Penulis
Intisari-Online.com - Ratu Charlotte adalah sosok yang menarik perhatian banyak orang, terutama setelah munculnya film “Queen Charlotte: A Bridgerton Story” di Netflix.
Film ini mengisahkan kehidupan Ratu Charlotte muda yang menikah dengan Raja George dari Inggris dan bagaimana pernikahan mereka mempengaruhi masyarakat kelas atas di era Regency.
Namun, di balik kisah cinta epik dan kemegahan istana, sosok Ratu Charlotte juga menghadapi tantangan dan kesedihan yang luar biasa.
Salah satunya adalah depresi berat yang dialaminya setelah suaminya mengalami gangguan mental dan disfungsional.
Inilah kisah Ratu Charlotte, ratu Inggris multiras pertama yang memiliki darah Afrika.
Masa Muda
Sophia Charlotte dari Mecklenburg-Strelitz lahir pada tahun 1744, anak kedelapan dari Duke Charles Louis Frederick dari Mecklenburg dan istrinya, Putri Elisabeth Albertine dari Saxe-Hildburghausen, di kastil keluarga di Mirow, Jerman.
Seperti wanita muda lainnya di stasiunnya, Charlotte dididik di rumah oleh tutor pribadi.
Charlotte diajari dasar-dasar bahasa, musik, dan seni, tetapi sebagian besar pendidikannya difokuskan pada kehidupan rumah tangga dan manajemen rumah tangga, sebagai persiapan untuk masa depan sebagai seorang istri dan ibu.
Charlotte dan saudara-saudaranya juga dididik dalam masalah agama oleh seorang pendeta yang tinggal bersama keluarga tersebut.
Ketika Charlotte berusia tujuh belas tahun, dia dikirim dari Jerman untuk menikahi George III , lima tahun lebih tua darinya. George naik takhta setelah kematian ayahnya, George II, dan masih belum menikah.
Karena dia akan segera membutuhkan ahli warisnya sendiri, dan Charlotte berasal dari kadipaten kecil di bagian utara Jerman yang tidak memiliki intrik politik, dia pasti tampak seperti pasangan yang sempurna.
Charlotte tiba di Inggris pada 7 September 1761, dan keesokan harinya, bertemu calon pengantin pria untuk pertama kalinya. Dia dan George menikah malam itu, hanya beberapa jam setelah bertemu.
Ratu Inggris
Meskipun dia tidak berbicara bahasa Inggris pada awalnya, Charlotte belajar bahasa negara barunya dengan cepat.
Aksen Jermannya yang kental dan hubungannya yang kacau dengan ibu George, Putri Augusta, membuatnya sulit untuk beradaptasi dengan kehidupan istana Inggris.
Meskipun Charlotte berusaha untuk memperluas lingkaran sosialnya, Augusta menantangnya di setiap langkah, bahkan sampai menggantikan dayang Charlotte dari Jerman dengan wanita Inggris pilihan Augusta.
Selama bertahun-tahun, Charlotte dan George memiliki lima belas anak bersama, tiga belas di antaranya bertahan hidup hingga dewasa.
Dia hamil secara teratur, namun masih berhasil menemukan waktu untuk mengatur dekorasi pondok di Windsor Park, tempat dia dan keluarganya menghabiskan sebagian besar waktu mereka.
Selain itu, dia mendidik dirinya sendiri tentang masalah diplomatik, dan menjalankan pengaruh yang tenang dan bijaksana atas urusan politik suaminya, baik di luar negeri maupun di dalam negeri.
Charlotte juga dikenal sebagai pelindung seni dan budaya. Dia mendukung banyak musisi terkenal seperti Mozart dan Haydn , serta seniman seperti Gainsborough dan Zoffany.
Dia juga memiliki minat besar pada botani dan hortikultura , dan banyak tanaman dinamai menurut namanya.
Warisan Multiras
Salah satu hal yang paling menarik tentang Ratu Charlotte adalah kemungkinan bahwa dia memiliki warisan multiras.
Beberapa sejarawan percaya bahwa dia adalah keturunan langsung dari Margarita de Castro y Sousa, seorang anggota keluarga kerajaan Portugal abad ke-15 yang berasal dari garis keturunan Moor Afrika.
Bukti yang mendukung klaim ini termasuk penampilan fisik Charlotte yang digambarkan oleh seniman kontemporer, serta catatan sejarah yang menyebutkan bahwa dia memiliki rambut keriting dan kulit gelap.
Meskipun tidak ada bukti pasti tentang asal-usul Charlotte, banyak orang Afrika-Amerika yang menganggapnya sebagai simbol kebanggaan dan identitas.
Beberapa kota di Amerika Serikat, seperti Charlotte di North Carolina , dinamai menurut namanya sebagai penghormatan.
Kematian dan Warisan
Ratu Charlotte mengalami masa-masa sulit ketika suaminya, Raja George III, mulai menunjukkan gejala penyakit mental yang parah pada tahun 1788.
Penyakit ini membuatnya tidak mampu menjalankan tugas-tugas kerajaannya, dan sering kali berperilaku aneh dan tidak rasional.
Sebagai walinya, Charlotte mengurus urusan negara serta kesehatan suaminya. Namun, dia juga harus menghadapi pemberontakan anak-anaknya, terutama Pangeran Wales, yang berusaha untuk menggulingkan ayahnya dan mengambil alih kekuasaan.
Baca Juga: 5 Skandal Perselingkuhan yang Mengubah Sejarah, Salah Satunya Lahirkan Ratu Inggris
Situasi ini sangat menekan Charlotte, yang merasa terisolasi dan tertekan. Dia juga khawatir tentang nasib suaminya dan kerajaannya.
Kesetiaan dan kekuatan Charlotte tetap bertahan untuk George, tetapi dia juga merasakan kesepian dan kesedihan yang mendalam.
Dia jarang keluar dari istana, dan hanya bergaul dengan beberapa teman dekat, seperti Lady Danbury, yang menjadi sahabatnya.
Beberapa masalah kesehatan juga dialami oleh Charlotte, seperti sakit kepala, sakit perut, dan insomnia. Dia juga mengalami beberapa keguguran dan melahirkan anak mati.
Penghiburan dicari oleh Charlotte dalam agama dan doa, serta dalam hobi-hobinya seperti botani dan musik.
Ratu Charlotte adalah salah satu ratu Inggris yang paling lama berkuasa, dengan masa pemerintahan selama 57 tahun. Dia meninggalkan warisan yang kaya dalam bidang seni, budaya, dan botani.
Dia juga menjadi inspirasi bagi banyak orang yang memiliki latar belakang multiras, dan menjadi tokoh penting dalam sejarah Inggris.
Baca Juga: Tidak Pernah Diharapkan Naik Takhta, Lalu Bagaimana Victoria Bisa Jadi Ratu Inggris?