Sosok Van Mook, Birokrat dan Intelektual Belanda yang Gagal Menyatukan Indonesia

Afif Khoirul M

Penulis

Ilustrasi - Tokoh Belanda Van Mook

Intisari-online.com - Seorang tokoh Belanda yang berperan penting dalam sejarah Indonesia adalah Hubertus Johannes van Mook atau Huib van Mook.

Ia adalah seorang birokrat dan intelektual yang lahir di Semarang pada 30 Mei 1894 dan tumbuh besar di Jawa Timur.

Dia belajar Indologi di Leiden dan terpengaruh oleh pemikiran Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan bumiputra.

Lalu juga aktif dalam organisasi mahasiswa dan bersahabat dengan orang-orang Indonesia yang kuliah di Belanda.

Van Mook memulai karirnya sebagai pegawai negeri sipil di Hindia Belanda pada 1918.

Ia menjabat sebagai asisten residen, residen, direktur departemen ekonomi, menteri perekonomian, dan akhirnya letnan gubernur jenderal pada 1942.

Selama menjabat sebagai menteri, ia berhasil mewakili Belanda dalam perundingan dengan Jepang dan menjaga perekonomian Hindia Belanda tetap stabil meskipun Belanda diduduki oleh Nazi Jerman.

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Van Mook mengungsi ke Australia dan kemudian menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda di pengasingan.

Dia berusaha mempersiapkan kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia setelah perang berakhir.

Juga memimpikan pembentukan negara federal di Indonesia yang terdiri dari berbagai negara bagian otonom dengan hubungan politik dan ekonomi yang kuat dengan Belanda.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Van Mook kembali ke Indonesia pada 1 Oktober 1945 dengan membawa pasukan Belanda dan sekutu.

Baca Juga: Sosok Tan Malaka Tokoh Kemerdekaan yang Dihormati Belanda Namanya Sampai Diabadikan di Amsterdam

Van Mook tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan berusaha mengembalikan kekuasaan kolonial Belanda dengan cara diplomasi maupun militer.

Dia menawarkan konsep Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai alternatif bagi Indonesia yang merdeka.

Menurutnya beralasan bahwa Indonesia tidak cukup kuat secara politik dan ekonomi untuk menghadapi tantangan dari orang-orang Tionghoa Indonesia, India Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia.

Namun, tawaran Van Mook ditolak oleh pihak Republik Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta.

Mereka menuntut pengakuan kedaulatan penuh atas seluruh wilayah Indonesia tanpa syarat.

Hal ini menyebabkan terjadinya konflik bersenjata antara Belanda dan Republik Indonesia yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I dan II.

Salah satu hasil dari konflik ini adalah Perjanjian Renville pada Januari 1948 yang menghasilkan Garis Demarkasi van Mook atau Garis Status Quo.

Garis ini merupakan perbatasan buatan yang memisahkan antara wilayah Republik Indonesia dengan daerah pendudukan Belanda.

Garis ini sangat merugikan bagi Republik Indonesia karena menyisakan wilayah yang sangat sempit bagi mereka.

Perjanjian Renville juga tidak bertahan lama karena Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948 dengan tujuan menghancurkan Republik Indonesia secara total.

Namun, agresi ini gagal karena mendapat tekanan dari PBB dan negara-negara lain yang mendukung kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga: Sosok Sersan Teppy, Mantan Tentara Belanda yang Ikut Rebut Papua dari Tangan Belanda

Akhirnya, pada 27 Desember 1949, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai sebuah negara.

Namun, pada 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan digantikan oleh Republik Indonesia yang berbentuk kesatuan.

Van Mook mengundurkan diri dari jabatannya sebagai gubernur jenderal RIS dan kembali ke Belanda.

Ia kemudian menjadi profesor di Universitas Leiden dan menulis beberapa buku tentang sejarah dan politik Indonesia.

Juga terlibat dalam beberapa organisasi internasional yang berhubungan dengan Asia Tenggara.

Artikel Terkait