Find Us On Social Media :

Capek-capek Dibesarkan Sultan Agung, Mataram Islam Pecah Karena Ambisi Anak-cucunya

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 30 April 2023 | 09:17 WIB

Setelah Sultang Agung mangkat, kondisi Mataram Islam tak baik-baik saja. Puncaknya adalah Perjanjian Giyanti, mengakibatkan kesultanan pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Setelah Sultang Agung mangkat, kondisi Mataram Islam tak baik-baik saja. Puncaknya adalah Perjanjian Giyanti, mengakibatkan kesultanan pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Intisari-Online.com - Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya ketika Sultan Agung menjadi raja.

Tapi pencapaiannya itu seolah tak ada artinya karena anak-cucunya saling klaim kekuasaan hingga menimbulkan perang saudara.

Puncaknya, melalui Perjanjian Giyanti, Mataram Islam akhirnya pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Bagaimana semua itu terjadi?

Perjanjian Giyanti merupakan peristiwa sejarah berupa perjanjian antara VOC dengan pihak Kerajaan Mataram Islam yang diwakili oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.

Perjanjian Giyanti berlangsung pada 13 Februari 1755 yang ditandatangani di Desa Giyanti yang saat ini masuk wilayah Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Mataram Peristiwa ini menjadi penyebab pecahnya wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

Perjanjian Giyanti juga dikenal sebagai babak baru dari peradaban kerajaan-kerajan di Pulau Jawa.

Perjanjian Giyanti berawal dari perpecahan akibat konflik yang telah timbul antar keluarga kerajaan Mataram Islam.

Konflik tersebut melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.

Hal ini terkait diangkatnya pewaris takhta Mataram Islam yaitu Pangeran Prabusuyasa dengan bergelar Pakubuwana II yaitu anak dari putra dari Amangkurat IV dan adik dari Pangeran Arya Mangkunegara.