Sebelum Perjanjian Giyanti, Ada Perjanjian Lain Yang Merugikan Mataram Islam, VOC Menang Banyak

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Keputusan Mataram Islam meminta bantuan VOC saat menghadapi pemberontakan Trunojoyo harus dibayar mahal. Wilayah pesisir jadi tumbalnya.

Keputusan Mataram Islam meminta bantuan VOC saat menghadapi pemberontakan Trunojoyo harus dibayar mahal. Wilayah pesisir jadi tumbalnya.

Intisari-Online.com -Ada sederet perjanjian antara VOC dan Mataram Islam yang dalam praktiknya sangat merugikan Mataram Islam.

Yang terkenal tentu saja Perjanjian Giyanti 1755 yang memecah Mataram Islam jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Surakarta.

Tapi sebelum itu, ada perjanjian lain yang juga sangat merugikan Mataram Islam.

Perjanjian itu terjadi pada 1705 yang dikenal sebagia Perjanjian Cirebon.

Ada sederet poin dalam perjanjian itu.

Perjanjian Mataram-VOC 1705 merupakan perjanjian yang dibuat antara Pakubuwana I dari Mataram dan VOC.

Dalam perjanjian itu VOC setujuuntuk menghapuskan utang Mataram yang bertumpuk sejak VOC membantu raja Amangkurat II menumpaskan pemberontakan Trunajaya yang meletus tahun 1675.

Meski begitu, ada beberapa hal yang harus disetujui oleh Mataram Islam.

1. Mengulangi pengakuannya atas batas wilayah Batavia yang mencakup wilayah Parahyangan

2. Mengakui Cirebon sebagai protektorat VOC

3. Melepaskan pengaruh Madura bagian timur, termasuk Sumenep dan Pamekasan

4. Membenarkan kekuasaan VOC atas Semarang

5. Hak VOC untuk membangun benteng di mana pun di Jawa

6. Hak VOC untuk membeli beras sebanyak maunya

7. Pembenaran monopoli VOC atas impor candu dan wastra

8. Pengiriman beras dari Mataram kepada VOC sebanyak 800 koyan (sekitar 1 300 ton) setiap tahun dengan cuma-cuma selama 25 tahun

9. Penempatan kembali suatu garnisun VOC di Kartasura yang dibiayai Susuhunan

10. Larangan untuk orang Jawa berlayar ke sebelah timur Lombok, ke sebelah utara Kalimantan dan ke sebelah barat Lampung.

Mataram Islam memang harus bekerja ekstra keras untuk mengatasi pemberontakan Trunajaya dari Madura.

Salah satu hal yang harus dilakukan Mataram adalah meminta bantuan kepada VOC.

Pemberontakan Trunajaya pemberontakan yang dilakukan oleh bangsawan Madura, Raden Trunajaya, dan sekutunya, pasukan dari Makassar, terhadap Kesultanan Mataram yang dibantu oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) di Jawa pada dekade 1670-an.

Hasil akhir dari pemberontakan ini adalah kemenangan untuk Mataram dan VOC.

Perang ini berawal dengan kemenangan pihak pemberontak: pasukan Trunajaya mengalahkan pasukan kerajaan di Gegodog (1676), lalu berhasil menduduki hampir seluruh pantai utara Jawa dan merebut keraton Mataram di Keraton Plered (1677).

Raja Amangkurat I meninggal ketika melarikan diri dari keraton.

Ia digantikan oleh anaknya, Amangkurat II yang meminta bantuan kepada VOC dan Bupati Ponorogo serta menjanjikan pembayaran dalam bentuk uang dan wilayah.

Keterlibatan VOC berhasil membalikkan situasi.

Pasukan VOC dan Mataram merebut kembali daerah Mataram yang diduduki, dan merebut ibu kota Trunajaya di Kediri (1678).

Pemberontakan terus berlangsung hingga dekat keraton yang dijaga pasukan Ponorogo hingga Trunajaya ditangkap VOC pada akhir 1679, dan juga kekalahan, kematian atau menyerahnya pemimpin pemberontakan lain (1679–1680).

Trunajaya menjadi tawanan VOC, tetapi dibunuh oleh Amangkurat II saat kunjungan raja pada 1680.

Selain Trunajaya dan sekutunya, Amangkurat II juga menghadapi upaya-upaya lain untuk merebut takhta Mataram pasca kematian ayahnya.

Rival paling serius adalah adiknya, Pangeran Puger (kelak Pakubuwana I) yang merebut Keraton Plered setelah ditinggalkan pasukan Trunajaya pada 1677 dan baru menyerah pada 1681.

Artikel Terkait