertujuan untuk merekrut dan melatih prajurit dari komunitas Arab-Israel, baik Muslim maupun Kristen.
Tim ini terdiri dari sekitar 500 prajurit keturunan Arab yang beroperasi di Tepi Barat, salah satu daerah konflik antara Israel dan Palestina.
Pasukan Gadsar termasuk dalam Brigade Nahal, salah satu unit infanteri utama IDF.
Brigade Nahal memiliki sejarah yang panjang dalam konflik Israel-Palestina, sejak didirikan pada tahun 1948.
Brigade Nahal terlibat dalam berbagai operasi militer, seperti Perang Enam Hari (1967), Perang Yom Kippur (1973), Perang Lebanon Pertama (1982), Intifada Pertama (1987-1993), Intifada Kedua (2000-2005), Perang Lebanon Kedua (2006), dan Perang Gaza (2008-2009, 2012, 2014).
Pasukan Gadsar memiliki peran penting dalam konflik Israel-Palestina, karena mereka memiliki kelebihan bahasa, budaya, dan pengetahuan lokal yang membantu mereka dalam menjalankan tugas-tugas rekognisi, intelijen, dan operasi khusus.
Mereka juga berperan sebagai penghubung antara IDF dan warga sipil Palestina, serta sebagai perwakilan bagi integrasi dan kesetaraan antara warga Arab-Israel dan Yahudi-Israel.
Namun, menjadi anggota Pasukan Gadsar tidaklah mudah bagi warga Arab-Israel, karena mereka harus menghadapi krisis identitas, tekanan sosial, dan kritikan dari rekan satu komunitas.
Mereka juga harus siap menghadapi risiko bertempur melawan saudara sebangsa dan seagama mereka di Palestina.
Bagi mereka yang bergabung, Pasukan Gadsar adalah cara untuk menunjukkan loyalitas dan cinta mereka kepada bendera Israel.
Baca Juga: Pantas Warga Muslim Arab Ramai Daftar Jadi Tentara Israel, Ternyata Ini Pasukannya!
Pasukan Gadsar adalah salah satu contoh dari kerumitan dan dinamika konflik Israel-Palestina, yang melibatkan berbagai faktor politik, agama, etnis, sejarah, dan kemanusiaan.
Konflik ini memiliki akar yang panjang, bahkan sebelum pembentukan negara Israel pada tahun 1948.
Hingga saat ini, konflik ini masih berlangsung dengan berbagai eskalasi kekerasan dan upaya perdamaian yang belum berhasil menemukan solusi damai yang adil dan permanen bagi kedua belah pihak.
Konflik Israel-Palestina tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi kedua belah pihak, tetapi juga mengancam stabilitas dan keamanan di kawasan Timur Tengah.
Oleh karena itu, berbagai upaya perdamaian telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik lokal, regional, maupun internasional, untuk mencari solusi damai yang adil dan permanen bagi konflik ini.
Salah satu pihak yang berperan aktif dalam upaya perdamaian adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang telah mengeluarkan berbagai resolusi yang berkaitan dengan konflik Israel-Palestina.
Beberapa resolusi penting antara lain adalah Resolusi 181 (1947) yang mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara terpisah bagi bangsa Yahudi dan Arab; Resolusi 194 (1948) yang menegaskan hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah air mereka atau mendapatkan kompensasi; Resolusi 242 (1967) yang menyerukan penarikan Israel dari wilayah-wilayah yang diduduki setelah Perang Enam Hari; dan Resolusi 338 (1973) yang menyerukan gencatan senjata dan pelaksanaan Resolusi 2421.
Selain PBB, beberapa negara juga berusaha menjadi mediator dalam upaya perdamaian Israel-Palestina.
Salah satu contoh adalah Amerika Serikat, yang telah menyelenggarakan beberapa pertemuan dan perjanjian penting antara kedua belah pihak.
Baca Juga: Polisi Israel Serang Jamaah Masjid Al Aqsa, Ratusan Orang Diikat Tangannya Dalam Kondisi Tengkurap
Beberapa contoh antara lain adalah Perjanjian Camp David (1978) yang menghasilkan perjanjian damai antara Israel dan Mesir; Konferensi Madrid (1991) yang membuka dialog multilateral antara Israel dan negara-negara Arab; Perjanjian Oslo (1993-1995) yang menghasilkan pengakuan timbal balik antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) serta pembentukan Otoritas Nasional Palestina (PNA); Protokol Paris (1994) yang mengatur hubungan ekonomi antara Israel dan PNA; Perjanjian Kairo (1994) yang mengatur penarikan Israel dari Jalur Gaza dan Yerikho; Perjanjian Wye River (1998) dan Perjanjian Sharm el-Sheikh (1999) yang mengatur implementasi Perjanjian Oslo; dan Rencana Jalan Menuju Perdamaian (2003) yang mengusulkan pembentukan negara Palestina merdeka berdampingan dengan Israel.