Find Us On Social Media :

3 Pertempuran Dahsyat Diprakarsai Sambernyawa Pangeran Mataram Islam Paling Berani, Termasuk Lawan Mertua Sendiri

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 4 Mei 2023 | 13:59 WIB

250 pertempuran pernah dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa selama 16 tahun memberontak Mataram Islam dan VOC. Hanya bisa ditundukkan lewat perundingan.

250 pertempuran pernah dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa selama 16 tahun memberontak Mataram Islam dan VOC. Hanya bisa ditundukkan lewat perundingan.

Intisari-Online.com - Selama 16 tahun memberontak terhadap Mataram Islam dan VOC, Pangeran Sambernyawa setidaknya telah memimpin sebanyak 250 pertempuran.

Dari ratusan pertempuran itu, ada tiga pertempuran yang dianggap paling dahsyat.

Di antaranya adalah pertempuran melawan mertuanya sendiri, Pangeran Mangkubumi alias Sultan Hamengkubuwono I penguasa Kasultanan Yogyakarta.

Tiga pertempuran dahsyat itu terjadi pada periode 1752-1757.

Pertempuran pertama adalah ketika pasukan Sambernyawa bertempur melawan pasukan Mangkubumi di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur.

Perang itu terjadi pada sekitar 1752.

Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Sambernyawa setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo.

Pertempuran kedua adalah pertempuran melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan Rembang.

Persisnya di hutan Sitakepyak.

Dalam pertempuran itu Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegara.

Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegara dengan "bagaimana semut yang berjalan beriringan tiada putus."

Walaupun jumlah pasukannya lebih kecil, Sambernyawa berhasil memukul mundur musuhnya.

Dia bahkan mengklaim cuma kehilangan tiga prajurit tewas dan 29 menderita luka, sementara di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas.

Dalam pertempuran ini, Sambernyawa berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya.

Kepala itu kemudian dia serahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.

Pertempuran ketiga adalah penyerbuan Benteng Vredeburg dan Kasultanan Yogyakarta-Mataram pada 1757.

Awalnya VOC mengejar pasukan Sambernyawa sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa.

Sambernyawa murka dan berbalik menyerang pasukan VOC dan Mataram.

Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta.

Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang.

Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta.

Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta.

Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam.

Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I.

Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara.

Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu.

VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.

Licinnya Sambernyawa menarik perhatian Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang.

Dia mendesak Sunan Pakubuwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian.

Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya.

Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC.

Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya.

Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara.

Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757.

Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri.

Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya.

Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo.

Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkunegara, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Sambernyawa diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri.

Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil".

Bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3".

Mangkunegara mendapatkan wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu.

Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi.

Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran.