Penulis
Untuk memadamkan pemberontakan Pangeran Mangkubumi, VOC memisahkannya dengan Pangeran Sambernyawa. Mataram Islam pun pecah jadi dua.
Intisari-Online.com -Mataram Islam pernah berada dalam fase paling gonjang-ganjing.
Itu terjadi ketika dua pangerannya yang paling berani, Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyaa dan Pangeran Mangkubumi, melawan rajanya sendiri, Pakubuwono III.
Fase itu kita kenal sebagaiPerang Suksesi Jawa III, dari tahun 1740 hingga 1755.
Perang Suksesi Jawa III diakhiri dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti, yang memecah Mataram Islam jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Munculnya Perjanjian Giyanti dipicu adanya suksesi Kerajaan Mataram yang mendapat campur tangan licik VOC.
Suksesi yang berujung ricuh itu melibatkantiga calon pewaris Mataram Islam: Pangeran Prabusuyasa (Pakubuwana II), Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.
Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak-beradik, sama-sama putra dari Amangkurat IV, penguasa Mataram periode 1719-1726.
Sementara Raden Mas Said adalah putra Pangeran Arya Mangkunegara, sementara Mangkunegara adalah putra sulung Amangkurat IV.
Arya Mangkunegara yang seharusnya meneruskan tahta Amangkurat IV justru diasingkan ke Sri Lanka.
Raden Mas Said juga mengklaim berhak dengan tahta Mataram sebagai salah satu cucu Amangkurat IV, atau keponakan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.
Namun dalam perjalanannya VOC justru menaikkan Pangeran Prabasuyasa atau Pakubuwana II sebagai raja.
Susuhunan Pakubuwana II (1745-1749) kemudian memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta dan berdirilah Kasunanan Surakarta.
Naiknya Pakubuwono II yang didukung VOC mendapat perlawanan dari Pangeran Mangkubumi yang berkoalisi dengan Pangeran Sambernyawa.
Perkongsian itu semakin diperkuat dengan menikahnya Pangeran Sambernyawa dengan putri Mangkubumi.
Perlawanan Mangkubumi dan Sambernyawa melalu perang gerilya di sejumlah wilayah Jawa merepotkan Pakubuwono II dan VOC.
Situasi semakin memanas ketika Pakubuwono II meninggal dunia pada 20 Desember 1749.
Pangeran Mangkubumi gercep dengan mengklaim takhta Mataram Islam.
Tapiklaim itu tak mendapatkan restu dari VOC yang lebih memilih putra Pakubuwono II, Raden Mas Soejadi, menjadi penguasa Mataram bergelar Pakubuwono III.
Sementara itu, untuk melemahkan pemberontakan, VOC kemudian memisahkan Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran Sambernyawa.
Taktik itu berhasil, Pangeran Sambernyawa akhirnya menghentikan kerja sama dengan Mangkubumi pada 1752.
Dia memilih untuk berjuang sendirian.
VOC juga merayu Mangkubumi untuk berunding usai pecah kongsi dengan Sambernyawa.
Dalam bujuk rayu itu, VOC berjanji akan memberikan sebagian kekuasatan Mataram Islam kepada Mangkubumi.
Menurut dokumen register harian milik N Harting, Gubernur VOC untuk Jawa bagian utara itu berangkat menuju Semarang pada 10 September 1754 untuk menemui Pangeran Mangkubumi.
Pertemuan khusus tersebut dihadiri oleh Pangeran Mangkubumi, Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Rangga.
Sementara, Harting didampingi oleh Breton, Kapten Donkel dan Fockens.
Pada 22-23 September 1754, perundingan pertama digelar oleh VOC dengan mengundang Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi dalam satu perundingan.
Perundingan itu membahas pembagian wilayah, gelar yang akan digunakan, hingga terkait kerja sama dengan VOC.
Pada 13 Februari 1755, perundingan mencapai kata sepakat dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.
Melansir Tribunneswiki.com, berikut 9 poin perjanjian Giyanti:
- Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah dengan separuh dari kerajaan Mataram. Hak kekuasan diwariskan secara turun-temurun.
- Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
- Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur.
Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.
- Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
- Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
- Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746.
Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
- Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan. Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
- Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.
Perjanjian ini dari ditandatangani oleh N. Hartingh, W. H. Van Ossenberch, J. J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens.
Dampak Perjanjian Giyanti adalah mengakiri Dinasti Mataram Islam sebagai kerajaan independen.
Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Kasunanan Surakarta tetap dipimpin oleh Pakubuwono III, sedangkan Kesultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Dampak Perjanjian Giyanti juga membuat peradaban Kebudayaan Jawa terpecah menjadi dua dengan terpusat di Surakarta dan Yogyakarata.
Perjanjian Giyanti membagi wilayah kedua kerajaan tersebut dengan dibatasi oleh Kali Opak.
Sebelah timur Kali Opak menjadi wilayah kekuasaan Surakarta, sementara sebelah barat Kali Opak merupakan wilayah Yogyakarta.
Dalam perjalanannya, Trah Mataram Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta akan terpecah kembali dengan lahirnya Kadipaten Mangkunagaran dan Kadipaten Paku Alaman.
Nah, itulah sejarah Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang memecah Kerajaan Mataram Islam menjadi Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta.